Tanaman jagung hibrida tengah populer di Kabupaten Barito Utara. Para petaninya meraih penghasilan besar dari hasil pertanian itu.
HENY, Sampit
Pelaksanaan Pekan Daerah Kontak Tani Nelayan Andalan (Peda KTNA) Provinsi Kalteng yang ke-XII di Desa Eka Bahurui, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Kabupaten Kotawaringin Timur, akan berakhir hari ini, Sabtu (13/7). Ajang pertemuan unjuk bakat serta pameran oleh para petani dan nelayan seluruh daerah se-Kalteng itu terasa meriah.
Di tengah ingar bingar pelaksanaan acara itu, lelaki perantauan asal Boyolali yang sejak tahun 1993 bertahan hidup menjadi petani di Desa Rimba Sari, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, menyita perhatian Radar Sampit.
Sutarno, begitu dia disapa. Ketua Panitia KTNA Barut yang telah bergelut menjadi petani kurang lebih 26 tahun lamanya itu sukses membina sekitar 180 petani.
Sebagai pembina, dia menginginkan agar petani bisa sukses bersama-sama dan mampu menghidupi keluarga. Hal itu dilakukannya dengan memberikan modal kepada petani yang dihimpunnya untuk keperluan modal pupuk, alat transportasi, bahan bakar minyak, serta obat-obatan herbisida.
Kota Muara Teweh yang terkenal dengan jagung hibrida membawa angin segar bagi para petani. Petani yang dibinanya sebagian besar menanam jagung hibrida. Dari luasan 8.300 Km2 di Barito Utara, 18 ribu hektare di antaranya digunakan untuk lahan pertanian dan perkebunan.
”Luas pertanian dan perkebunan di Barut ini ada sekitar 18 ribu hektare. Minimal petani punya tiga hektare yang digarapnya,” ujar Sutarno.
Sutarno lalu menceritakan pengalamannya jadi petani. Sejak menginjak tanah Kalimantan pada 1993, dia sudah memulai menjadi petani kedelai sampai 2002. Namun, karena permintaan pasar menurun, sejak 2002-2008 dia beralih menjadi petani sayuran organik, seperti sawi, kangkung, selada, bayam, dan jenis sayur lainnya.
Tahun 2008, dia beralih menjadi petani karet dan mencoba peruntungan menjadi petani kelapa sawit. Namun, selama 2,5 tahun belakangan ini, dia akhirnya memilih jagung hibrida sebagai hasil tani andalannya.
”Saya sudah bergonta-ganti jenis tanaman hingga akhirnya memilih menjadi petani jagung hibrida, tetapi karet dan sawit masih jalan juga. Untuk yang perputaran uangnya cepat dan menanamnya tidak rewel tetap jagung hibrida,” katanya.
Menurutnya, tanaman jagung hibrida tak mengenal musim. Masa panennya 4,5 bulan atau 100-135 hari.
”Untuk menjaga kualitas hasil panen jagung baik, diperlukan 100-135 hari, baru bisa panen. Tetapi tiap hari ada saja yang panen karena menuai bibitnya tidak bersamaan,” ujarnya yang memiliki 16 hektare lahan jagung ini.
Sutarno menuturkan, hasil panen jagung hibrida rata-rata per harinya mencapai 30 ton untuk seluruh petani yang dihimpunnya. Harga jual per kilogram jagung pipilan seharga Rp 4.200 sesuai kadar air dalam jagung.
”Harga itu bisa berubah-ubah tergantung kadar airnya. Kalau kadar airnya bagus sesuai permintaan pasar, yakni dengan kadar air 17 persen dapat dijual dengan harga Rp 4.200 per kilogram,” ujarnya.
Kebanyakan para petani, lanjut Sutarno, jarang mencapai kadar air 17 persen dan hanya mencapai 24 persen. Apabila sudah memasuki masa panen, 180 petani yang dibinanya akan menyetorkan hasil panennya, lalu kemudian dapat diuangkan.
