SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Minggu, 08 September 2019 08:16
Bertamu ke Rumah Tertua di Pinggiran Kota Tertinggal

Lebih Dekat dengan Mentaya Seberang

FOSE MAKSIMAL: Mamang Khan, wisatawan luar daerah berswafoto di belakang dermaga Mentaya Seberang.(USAY NOR RAHMAD/RADAR SAMPIT)

Saya jadi pemandu wisata dadakan. Belum lama ini, Mamang Setiawan, keluarga dari Pulau Jawa datang ke Sampit. Kali ini kami berdua berencana jalan-jalan ke Mentaya Seberang, Kecamatan Seranau, bagian Kota Sampit yang tertinggal itu.

USAY NOR RAHMAD, Sampit

Sepeda motor metik tua yang membawa kami, melambat di dermaga Inhutanni Sampit sekitar pukul 14.00. Dermaga tempat pemberhentian feri. Feri penyeberangan dari dan ke Mentaya Seberang.

Biasanya, sekitar 30 menit feri tiba. Bila beruntung sampai dermaga bisa langsung naik dan berangkat. Begitu juga bagi masyarakat Mentaya Seberang.

Sembari menunggu, kami bersantai di warung di dermaga. Mamang beli teh botol. Saya beli kopi botolan. Kami asyik sembari menikmati pemandangan Sungai Mentaya dengan air berwarna cokelatnya, yang mengalir membelah kota.

Sesuai waktu perkiraan, feri bernama KM Mentaya itu pun tiba. Angkutannya tidak terlalu banyak saat itu. Padahal biasanya cukup padat. Ongkusnya murah, cuma Rp 5.000, dihitung per sepeda motor, bukan per orang.

Keberadaan feri bagi masyarakat sangat penting. Selain feri, penyeberangan juga bisa dilakukan dengan taksi kelotok. Tarifnya sama. Hanya saja dihitung per orang dan tidak bisa membawa sepeda motor.

Sebenarnya Mamang Khan, sapaan akrabnya, sudah pernah ke Sampit. Dia juga pernah ke Mentaya Seberang. Tapi saat itu hanya singgah sebentar di Dermaga bertulis ”Selamat Datang di Sampit” itu. Waktu itu kami susur Sungai Mentaya. Rupanya pesona Mentaya Seberang membuatnya penasaran selama bertahun-tahun, dan ingin lebih mengenal keunikan wilayah itu ketika kembali lagi ke Sampit.

Ada yang menyebut Mentaya Seberang sebagai kota tertinggal. Cukup beralasan, bagaimana tidak, pembangunan di sini sangat lamban. Sebagai ibu kota kecamatan pembangunan jauh dibandingkan Kecamatan Mentawa Baru Ketapang dan Kecamatan Baamang. Bahkan kecamatan jauh dari kota seperti Kotabesi, Mentaya Hilir Selatan, dan lainnya. Itu masih membahas Mentaya Seberang, belum bicara soal desa di Kecamatan Seranau lainnya, seperti desa; Terantang, Batuah, Tinduk, Ganepo, dan lainnya. Tentu lebih ironis.

Perbedaan mencolok dapat dilihat dari bangunan rumah warganya. Sebagai besar dibangun dari kayu. Jarang sekali ada bangunan beton. Pasalnya, harga bahan bangunan di sini mahal. Bisa sampai tiga kali lipat dari harga di Sampit. Makanya masyarakat Seranau sangat menanti kehadiran jembatan untuk menyudahi keterisolasian kampung yang dibatasi Sungai Mentaya itu.

Sampai di seberang, azan ashar berkumandang. Kami pun menuju salah satu masjid. Tepatnya di Mentaya Seberang Hilir. Selanjutnya kembali mengendarai sepeda motor menuju ke hilir dengan melintasi jembatan kayu membentang berkilo-kilo meter.

Sepanjang Jalan Mentaya Seberang terbuat dari titian kayu ulin ini menjadi akses utama warga dari hulu ke hilir pun sebaliknya.


