PANGKALAN BUN – Aktivitas pertambangan emas di Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Aktivitas itu dilakukan secara turun-temurun.
Masa kejayaan pertambangan emas dirasakan masyarakat sekitar era 1980-an. Ada satu lokasi yang menjadi primadona, baik bagi warga setempat maupun dari luar Aruta yang datang mengadu peruntungan. Daerah tersebut dikenal dengan kawasan Parit Cina.
Seiring perkembangan waktu, kawasan tersebut mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai mencari titik-titik tambang baru. Terutama di sepanjang hulu Sungai Arut dari Nanga Mua hingga ke Desa Gandis dan Desa Sukaramai.
Camat Arut Utara Nursyah Ikhsan mengatakan, aktivitas pertambangan emas di Kecamatan Arut Utara sudah ada lebih dari 30 tahun lalu. ”Sama dengan pertambangan emas di Sekonyer, Kumai. Bahkan, kalau mendulang emas sudah dari zaman nenek moyang,” tuturnya.
Dia menjelaskan, ada beberapa metode dalam mencari emas, yaitu dengan cara sedot sungai, sedot darat, dan melubang hingga mencapai ratusan meter ke dalam tanah.
Lebih lanjut dia mengatakan, penambangan jelas akan berdampak buruk bagi lingkungan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, seperti tanah berlubang, perubahan bentuk sungai, serta kualitas air sungai memburuk.
Tambang emas di Kecamatan Aruta bahkan ada yang merambah area hutan produksi, kebun masyarakat, dan lahan masyarakat, seperti kasus kecelakaan kerja yang menewaskan 10 penambang emas di Sungai Seribu baru-baru ini.
”Kompleks memang. Itu pernyataan yang tepat, maka penanganan harus menyeluruh juga. Tidak per bagian institusi. Polisi sendirian menangani tidak bisa juga, malah dicurigai atau terjadi distorsi. Harus semua pihak, provinsi, kehutanan, kabupaten,” tegasnya.
Persoalan tambang di Aruta heboh setelah ramainya kabar penambangan di Desa Sambi, dikelola warna negara asing (WNA) asal Tiongkok. Informasi dihimpun Radar Sampit, para pekerja asing dan pemodalnya yang biasa dipanggil Cungkok itu masuk ke Kobar diduga hanya mengantongi visa turis.
Tidak diketahui jumlah WNA asal Tiongkok yang melakukan aktivitas pertambangan ilegal di Kecamatan Aruta. Beberapa waktu lalu, WNA ini terpantau di Desa Penyombaan dan Sambi.
Para WNA ini juga diketahui tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia maupun Inggris. Bahkan lokasi pertambangan mereka banyak tidak diketahui karena lokasinya tertutup serta tersamar dari pantauan masyarakat maupun pemerintah kecamatan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kobar Happi Kamis saat dikonfirmasi, Jumat (12/2) lalu, mengatakan, ada dugaan tenaga kerja asing asal Tiongkok yang bekerja di pertambangan Desa Sambi merupakan TKA ilegal.
Dia mengungkapkan, pekerja tambang dan kelapa sawit di Kecamatan Arut Utara yang terdaftar hanya beberapa perusahaan besar swasta, di antaranya Esburi dan Korintiga. Total jumlah WNA yang ada dalam data sebanyak 60 orang, dengan jumlah terbanyak di Korintiga sebanyak 25 orang.
Menurutnya, rencana penggunaan TKA diajukan perusahaan kemenaker, sehingga kabupaten tidak tahu TKA yang bekerja di pertambangan diberikan izin atau tidak. ”Kabupaten baru tahu apabila ada dana kompensasi TKA yang masuk kas daerah dan dari TKA tambang tidak ada yang masuk kas daerah,” tandasnya. (tyo/sla/ign)