SAMPIT – Solar subsidi yang diperuntukkan bagi warga diduga menyimpang ke industri. Pasalnya, kuota solar untuk Kotim dinilai mencukupi. Namun, karena terjadi penyimpangan, memperoleh bahan bakar minyak (BBM) tersebut kini sangat sulit. Termasuk di eceran.
Dugaan penyimpangan itu disampaikan anggota DPRD Kotim Alexius saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan para sopir angkutan terkait keluhan mengenai sulitnya mendapatkan solar subsidi, Senin (5/11) di gedung DPRD Kotim.
Massa yang menggelar aksi sekitar 300 orang. Mereka dikawal ketat aparat keamanan. Legislatif meresponsnya dengan menggelar RDP dengan meminta perwakilan sebanyak 20 orang.
Alex menuturkan, aksi pelangsiran memang marak terjadi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Akibatnya, solar sulit diperoleh. Hal itulah yang membuat kuota solar selalu kurang dan sopir truk harus antre panjang untuk memperolehnya.
”Gampang saja melihatnya. Kalau dia melangsir untuk premium atau pertalite, dia ada jual di pinggir jalan, tetapi kalau solar tidak ada. Bahkan, mau cari solar aja susah di pinggiran. Jelas itu masuk ke industri,” kata Alex.
Alex berpandangan, penambahan kuota belum perlu dilakukan. Hal yang jadi prioritas adalah penertiban distribusi BBM. Pihak terkait diminta bertindak tegas terhadap pelangir yang selama ini mengambil untung dari minyak subsidi tersebut.
”Gampang saja membedakan pelangsir dengan pekerja. Pelangsir tiap hari itu-itu terus kendaraan yang mereka gunakan. Yang pegang corong pengisian pasti hafal. Artinya, kuota berapa pun atau mau buka SPBU 10 unit lagi, akan tetap kurang jika pelangsir masih bermain,” tegasnya.
Penindakan terhadap pelangsir juga ditegaskan anggota DPRD lainnya, Rudianur. ”Pelangsir perlu ditindak! Itu saja. Mau ditindak seperti apa, mau dibina bagaimana, itu urusan teknis pemkab,” katanya.
Malik, sopir angkutan material mengatakan, kesulitan memperoleh BBM sudah dirasakannya sejak 2004 hingga sekarang. Sebelumnya para sopir masih menggunakan BBM jenis dexlite. Sebelum terjadi kenaikan, sopir membeli dengan harga Rp 9.700 per liter.
”Namun, karena dexlite naik hingga di angka Rp 10.700 per liter, kami terpaksa berpindah ke solar subsidi karena kerja tidak mendapatkan apa-apa,” ujarnya.
Di luar itu, pihaknya juga harus membayar biaya parkir yang nilainya cukup memberatkan. ”Memang sebutan resminya bayar Rp 5 ribu, tetapi implementasinya kami bayar ada yang berkisar dari Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu, tergantung mereka mau cepat. Kalau sopir mau cepat dapat BBM, biaya semakin besar,” ujarnya.
Dia juga mengungkap, para sopir angkutan material dalam sehari hanya diberikan batas 70 liter per satu kali pengisian, sementara pelangsir bisa mengisi sampai Rp 1 juta. ”Kami mempertanyakan, kenapa bisa para pelangsir diberikan kemudahan, sementara kami para sopir pekerja dibatasi dan sulit sekali memperoleh BBM,” ujar Malik.
”Kami berharap semua pungutan di SPBU dan pelangsir dihapuskan di semua SPBU di Kotim,” tegasnya lagi.
Kepala Dinas Perhubungan Kotim Fadlian Noor mengatakan, nilai nominal parkir untuk truk gandeng sebesar Rp 10 ribu. Di luar itu tidak dipungut bayaran. ”Kalian juga harus meminta (orang yang memungut) menunjukkan karcis,” katanya kepada para sopir.
Kesimpulan RDP yang dibacakan Wakil Ketua DPRD Kotim Supriadi yang saat itu memimpin rapat, di antaranya mendesak pemkab menghitung kembali kebutuhan BBM di Kotim; mengusulkan kuota BBM ke BPH Migas; ketiga mendesak pemkab melakukan pengawasan dan penertiban terhadap distribusi BBM terkait pelangsir.
Selanjutnya, mendesak Pertamina memberikan sanksi kepada SPBU yang menyalahgunakan pendistribusian BBM di Kotim; mendesak pemkab agar Pertamina yang menggunakan angkutan melebihi tonase supaya tidak beroperasi; dan mendesak pemkab agar secepatnya menindaklanjuti rekomendasi DPRD Kotim.
”Pihak terkait agar bisa merundingkan dan kalau bisa besok pagi sudah harus bisa ditertibkan, supaya saudara-saudara kita bisa mendapatkan minyak dengan mudah,” katanya. (hgn/ign)