Di Mentaya Seberang Hilir, perhatian kami tertuju ke sebuah rumah. Rumahnya cukup besar. Berdesain kolonial Belanda zaman dulu. Hampir di setiap sisi bangunan terdapat jendela kaca dengan bingkai kayu ulin. Halamannya pun lumayan luas. Katanya rumah inilah yang kala itu menjadi rumah pertama di Mentaya Seberang. Mentaya Seberang dulu dikenal dengan sebutan Libu Nusa. Seranau sendiri berasal dari kata saran (tepi) dan  enau (tumbuhan liar di tepi sungai).

Tiga abad yang lalu sejarah cikal bakal Sampit terukir di sini. Di tangan generasi ke-2nya, rumah pasangan Oenggal Norani dan Mispil ini, kini dalam pemugaran. Saat ini, belum terbuka untuk umum. Sudah sejak 2006 hingga kini masih dalam pemugaran.

Rumah Warisan Oenggal Norani

Rumah warisan Oenggal Norani dalam masa pemugaran.

Beruntung saya masih ada hubungan kekerabatan dengan ahli waris. Jadi saya bisa mengajak Mamang masuk untuk melihat-lihat rumah itu. Biasanya tidak semua orang dibolehkan. Maklum di rumah ini banyak benda-benda antik, yang nilainya sangat mahal dan bersejarah. Mungkin itu salah satu alasannya. Di hari biasa, rumah ini dijaga salah seorang kerabat ahli waris namanya Ora, saya biasa memanggilnya julak Ora.

Rumah Oenggal Norani2

Rumah ini bakalan menjadi salah situs budaya di Kotawaringin Timur. Tapi sampai dengan tulisan ini diterbitkan belum dibuka untuk umum karena masih pemugaran.


Beruntungnya lagi, saat kami berkunjung, ada Wardani. Dia salah satu ahli waris rumah bersejarah ini. Perempuan yang berprofesi sebagai dokter ini hanya dua tahun sekali pulang ke rumah kebanggaan keluarga ini. Ya mungkin saja dianggap seperti vila saat liburan ke Sampit. Sudah puluhan tahun dia pindah domisili ke Cinere, Depok dan menjadi dokter di salah satu rumah sakit swasta di sana.

”Ini pemugaran yang pertama, kami ingin mempertahankan warisan keluarga ini. Makanya interior hingga perabotan dan letaknya, tetap kami pertahankan,” kata Wardani.

Dia bersama saudaranya dr Ambrul,  biasa bergantian menjenguk rumah ini. Kini Ambrul berdomisili di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bertugas di salah satu rumah sakit besar di sana. 

Saya bersama Mamang begitu takjub melihat konstruksi dan desain rumah ini. Semuanya berbahan kayu ulin. Sebagian bagian rumah yang masih bagus dipertahankan. Lainnya seperti dinding atap dan lantai sudah diganti dengan kayu yang baru. Menghadap langsung ke arah Sungai Mentaya. Jelang senja kita akan bisa menyaksikan pemandangan matahari terbenam dengan latar muka perkotaan Sampit dari seberang Mentaya.

Suasana asri pinggiran rimba di sekitarnya juga membuat sejuk. Tak ada polusi suara, membuat suasana tentram, hanya nyanyian serangga hutan bersahutan dengan kicau burung. Tak ketinggalan angin sepoi-sepoi membawa aroma dedaunan. Tentu ini membuat kami makin betah berlama-lama.

Kami juga berkesempatan melihat bagian rumah paling belakang. Dulu diperuntukan untuk kebun binatang. Entah kemana fauna-faunanya sekarang. Katanya juga ada rusa, dan hewan menarik lainnya. Kini jadi tempat budidaya ikan.

”Sejuk berasa ingin tidur-tiduran,” kata Mamang sambil selonjoran.

