SAMPIT - Kasus perceraian di Pengadilan Agama Sampit meningkat dari tahun 2014 hingga 2016. Pengajuan cerai didominasi pihak istri, yakni mencapai 70 persen dari total perceraian.
Sepanjang tahun 2014, Pengadilan Agama Sampit menerima 667 perkara cerai. Sebanyak 556 kasus sudah diputus pengadilan. Sedangkan tahun 2015, ada 789 perkara cerai gugat maupun cerai talak. Dari 700 lebih perkara, ada 633 perkara yang diselesaikan sesuai peradilan. Dari data di atas, terjadi peningkatan kasus cerai di Kotawaringin Timur.
Memasuki tahun 2016, bulan Januari hingga April ada 237 perkara cerai yang sebagian masih dalam proses peradilan.
Faktor penyebab perceraian antara lain krisis akhlak, kekejaman, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, gangguan pihak ketiga, dan tidak ada keharmonisan. Tidak ada keharmonisan menjadi penyebab nomor satu di antara penyebab lainnya.
“Tidak ada keharmonisan rumah tangga itu seperti perbedaan visi misi dalam membangun rumah tangga. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi perkelahian antara suami dan istri,” jelas Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Sampit, Rahsiannor Syam’ani, SHI.
Dia menambahkan, banyak juga permintaan cerai lantaran krisis akhlak seperti pengaruh minuman keras dan obat-obat terlarang. Kadang pemicu pertengkaran adalah hal sepele, tapi karena pengaruh dari minuman maupun obat terlarang tersebut, bisa berdampak pada pertengkaran rumah tangga yang melebar.
Pada awal tahun biasanya pihak pengadilan menyelesaikan perkara sisa tahun lalu. “Banyak gugatan cerai biasanya setelah Ramadan, karena banyak yang menahan diri karena bulan suci tersebut,” tutupnya.
Dari sekian banyak kasus, hampir 70 persen wanita yang menggugat cerai. Tak ada yang bisa memastikan penyebabnya.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kotim Forisni Aprilista mengatakan, perempuan sudah mengerti tentang hak-haknya dan berani mengambil keputusan sendiri. Namun, kadang perempuan tidak sekuat pria dalam menghadapi cobaan rumah tangga. Dalam hal ini bukan berarti wanita lemah, tapi perasaan yang halus membuat wanita kadang sulit menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari pasangannya.
“Seharusnya kelembutan wanita justru bisa jadi senjata dalam menjaga rumah tangganya. Perempuan memiliki perasaan yang lembut tapi tidak boleh lemah,” ujar Forisni kemarin (18/5). (rm-75/yit)