SAMPIT – Penerapan sistem zonasi pada saat penerimaan peserta didik baru (PPDB) ternyata tidak menjamin sebaran siswa baru merata di setiap sekolah. Buktinya, ada saja sekolah yang tidak kebagian murid pada tahun ajaran kali ini. Lihat saja di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Miftahuttaqwa yang hanya mendapat satu peserta didik baru pada tahun ajaran 2017/2018.
”Kemarin kami sudah menyebar sebanyak sepuluh formulir, tapi yang kembali baru satu. Jadi sementara peserta didik barunya cuma satu,” kata Norhadi, Kepala SMP Miftahuttaqwa, Senin (10/7).
Kemarin menjadi hari pertama sekolah untuk tahun ajaran 2017/2018. Saat Radar Sampit mengunjungi SMP Miftahuttaqwa yang berada di Jalan Muchran Ali, Gang Attarbiyah, Sampit, sekolah tampak sepi. Berbeda dengan kebanyakan sekolah yang cukup ramai pada hari pertama masuk sekolah. Hanya ada beberapa siswa di sekolah tersebut. Ternyata sekolah tersebut hanya memiliki total enam siswa. Terbagi dalam tiga rombongan belajar (rombel), yakni tiga orang di kelas IX, dua orang di kelas VII, dan satu orang di kelas VII.
Jumlah peserta didik pada sekolah yang berdiri sejak tahun 1980-an itu sangat jauh dari kata ideal. Seharusnya untuk satu kelas paling tidak diisi 32 murid. Jika dikali tiga rombel, setidaknya sekolah tersebut memiliki 96 peserta didik.
Menurut Norhadi, hal ini terjadi sehubungan dengan kurangnya minat masyarakat terhadap sekolah swasta. Umumnya orang-orang lebih memilih sekolah negeri dan sekolah favorit yang dinilai bisa menjamin pendidikan anak-anak mereka kelak. Begitu pula dengan minat dari calon siswa baru yang kebanyakan lebih memilih untuk bersekolah di sekolah favorit yang dianggap lebih bergengsi.
”Promosi sekolah sudah kami lakukan semaksimal mungkin, menyebarkan formulir, memasang spanduk, dan sebagainya. Tapi semua kembali pada minat dan keinginan mereka untuk mencari tempat sekolah, kami pun tidak bisa memaksa,” ujarnya.
Pihaknya sama sekali tidak membebani calon peserta didik dengan biaya apapun, meskipun berstatus sekolah swasta. Pendaftaran gratis, hanya saja untuk seragam harus beli sendiri. Intinya, persyaratan untuk masuk ke sekolah tersebut sudah sangat ringan, tapi tetap saja minat masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka di situ tetap rendah.
Kurangnya siswa tersebut membawa dampak bagi sekolah. Dana BOS yang menjadi andalan selama ini semakin sedikit. Hal ini sehubungan dengan peraturan baru pemerintah yang menetapkan jumlah dana BOS berdasarkan jumlah murid. Akibatnya, selama beberapa bulan terakhir pihak sekolah tidak mampu membayar gaji guru yang ada di sekolah tersebut.
”Untuk penggajian guru dari dana BOS, kami tidak punya sumber dana lain. Kami tidak memungut dari siswa, sedangkan dari pihak yayasan sudah tidak lagi menyalurkan dana. Makanya, sekarang kami masih terutang gaji dengan guru-guru,” ungkapnya.
Mengenai kelangsungkan sekolah tersebut, Norhadi tampak pasrah. Ia hanya bisa menyerahkan semuanya kepada Dinas Pendidikan (Disdik) Kotim. Apabila di kemudian hari ada wacana sekolah tersebut bergabung dengan negeri, pihaknya siap menerimanya.
Terkait sistem zonasi PPDB, Norhadi menilai hal tersebut sudah bagus sebagai upaya pemerintah agar tidak terjadinya penumpukan siswa baru di sekolah-sekolah favorit. Hanya saja sejauh ini sistem tersebut nampaknya belum terlalu berpengaruh dengan PPDB di sekolah mereka, semua kembali pada minat orang untuk bersekolah di SMP Miftahuttaqwa.