Tak ketinggalan kami menyempatkan diri untuk foto-foto. Mulai dari konstruksi bangunan rumah, halaman, hingga dapur tak luput dari bidikan lensa kamera ponsel pintar kami.

Mata kami tertuju pada sebuah lemari di ruang tamu. Tapi sayang pemilik rumah sengaja menutupnya menggunakan kain. Katanya isinya semua benda-benda kuno bersejarah. "Pasti unik. Pasti keren. Pasti mahal," begitu pikir saya. Kami tak berani untuk membuka dan melihat isinya. Penasaran kami dikalahkan sungkan. 

Ada lagi yang menarik perhatian Mamang, sebuah pohon besar berada di sebelah hulu rumah (arah Utara) berjarak sekitar 100 meter. Langsung ia abadikan pohon itu. Tinggi pohon itu puluhan meter. Usianya mungkin sudah ratusan tahun. Orang menyebutnya pohon pakil.

”Ternyata ada kuburan ya di bawah pohonnya,” ucap Mamang sambil memperbesar foto hasil bidikannya.

Pohon drawa
Pohon pakil menjulang tinggi. Pohon ini sudah sangat tua usianya mungkin sudah ratusan tahun. Berada tidak jauh dari rumah warisan Oenggal Norani. 

Tak menggubrisnya, saya pun langsung mengajak Mamang kembali masuk. Di situ kami merasa betah. Bahkan tak ingat waktu. Tapi kami harus pulang. Akhirnya kami berpamitan.

Setelah jauh meninggalkan rumah itu, penasaran rupanya masih menyelimuti pikiran Mamang. Ya, penasaran dengan makam yang ada di bawah pohon besar itu.

”Itu tadi kuburan siapa ya?”

Saya diam.Tiba-tiba teringat cerita almarhumah nenek, ketika saya masih kecil. Katanya, dulu saat zamannya kompeni, ada sekelompok perampok atau begal ditembak mati. Dieksekusi di bawah pohon besar, bahkan dikubur di lokasi yang sama. Konon angker. Tapi saya meyakinkan diri bukan itu. Bukan makam di bawah pohon pakil itu.

Terlepas dari misteri kuburan di bawah pohon tua itu, saya optimis rumah warisan keluarga Oenggal Norani ini bakal menjadi salah satu objek wisata budaya menarik. Ya, bakal memperkaya tujuan destinasi wisata di daerah itu. Sama seperti, Betang Tumbang Gagu, Sandung Angui, Bundaran Belanga, Ikon Jelawat, dan destinasi wisata budaya lainnya. 

Rumah ini memiliki keunikan tersendiri. Selain sejarahnya, juga kehidupan sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Contohnya saja setiap subuh di hari tertentu di titian jembatan tak jauh dari rumah itu biasanya para petani dan pekebun bersiap menurunkan hasil pertanian dan hutannya ke kelotok. Selanjutnya, nanti dijual ke pasar di Kota Sampit.

Memang tak banyak yang tahu soal rumah ini. Tapi semoga saja keberadaannya akan menjadi daya tarik wisata. Dengan ini tentu dapat membuat Mentaya Seberang makin dikenal. Tak tertinggal lagi.

Langit biru menjadi jingga. Gedung-gedung di seberang kota membentuk siluet karenanya. Kini hari meninggalkan siang. Malam pun menyapa.

"Kok feri penyeberangannya lama ya?" kata Mamang ketika menunggu di dermaga seberang untuk pulang.

Duh, saya lupa, bahwa feri penyeberangan tidak beroperasi 24 jam. 

Dalam lamunan saya, kasihan masyarakat Mentaya Seberang selama ini, mobilitasnya terbatas. Tidak bisa dengan leluasa menyeberang. Bagaimana kalau darurat ingin ke rumah sakit? Bagaimana bila terjadi situasi urgen lainnya.

Malam itu, kami pun akhirnya merasakan kesusahan mereka."Selamat datang di kota tertinggal." (*)


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers