SAMPIT – Lolosnya Peraturan Daerah (Perda) Kotim Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pilkades yang melahirkan masalah dalam pelaksanaan pilkades serentak memperlihatkan buruknya kajian yang dilakukan eksekutif dan legislatif menggodok perda tersebut. Polemik yang muncul secara umum merugikan publik. Nilai kerugian diyakini sangat besar.
”Biang masalah pilkades ini ada di regulasi yang asal-asalan digodok. Akibatnya, banyak masyarakat cemas. Di satu sisi, masyarakat desa berharap pilkades dilaksanakan tahun ini karena banyak desa masih dipimpin Pj,” kata Gahara, aktivis muda di Kotim, Selasa (14/3).
Salah satu pasal fatal dalam Perda Pilkades tersebut, yakni bakal calon kades yang diwajibkan menyertakan surat keterangan dari Pengadilan Negeri (PN) Sampit berkaitan dengan surat keterangan makar, narkoba, dan terorisme. Padahal, lembaga tersebut tak bisa mengeluarkan surat itu.
Menurut Gahara, apabila dipaksakan dengan kondisi regulasi atau dasar pelaksanaan seperti itu, akan memicu masalah bagi pemerintah di kemudian hari. Dia juga mengkritik lolosnya pasal yang bertentangan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 128/PUU-XIII/2015.
Putusan itu mengugurkan Pasal 33 Huruf g UU Desa Nomor 6 Tahun 2016, sehingga secara otomatis mengugurkan Pasal 28 Ayat (2) Huruf e UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pilkades.
”Dengan tegas kami katakan ini akibat penggodokan perda yang tidak cermat oleh eksekutif dan legislatif, padahal putusan MK itu keluar lebih dulu,” katanya.
Tokoh politik di Kotim Ahmad Yani mengatakan, apabila pilkades tetap dilaksanakan dengan mengacu perda yang bermasalah, potensi gugatan akan sangat besar. Apalagi yang menggugat menang, akan membatalkan hasil pilkades secara keseluruhan. ”Jika itu terjadi, yang malu Pemkab dan DPRD Kotim, sementara biaya yang sudah dikeluarkan tidak sedikit,” ujarnya.
Dia menilai regulasi yang bermasalah dan cacat secara hukum mengakibatkan kualitas pelaksanaan tidak akan maksimal. Karena itu, dia menyarankan agar pelaksanaan pilkades ditunda sampai 2018 mendatang untuk meminimalisasi gugatan yang akan menjadi masalah besar bagi pemkab.
”Kita jangan memaksanakan sesuatu yang berpotensi jadi masalah bagi kita. Lebih bijak pilkades itu ditunda saja, sembari perda itu sempurna. Karena yang namanya perda adalah dasar hukum, tidak ada tawar menawar. Mesti diminimalisir celah gugatannya,” tegasnya.
Pemkab dan DPRD Kotim sebelumnya sepakat tetap melanjutkan tahapan pilkades sambil merevisi sejumlah pasal yang dinilai mengganjal pelaksanaan pilkades serentak tahun ini. Ketua Baleg DPRD Kotim Dadang H Syamsu mengatakan, apabila proses dan tahapan pilkades dihentikan, pemkab melawan aturan, yakni perda yang sudah disahkan bersama. Proses pilkades bisa tetap berjalan bersamaan dengan revisi perda.
”Yang salah justru kita apabila menghentikan tahapan, karena itu sudah jelas bertentangan dengan perda. Jangan sampai pemda sendiri yang melanggar perda itu,” katanya. (ang/ign)