Perkara dugaan gratifikasi yang menyeret Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istri Ary Egahni, merupakan pelanggengan budaya zaman penjajahan kompeni Belanda. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara blak-blakan memperlihatkan praktik lancung itu dipertahankan pejabat yang memegang kekuasaan. Praktik suap, jual-beli jabatan, sampai upeti dari bawahan kepada atasan, marak terjadi pada masa Indonesia dijajah Belanda. Para pegawai berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi dan sumber dana agar dapat menduduki suatu posisi penting.
Profesor Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Wahyudi Kumorotomo dalam tulisannya berjudul ”Budaya Upeti, Suap, dan Birokrasi Publik”, mengatakan, praktik gratifikasi sudah ada sejak zaman kerajaan di Indonesia yang dikenal dengan upeti. Upeti merupakan bentuk persembahan adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk.
Dalam budaya birokrasi di Indonesia, lanjutnya, ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisma. Para adipati memberikan persembahan kepada raja penakluk. Sebagai imbalannya, raja penakluk memberikan perlindungan kepada kerajaan-kerajaan kecil yang diperintah oleh para adipati tersebut. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkhis ini mengalami adaptasi dalam sistem birokrasi modern di Indonesia.
Hal tersebut jelas tergambar dalam kasus Ben Brahim dan Ary Egahni. Menurut KPK, keduanya diduga melakukan korupsi terkait pemotongan anggaran yang seolah-olah utang kepada penyelenggara negara dan menerima suap di Pemkab Kapuas. Uang yang diterima mencapai Rp8,7 miliar. Ben Brahim diduga menerima sejumlah uang dan fasilitas dari satuan organisasi perangkat daerah (SOPD) dan pihak swasta. Sang istri diduga aktif turut campur dalam proses pemerintahan. Ary disebut memerintahkan beberapa kepala SOPD untuk memenuhi kebutuhan pribadi dalam bentuk pemberian uang dan barang mewah.
Sumber uang yang diterima berasal dari pos anggaran resmi SOPD. Uang yang diterima digunakan untuk membiayai operasional saat mengikuti Pilkada Kapuas tahun 2018 dan Pilkada Kalteng tahun 2020. Termasuk keikutsertaan Ary Egahni dalam pemilu legislatif DPR RI tahun 2019. Ben juga diduga menerima sejumlah uang terkait izin lokasi perkebunan di Kapuas. Selain itu, meminta pihak swasta menyiapkan sejumlah massa saat mengikuti Pilkada Kapuas dan Pilkada Kalteng. Termasuk massa untuk suksesi sang istri mendudiki kursi parlemen.
Menurut Wahyudi, suap di Indonesia sudah memiliki akar budaya yang demikian dalam, sehingga sulit diberantas. Banyak orang mengatakan, karena sistem upeti dianggap sesuatu yang biasa, korupsi sudah membudaya di antara bangsa Indonesia. Budaya upeti sudah menjadi semacam kutukan bagi bangsa, sehingga sulit maju. Dia menambahkan, korupsi terjadi karena tatanan politik yang ada membuka peluang lebar bagi adanya jual-beli jabatan publik. Mereka yang memiliki uang atau modal besar dapat menguasai jabatan penting.
Terjadilah apa yang disebut venal office, yakni kekuasaan bisa dimiliki bukan karena integritas atau kepemimpinan seseorang, tetapi karena punya dana besar untuk kampanye, modal untuk membeli perusahaan publik, bisa menggunakan uang untuk membeli suara pemilih, dan sebagainya. Situasi demikian diperparah budaya dan persepsi masyarakat bahwa imbalan material yang tidak resmi adalah sesuatu yang sah dan wajar. ”Oleh sebab itu, untuk bisa menghindarkan bangsa ini dari cengkeraman korupsi, hal mendasar yang harus dilakukan adalah dengan penyadaran menyeluruh bahwa kita harus keluar dari budaya upeti. Inilah saatnya untuk meyakinkan diri bahwa upeti sama saja dengan suap dan suap adalah korupsi,” ujarnya. Untuk dapat mengatasi persoalan suap-menyuap yang kian hari semakin suram dan menggerus ketidakpercayaan publik terhadap para pejabat, Wahyudi melanjutkan, harus dipahami bahwa transaksi suap dapat terjadi karena keterlibatan dua pihak, yaitu penyuap dan pejabat yang disuap. Penyuapan adalah transaksi yang bersifat timbal-balik atau resiprokal.
”Untuk memberantas korupsi dalam bentuk suap, hukuman harus diberikan setimpal kepada kedua belah pihak, penyuap maupun yang disuap,” katanya. Selain itu, untuk penyadaran terhadap masyarakat tentang buruknya tindakan penyuapan, hendaknya dilakukan pendekatan komprehensif. Karena sifatnya yang resiprokal, pengendalian terhadap segala bentuk penyuapan harus dimulai bukan hanya dari pejabat pemerintah, tetapi juga dari kalangan pengusaha atau masyarakat yang sering berhubungan dengan lembaga pemerintah.
Wahyudi menuturkan, pendekatan hukum perlu terus ditunjang dengan pendekatan budaya. Reformasi birokrasi sejauh ini belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Selain itu, pembenahan aparat publik sampai saat ini masih belum mengedepankan unsur budaya. ”Dengan menelusur budaya upeti yang mengakibatkan meluasnya penyuapan di Indonesia, kita bisa melihat betapa pentingnya menyentuh aspek budaya birokrasi kita,” katanya.
Sementara itu, dia menambahkan, untuk memperbaiki birokrasi publik yang penuh dengan borok korupsi, generasi penerus aparatur pemerintah perlu disiapkan sejak dini. Pendidikan budi-pekerti yang menjelaskan tentang apa fenomena suap dalam kehidupan sehari-hari dan mengapa itu mengandung implikasi serius bagi kemajuan bangsa perlu terus digalakkan. (tim/ign)