PANGKALAN BANTENG– Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membuat resah perajin tahu dan tempe di Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat.
Perajin tahu dan tempe yang menggunakan bahan baku kedelai impor mulai terkena imbasnya. Harga kedelai mengalami kenaikan sejak awal pekan lalu.
Seorang perajin tempe di Desa Karang Mulya, Sani (49) mengatakan, usaha tempe yang ditekuni keluarganya sudah dirintis sejak 1980 silam. Selama ini yang menjadi bahan baku utama menggunakan kedelai impor dari dari luar negeri.
”Naik sekitar Rp 1.000 per kilogram. Memang belum terlalu besar kenaikannya. Tapi karena impor, maka akan dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar,” ujarnya, Sabtu (31/3).
Menurutnya, ketergantuangan dengan kedelai impor tidak dapat dihindari. Pasalnya pasokan kedelai lokal dan kualitas kedelai juga kalah dari kedelai produksi luar negeri.
”Semua perajin tempe termasuk saya sangat mengandalkan kedelai impor karena lebih mudah dibersihkan dan hasilnya lebih mengembang. Kedelai lokal susah didapat,” lanjutnya.
Perajin tempe lainnya, Miatun (31), menambahkan pemasok tempe ke sejumlah pedagang di pasar Karang Mulya serta para pedagang sayur keliling ini khawatir jika harga kedelai tiba-tiba tembus diatas Rp 10.000 perkilogram.
Dia menuturkan, sepekan ini harga kedelai impor naik, dari Rp 8.100 menjadi Rp 8.500 per kilogram.
”Sekarang masih sekitar Rp 8.500 - Rp 9.000. Kalau harga sampai Rp 10.000 lebih per kilogram, kam yang kelabakan,” katanya.
Dalam sekali beli biasanya dia mampu mendatangkan kedelai impor hingga satu ton. Sekitar tiga kuintal di antaranya kemudian diolah menjadi tempe setiap hari. Jika harga kedelai terus naik, Ia mengaku tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan harga jual tempe produksinya.
”Harga jual tempe sulit dinaikkan, maksimal kami hanya bisa mengurangi ukuran tempe tak lebih dari 10 persen,” katanya.
Imbas kenaikan harga kedelai juga dirasakan para perajin tahu. Sugianto salah satunya. Namun dia mengaku jika menaikan harga tahu adalah opsi terakhir. Karena kenaikan harga tahu akan berpengaruh pada penjualan.
”Pas akhir bulan, stok kedelai digudang juga sudah menipis, kalau harga naik kita main di ukuran. Naikan harga itu pilihan terakhir jika memang tidak ada jalan lain,” katanya.
Sementara itu pedagang tahu dan tempe di pasar Karang Mulya, Sugeng justru mengeluhkan sepinya penjualan dua produk utama berbahan dasar tempe itu. Dalam dua pekan terakhir penjualan semakin menurun.
”Kedelai katanya naik, namun penjualan tahu dan tempe sepi. Padahal harga tidak naik,” katanya.
Menurutnya pasar gajian di awal pekan bulan depanlah yang menjadi penentu. Karena sejak awal tahun 2018 ini, daya beli masyarakat cukup terasa penurunannya.
”Kalau pas pasar gajian nanti juga sepi, bisa sepi sepanjang bulan,” terangnya. (sla/fm)