PALANGKA RAYA – Tersangka dugaan ujaran kebencian AS (35) terdeteksi melakukan tindak pidana tersebut selama sekitar dua tahun belakangan. Polda Kalteng mendapat informasi dari Mabes Polri, sehingga kader partai yang tahun ini ikut mencalonkan diri mengikuti Pemilu 2019 itu bisa ditangkap.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalteng Kombes Pol Adex Yudiswan mengatakan, tersangka melakukan perbuatan tersebut melalui Facebook. Isinya menyatakan kebencian kepada kekuasaan umum dan pemerintah. ”Semuanya diakui oleh tersangka,” katanya, Senin (10/9).
Adex mengungkapkan, Tim Cyber Crime Polda Kalteng memperoleh informasi dari Siber Mabes Polri, bahwa akun Facebook dengan profil Agus Sugianto Agus, tertanggal 15 September 2016 lalu hingga 28 Juli 2017, sampai 13 April 2018, mengunggah ujaran kebencian yang mengandung unsur SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan).
Pihaknya lalu membentuk tim dan melakukan penyelidikan hingga pelaku diamankan di Jalan DI Panjaitan Sampit, Kelurahan Mentawa Baru Hulu, Kotim. ”Kami amankan juga barang bukti satu unit ponsel, kartu sim, dan lainnya,” ucapnya.
AS dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 45a Ayat 2 UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Ancaman pidana paling lama enam tahun dan atau denda satu miliar rupiah.
”Kami juga kenakan Pasal 16 jo Pasal 4 UURI NO 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi RAS dan Etnis. Ancamannya lima tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta,” ujarnya.
Adex menegaskan, pihaknya akan terus menindak tegas unggahan status di medsos yang mengandung ujaran kebencian dan SARA. Hal itu agar situasi kondusif terus terjaga jelang pemilihan presiden dan legislatif tahun depan.
”Ada tim khusus terkait itu. Kepolisian juga menyebarkan meme untuk tidak mengunggah ujaran kebencian dan SARA, termasuk menyosialisasikan aturan tentang ITE. Jadi, stop untuk hal itu, karena polri tidak tinggal diam,” ujarnya.
Pertimbangkan Praperadilan
Rusdi Agus Susanto, selaku Kuasa Hukum AS, mengatakan, pihaknya akan mempertimbangkan melakukan praperadilan. Dalam waktu dekat ini, dia bersama timnya akan mengkaji hal itu.
Menurutnya, dalam kasus seperti itu, harus ada keterangan dari ahli, baik bahasa, ITE, dan ahli pidana sebelum menetapkan status tersangka. ”Mengenai kapan praperadilan, kami masih mempertimbangkan. Permasalahan ini tidak ada kaitannya dengan politik. Ini personal," tegasnya.
Rusdi menuturkan, demi menghormati harkat dan martabat kliennya, serta keluarga, kepolisian agar menjunjungi tinggi asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).
”Klien kami dalam kehidupan sehari hari merupakan orang baik, yang dalam menjalankan aktivitas dan pekerjaan memberi manfaat untuk masyarakat dan umat, serta tidak pernah merugikan orang lain. Klien kami bukanlah penjahat yang melakukan perbuatan tercela yang merugikan masyarakat dan negara,” katanya.
Menurutnya, kasus yang menjerat kliennya hanya karena khilaf, yang disebabkan keterbatasan pengetahuan tentang hukum dan perundang-undangan. Kasus semacam itu dapat menjerat siapa saja.
”Klien kami dan keluarga sedang menanggung beban berat atas kasus ini. Ditambah dengan reaksi masyarakat serta pengguna media sosial yang cenderung memojokkan klien kami. Semakin menambah beban psikologisnya, sehingga agar tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah,” tandasnya. (daq/arj/ign)