Pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian dunia tak terpengaruh pada bisnis kelapa. Pelaku usaha jenis ini bisa meraup untung jutaan rupiah. Berikut liputannya.
DODI, Pulang Pisau
Tangan Wasto terlihat begitu cekatan mengupas kulit kelapa. Sebilah parang tajam yang berulang kali diayunkan pada kelapa yang digenggamnya, tak pernah meleset dari sasaran. Di tengah teriknya matahari siang itu, disibukkan menyiapkan minuman kelapa muda untuk rombongan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang berkunjung ke di Desa Talio, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau.
”Sudah 12 tahun saya melakoni bisnis kelapa. Menjadi pemetik, pembeli, dan penjual buah kelapa,” tutur Wasto kepada Radar Sampit usai menyediakan sejumlah buah kelapa muda untuk rombongan BRG.
Wasto menuturkan, buah kepala yang dibelinya berasal dari perumahan dan persawahan di kawasan Pulang Pisau dan Desa Pangkoh. Dia membeli langsung dari masyarakat dengan harga Rp 1.700 per butir dan ongkos memanjat Rp 1.000 per butir.
Kelapa itu lalu dijual lagi ke pengepul seharga Rp 2.700 per butir. Dia tak bisa menjualnya langsung ke Palangka Raya karena terkendala transportasi dan tidak memiliki angkutan. Padahal, di Palangka Raya, kelapa itu bisa dijual dengan harga Rp 5.000 – Rp 7.000 per butir.
”Dalam sehari bisa mengumpulkan sampai 700 butir, bahkan bisa 900 butir. Artinya, dalam sehari kalau 900 butir dapatnya bisa Rp 2,4 juta lebih. Tapi itu masih kecil, sebab bila sampai Palangka Raya, per butirnya bisa Rp 5.000 - Rp 7.000. Warung menjual lagi ke masyarakat dengan harga Rp 12.000 - Rp15.000. Artinya, perputaran uangnya besar, mencapai jutaan rupiah,” tuturnya.
Wasto mengatakan, bisnis kelapa tak terpengaruh dengan pandemi Covid-19 yang menghantam bisnis lainnya. Sebaliknya, usahanya malah semakin lancar dan penghasilannya kian meningkat. Sebab, buah kelapa merupakan salah satu buah yang dicari warga.
”Masa pandemi ini tidak ada masalah. Malah semakin termotivasi mencari kelapa, bahkan sehari bisa bisa diminta 800-900 butir. Saat bulan Ramadan bisa mencapai 1.000-1.200 butir. Jadi, bisnis kelapa ini, mau ekonomi porak-poranda atau apa pun namanya, saya yakin tidak ada masalah. Buktinya, usaha orang banyak bangkrut, tetapi usaha menjual kelapa tidak ada yang bangkrut,” sebutnya.
Lebih lanjut Hasto mengatakan, dia bekerja hanya tujuh jam sehari, dari pukul 07.00-13.00 WIB. Waktunya dihabiskan untuk berkeliling mencari pohon kelapa dan membeli buahnya ke berbagai lokasi di sekitar Pulang Pisau.
”Satu pohon saya bisa habiskan waktu sekitar empat menit, tergantung tingkat kesulitan. Namun, rata-rata tidak sampai lima menit. Buahnya diikat pakai tali dan diturunkan, jadi tidak memerlukan waktu lama,” ujarnya.
Wasto menambahkan, uang dari penghasilannya digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai anak sekolah. Dari bisnis itu, dia mampu membeli sepeda motor dan lahan lebih dari 2 hektare. Sisanya untuk ditabung.
”Ini mau bikin rumah lagi. Dulu sudah membeli rumah, semuanya dari kelapa dan gula merah juga. Lahan itu sudah ditanami kelapa ribuan pohon,” ujarnya.
Wasto mengaku tak menyangka dengan menjual buah kelapa dia bisa mendapatkan berbagai hal. Awalnya dia terjun ke bisnis itu hanya karena tidak memiliki pekerjaan tetap dan melihat banyaknya pohon kelapa di sekitar Pulang Pisau. ”Dulu hanya iseng, sekarang sudah menjadi kebutuhan,” katanya.
Sementara itu, pemilik warung penjual kelapa, Agus, mengatakan, buah kepala tidak akan bisa basi. Dalam sepekan bisa menghabiskan ratusan butir. Dia membeli seharga Rp 5.000 dan dijual ke masyarakat Rp 10.000 - Rp 15.000 per butir. Bisnis itu kian menguntungkan saat kemarau dan Ramadan.
”Dalam sepekan, saya bisa menjual ratusan butir. Apabila kemarau atau Ramadan, permintaan bisa melonjak. Dalam sehari bisa menjual ratusan butir,” pungkasnya. (***/ign)