PANGKALAN BUN – Jejaring sosial beberapa hari ini dihebohkan dengan pesan berantai mengenai Peraturan Gubernur (Pergub) Kalteng Nomor 15 Tahun 2010 terkait pedoman pembakaran lahan di Kalimantan Tengah (Kalteng). Pergub itu dinilai sebagai biang bencana asap yang melanda hampir seluruh wilayah Kalteng.
Reaksi negatif pengguna media sosial langsung menyeruak dengan berbagai ungkapan kekesalan karena menganggap pembakaran lahan itu dilegalkan dan dilindungi pemerintah daerah. Mantan aktivis yang kini menjadi Komisarit Utama (komut) salah satu BUMN, Fadjroel Rachman salah satunya, mengunggah sebuah gambar yang menunjukkan keaslian pergub tersebut dan juga menyertakan link portal untuk menadapatkan soft copy Pergub yang diteken Gubernur Kalteng saat itu, Agustin Teras Narang.
”Ampooon... daerah membakar, pusat memadamkan,” demikian tweet akun @fadjroel milik Fadjroel Rachman yang merupakan putra daerah asal Kalimantan itu.
Pergub Kalteng Nomor 15 Tahun 2010 tersebut dapat diunduh melalui situs Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Kalimantan Tengah, http://jdih.kalteng.go.id/uploads/prokum-2012072715093273.pdf. Isi Pergub yang kini menjadi kontroversi itu, di antaranya menyebutkan, setiap orang yang melakukan pembukaan lahan dan pekarangan dengan cara pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Pejabat yang berwenang memberikan izin adalah bupati/wali kota. Kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dengan luas lahan di bawah 5 hektare, dilimpahkan kepada, camat untuk luas lahan di atas 2 ha; lurah /kepala desa untuk luas lahan di atas 1 hektare sampai 2 hektare; dan ketua RT untuk luas lahan sampai 1 hektare.
Isi dari pergub tentang perubahan atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Masyarakat di Kalimantan Tengah itulah yang kini memunculkan persepsi publik, bahwa membakar lahan itu mudah dan legal di Kalteng. Akun twitter @bukik dengan nama profil Bukik Setiawan, misalnya, men-Tweet Pergub tersebut kemarin.
”Jadi pembakaran hutan memang legal? 25 hektar/desa? Sinting! |Sumber: http://jdih.kalteng.go.id/uploads/prokum-2012072715093273.pdf .” Tweet itu langsung mendapat 369 retweet dan 50 bintang favorit.
Tak hanya di Twitter, di media warga Kompasiana juga muncul berita opini yang ditulis salah satu membernya. Dalam opini yang ditulis Febrialdi, mengungkapkan keheranan penulis saat mengetahui Kalimantan Tengah ternyata ada paraturan yag melegalkan pembukaan lahan dengan cara dibakar.
Mengambil judul Ternyata Ada Pergub Kalteng Beri izin Buka Lahan dan Bakar Hutan, penulis juga menyertakan kutipan dari Pergub Kalteng tersebut. Di akhir tulisan, ia tak menampik sebenarnya memang ada peraturan kepala daerah yang mengizinkan membakar hutan, namun ia berharap pemerintah meninjau kembali pergub semacam itu.
”Pembukaan lahan hutan secara besar-besaran pada pengusaha kakap telah memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Mereka dengan seenaknya akan membakar hutan tanpa memikirkan dampak luas dari perbuatan mereka tersebut. Sudah saatnya dalam hal ini Presiden sebagai pemegang kekuasan tertinggi harus bertindak tegas untuk tidak memberikan izin lagi bagi pembukaan lahan hutan dan pembakaran hutan. Dampak dari embakaran hutan ini sungguha sangat mengerikan sekali,” tulisnya.
Teras Narang senditi langsung mengklarifikasi isu itu melalui akun Facebooknya. Menurut Teras, peraturan tersebut keluar karena tahun 2007 terjadi kebakaran yang luar biasa. Sejak peraturan keluar sampai masa jabatannya berakhir, tidak pernah lagi terjadi kebakaran lahan yang berkepanjangan karena selalu terkontrol dan jelas pertanggungjawabannya.
”Untuk perkebunan dan kehutanan tidak berlaku pergub tersebut, karena mereka sama sekali tidak boleh membakar lahan, sesuai dengan UU Perkebunan dan UU LH yang hierarkinya lebih tinggi dari Pergub,” katanya.
Teras menambahkan, apabila pemda tidak mampu melaksanakan dan mengontrol serta tidak ada kewibawaan melaksanakan pergub tersebut, setiap saat bisa diubah. Berbeda dengan perda yang harus ada persetujuan DPRD, kepemimpinan dan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota, serta komunikasi dengan rakyat menjadi penting.
”Gubernur wajib menjaga ketentraman daerahnya, karena pelarangan tanpa solusi akan meresahkan rakyat. Semoga langkah yang lalu tersebut dimengerti secara situasional pada saat itu. Kebijakan yang harus diambil pada saat itu. Sekali lagi, pada saat itu. Mari kita berdoa agar bencana ini segera berlalu,” tandasnya. (sla/ign)