Mengenai sistem mengajar di SMP Miftahuttaqwa yang salah satu rombelnya hanya memiliki satu murid, seorang guru menyatakan tidak menjadi masalah. Justru murid bisa lebih fokus dalam pelaksanaan belajar-mengajar di kelas. Tapi yang mereka khawatirkan, siswa tersebut akan cepat bosan karena tidak memiliki teman sekelas.
”Di sinilah peranan kami untuk bisa memotivasi para siswa untuk tetap semangat belajar dan bersekolah. Alhamdulillah, selama ini siswa yang bersekolah di sini tetap rajin,” ujarnya.
Para murid yang bersekolah di SMP Miftahuttaqwa rata-rata berasal dari keluarga kurang mampu atau ekonomi lemah, sebagian dari mereka harus bekerja sepulang sekolah untuk membantu orangtuanya mencari nafkah. Kendati demikian, tidak menyurutkan semangat mereka untuk menuntut pendidikan, hal ini pula yang membuat pihak sekolah tidak tega jika harus menarik iuran kepada para murid.
Peserta didik baru Putri Aulia mengaku bersekolah di SMP Miftahuttaqwa atas keinginannya sendiri. Meskipun saat ini belum memiliki teman sekelas, dia tetap akan menjalankan kewajibannya sebagai seorang siswa, yakni mengikuti pembelajaran di sekolah tersebut sebagaimana mestinya.
”Nggak apa-apa kalau harus di kelas sendiri, nanti juga ada lagi yang masuk,” ucapnya.
Sementara itu, beberapa sekolah swasta lainnya yang ada di Kota Sampit, mengaku bahwa sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah cukup membawa dampak positif saat PPDB digelar. Seperti, Yayasan Pembina Lembaga Pendidik SMP PGRI-1 Sampit yang tahun ini jumlah peserta didik barunya meningkat dibanding tahun lalu. Tahun sebelumnya, SMP PGRI 1 Sampit hanya mampu menjaring 15 siswa, tapi tahun ini jumlah peserta didik baru mencapai 30 siswa.
”Bagus juga dengan adanya zonasi, jadi masyarakat yang ada di sekitar sini mau untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah ini. Kalau enggak pakai zonasi kaya tahun kemarin, masyarakat lebih memilih sekolah favorit, sehingga sekolah kami hanya kebagian sedikit,” kata Tina, Wakasek Kurikulum SMP PGRI-1 Sampit.
Senada diungkapkan Kepala MTs Swasta Nurul Ummah Jalan Suprapto Sampit, Ummiyati. Jumlah peserta didik baru meningkat dibandingkan tahun lalu, dari 18 orang menjadi 25 orang. Memang belum mencapai target ideal 32 orang, tapi hasil ini cukup baik.
”Kami menyebarkan sekitar 50 formulir dan yang kembali separuhnya. Lumayan ada sedikit peningkatkan,” ujarnya.
Di samping penerapan sistem zonasi, dia mengharapkan agar sekolah negeri maupun favorit dengan tegas membatasi jumlah penerimaan peserta didik baru mereka. Sempat terdengar kabar bahwa ada salah satu sekolah favorit yang kelebihan murid kemudian meminta para wali siswa untuk membantu menambah kelas baru, sehingga murid yang berlebih masih dapat ditampung.
”Seharusnya tidak seperti itu, kalau sudah berlebih ya serahkan kelebihan siswa itu pada sekolah lainnya. Supaya sama-sama kebagian, kasihan sekolah swasta yang sudah terpuruk menjadi sulit untuk bangkit, padahal secara kualitas pengajar sama saja,” tuturnya.
Ditambahkannya, agar sekolah swasta bisa meningkat perlu dukungan dan kerjasama dari sekolah lainnya, terlebih sekolah negeri dan favorit. Salah satunya, dengan membagi peserta didik baru ke sekolah lain, jangan hanya ditampung sendiri. Hal ini juga perlu diimbangi dengan upaya sekolah swasta untuk meningkatkan kualitas dan promosi sekolah yang menurutnya selama ini sudah dilaksanakan dengan cukup baik. (vit/yit)