SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Senin, 17 Februari 2020 11:11
Mencintai karena Seni, Pernah Dikira Dukun

Melihat Koleksi Pusaka Norhikmatullah, Pecinta Pusaka dari Sampit

PECINTA PUSAKA: Nor Hikmatullah memperlihatkan koleksi pusakanya, Jumat (15/2). Koleksinya cukup banyak, mulai dari badik, keris, tombak, dan berbagai jenis mandau.(USAY NOR RAHMAD/RADAR SAMPIT)

Bukan keturunan raja. Bukan juga budayawan. Dia menyimpan banyak pusaka bersejarah di rumahnya. Mulanya sekadar hobi, kini menjadi kecintaan. Ia ingin semua orang tahu akan pusaka dan pandai merawatnya.

USAY NOR RAHMAD, Sampit

MEMBACA kata pusaka, di pikiran kita pasti membayangkan benda yang dianggap keramat atau memiliki kesaktian. Berbeda bagi Nor Hikmatullah (42), menurutnya pusaka adalah seni .

Saya, berkesempatan berkunjung ke kediamannya di salah satu perumahan di Jalan Tjilik Riwut , Sampit dekat SPBU Samekto, Jumat (15/2). Pria yang kesehariannya bekerja sebagai petugas keamanan di perusahaan pembiayan ini menyambut dengan antusias.

Sebelum sampai ke rumah Nor Hikmatullah saya membayangkan pasti bakal banyak benda-benda pusaka yang dipajang di lemari kaca. Ternyata saya salah. 

Di rumah bercat putih ini tak ada jejeran pusaka yang mencolok. Hanya tiga pucuk mandau (senjata khas suku dayak) bergantung di dinding. Lainnya tempelan poster anak-anak.

”Pusaka itu tergantung dari cara kita menilainya. Kalau kita mempercayai pusaka itu memiliki kesaktian maka akan seperti itu. Tapi kalau saya tidak. Saya menilai pusaka dari seninya,” ujar ayah dari dua anak ini.

Belum lama kami ngobrol, Hikmat (sapaannya) beranjak dari tempat duduknya. Tak lama kemudian dia keluar dari kamar dan membawa dua helai kain. Dia membentangkan kain kuning dan kain merah itu.

”Ini tidak ada maksud tertentu. Hanya sebagai alas bagi pusaka agar nyaman dilihat,” katanya.

Hikmat, tak ingin mengaitkan hobinya ini dengan hal-hal beraroma mistis. Ditegaskannya berkali-kali, kecintaannya murni karena seni dan keindahan dari pusaka.

Hikmat masuk lagi ke kamar dan keluar dengan membawa sejumlah bungkusan. Beberapa di antaranya tampak seperti keris. Namun ada sejumlah pusaka seperti mata tombak tidak berbungkus.

Satu per satu koleksi pusaka itu dikeluarkannya. Wangi kayu gaharu pun memenuhi ruangan rumah bertipe 36 itu. Bagi yang tidak kenal aromanya, mungkin bisa bikin bulu kuduk merinding.

Mulai dari yang terkecil berbentuk badik, di keluarkannya pelan-pelan dari sarung pusaka. Kemudian disusunnya di atas hamparan kain yang telah disediakannya tadi. Kini berbagai badik dari penjuru tanah air tersusun di atas kain kuning.

Berbeda dengan badik, cara Nor Hikmatullah memperlakukan pusaka jenis keris tampak berbeda. Ketika melepas keris dari sarungnya dia tampak lebih berhati-hati. Kumpang atau sarung di arahkan ke atas di sisi wajahnya lalu barulah keris ditarik perlahan.

”Ini untuk menghindari warangan (racun arsenik) yang terkadung di besi pusaka terhirup,” jelasnya.

Sama seperti badik, Nor Hikmat juga memiliki berbagai keris dari sejumlah daerah di tanah air. Ada keris dari Aceh, Sulawesi, Bali dan Jawa. Bahkan ada yang tertua sezaman dengan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pejajaran.  Itu diketahuinya dengan menanyakan langsung ke ahli pusaka di pulau Jawa.

”Keris dari Kalimantan banyak terpengaruh bentuknya dari keris Jawa dan Bugis,” katanya.

Selain itu ada juga pusaka khas tradisional suku dayak berupa mandau dari berbagai suku. Di antaranya mandau  kenyah, mandau rungan,  dan mandau mentaya. Mandau bisa dibedakan berdasarkan panjang pendeknya, kalau mandau di Kalimantan Tengah tidak terlalu panjang, tapi kalau dari daerah Kalimantan Timur lebih panjang. Bisa juga dibedakan dengan peruntukannya, misalnya mandau untuk bekerja dan bukan untuk bekerja.

”Mandau pusaka biasa tidak untuk bekerja. Kalau mandau untuk keperluan bekerja sehari-hari disebut ambang,” katanya  

Selain telaten merawat berbagai pusaka itu, pria yang juga penggiat aksi sosial di Sampit ini tampak begitu paham seluk-beluk pusaka. Bahkan dia bisa mengukur nilai kisah dan seni dari sebuah pusaka. Sehingga tak heran, ada saja orang nyinyir dengan menyebutnya dukun atau paranormal.

Anggapan sebagai dukun tak digubrisnya. Justru dia tetap bersemangat mengumpulkan berbagai pusaka. Baginya pusaka bukan sekadar besi tua semata. Pusaka kini mendatangkan banyak teman baginya.

”Yang jelas saya tidak pernah memuja pusaka, murni karena seni,” imbuhnya.

Bagi Nor Hikmat, ketertarikan terhadap pusaka sudah ada sejak kecil. Pusaka pertama yang ia miliki adalah keris banjar.

Sebagai seorang kolektor, tentu nilai ekonomis yang terkumpul pada pusaka dan benda kuno tidak kecil. Mustahil bagi Nor Hikmat membeli dengan penghasilan bulanannya. Namun karena banyaknya teman di situlah dia bisa memiliki pusaka idamannya.

Diungkapkannya, banyak masyarakat memiliki pusaka warisan tapi tidak pandai merawat. Lebih parah lagi pusaka dipergunakan untuk hal-hal tak semestinya.

”Pusaka itu jangan dipakai untuk berkelahi. Kalau tidak sanggup merawat serahkan kepada yang bisa, atau ke museum. Sehingga sejarah pusaka itu tetap terjaga,” katanya.

Nor Hikmatullah bercita-cita bisa memperkenalkan berbagai jenis pusaka lebih luas. Sehingga masyarakat lebih menghargai pusaka sebagai karya seni yang tinggi. Sehingga anak-cucu pun tak hanya diwariskan  pusaka berbentuk dongeng semata.

”Saya sudah siapkan dua warisan pusaka untuk anak saya. Sehingga bila mereka besar nanti akan ada cerita. Setidaknya bila-bila sewaktu-waktu mereka kepepet, pusaka ini punya nilai ekonomis yang tinggi,” pungkasnya. (***/ign)


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers