SAMPIT - Tradisi unik turun temurun di tengah masyarakat Dayak Ngaju saat gerhana tiba. Mereka percaya, kehadiran ‘garaha matan andau’ atau ‘garaha bulan’ bak sebuah ancaman. Ada ketakutan yang menyertainya. Misalnya gagal panen, baik itu hasil sawah-ladang, maupun kebun bebuahan.
Maka, saat dua garaha itu tiba, warga Dayak Ngaju membunyikan gong dan alat tetabuhan lainnya. Atau memukul benda apapun yang menghasilkan suara keras. Sembari berteriak bersahutan. Tujuannya untuk menakuti sosok ‘taluh’, agar tak menelan matahari atau bulan saat gerhana.
”Lesung, gendang, garantung, dan bunyi-bunyian lain, dipukul semua. Maksudnya menolong bulan atau matahari tidak ditelan oleh ‘taluh’,” ujar Dewin Marang, tokoh Dayak Ngaju di Kotim.
Selain wakil ketua DPRD Kotim, Dewin Marang juga pimpinan Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan (MDAKH) Kotim. Pada gerhana matahari total besok (9/3), organisasi itu tak mengadakan ritual apapun. Sebab berbentrokan dengan perayaan Nyepi.
”Karena menurut kepercayaan kami nyepi itu tidak ada aktivitas apapun, hari berikutnya baru diperbolehkan, jadi tidak ada ritual untuk GMT ini, khususnya kami (Hindu Kaharingan),” sambung Dewin.
---------- SPLIT TEXT ----------
Terpisah Ketua Damang Adat Dayak Kecamatan Antang Kalang, Sarjono, memastikan akan mengadakan ritual khusus. Yakni ritual ‘kanjan halu’. Di beberapa tempat orang-orang juga membunyikan lesung dengan memukul atau menumbuknya menggunakan alu dengan irama tertentu.
Ada juga yang menaruh kayu-kayuan yang diyakini mempunyai kekuatan magis seperti tiang sandung, pantar, atau tiang bendera. Ritual itu dimaksudkan untuk membantu agar matahari bisa terlepas dari gerhana.
”Kanjan Halu ini menurut kepercayaan leluhur untuk melepaskan matahari agar tidak ditelan. Begitu juga, bagi warga dayak yang memiliki pusaka turunan leluhur yang memiliki daya magis, maka momentum gerhana merupakan saat yang tepat untuk mengeluarkan, karena itu dipercaya bisa membantu,” ujar Sarjono kepada Radar Sampit.
Menurut dia, ritual itu untuk menyampaikan dan memperlihatkan kepada generasi muda. ”Ini supaya ritual orang dayak itu tidak hanya konon katanya saja, tetapi harus dilihat oleh anak cucu kita,” ujar Sarjono.
Ritual itu, kata dia, tidak hanya terikat pada satu kepercayaan. Tetapi bisa dilakukan semua masyarakat dayak. ”Ini bukan ritual agama, tetapi ritual adat,” tegas dia. (oes)