”Dari petani, harga jagung hibrida pipilan bisa berkisar Rp 3.200 per kilogram. Saya hanya mengambil keuntungan Rp 100 rupiah per kilogramnya. Keuntungan petani bersihnya sudah mencapai Rp 13 juta per hektare sekali panen dan nanti dipotong dengan pinjaman modalnya,” ujarnya.
Dari hasil panen tersebut, tugas Sutarno menyetorkannya ke pihak perusahaan di Desa Banyu Ireng, Kecamatan Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
”Pengiriman hasil panen dalam bentuk jagung hibrida pipilan biasanya satu minggu bisa sampai 4-5 kali pengiriman dengan rata-rata pengiriman 8 ton truk tetapi kalau pakai fuso bisa muat 16 ton,” ujar Sutarno yang memiliki 16 karyawan ini.
Lebih lanjut Sutarno mengatakan, menjadi petani tidak selalu berjalan mulus. Penghasilannya kadang mengalami kenaikan dan penurunan, tergantung faktor alam. ”Kalau sudah musim kemarau, pasti berdampak pada petani. Tidak hanya jagung, tetapi hampir semua jenis tanaman,” ujarnya.
Untuk tanaman jagung, misalnya, proses pengeringan hingga menjadi jagung pipilan saat cuaca cerah memerlukan 2-3 hari. Tetapi, jika musim hujan bisa lebih dari itu.
”Musim kemarau tidak baik untuk pertumbuhan tanah. Begitu juga kalau musim hujan. Proses pengeringan menjadi terhambat,” ujarnya.
Sutarno mengatakan, Muara Teweh sebenarnya tak hanya unggul dengan tanaman jagung hibrida, tetapi juga memiliki tanaman jenis lain, seperti selada, kakao, kelapa muda, karet, dan kelapa sawit.
”Untuk bibitnya didatangkan dari daerah lain, tetapi tetap tumbuh subur di tanah Muara Teweh,” ujarnya.
Dia berharap para petani di Barito Utara juga mengembangkan bawang merah sebagai andalan hasil pertanian. ”Saat ini bawang merah mulai diminati petani. Semoga ke depannya semakin berkembang dan menjadi hasil tani andalan setelah jagung hibrida,” katanya.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengatakan, komunitas jagung merupakan hasil tani andalan di Kalteng yang terus meningkat produksinya dari tahun ke tahun. Salah satu lahan terbesar penghasil jagung hibrida berada di Batara.
”Lima tahun lalu, per tahun Kalteng hanya dapat menghasilkan 12 ribu ton. Sekarang, untuk pipilan jagung sudah mencapai 100 ribu ton lebih. Berarti meningkatnya sangat luar biasa,” kata Sugianto.
Dia mengaku itu semua berkat kerja keras petani dan dukungan penuh pemerintah daerah untuk berupaya meningkatkan hasil produksi pertanian. ”Untuk komunitas jagung yang sebelumnya belum menjadi andalan. Saat ini, berkat kerja keras petani dan bupati di Kalteng, khususnya Bupati Barito Utara, hasil produksi jagung semakin meningkat. Saya berterima kasih kepada petani yang mendukung peningkatan produksi hasil tani,” ujarnya.
Dia berharap bupati dan wali kota lainnya di Kalteng dapat mengikuti Batara dalam meningkatkan hasil produksi pertanian.
Dia mengungkapkan, Kementerian Pertanian meminta Pemprov Kalteng menyiapkan lahan 200 ribu hektare untuk pertanian, tetapi yang baru bisa tergarap hanya sekitar 50 ribu hektare.
”Paling banyak di Barito Utara. Harapan saya, permintaan kementan untuk menyiapkan 200 ribu hektare dapat dipenuhi tidak hanya di Batara, tetapi tersebar di seluruh wilayah Kalteng,” tandasnya. (***/ign)