PALANGKA RAYA – Puluhan personel kepolisian dari Polresta Palangka Raya menggagalkan aksi mahasiswa yang akan menggelar demo penolakan UU Cipta Kerja, Selasa (6/10). Peserta unjuk rasa tak berkutik lantaran aparat mengepung gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), titik kumpul pendemo yang sedianya akan bergerak menuju kantor DPRD Kalteng.
Kapolresta Palangka Raya Kombes Pol Dwi Tunggal Jaladri mengatakan, pengunjuk rasa dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kalteng tersebut tak memiliki surat rekomendasi maupun izin untuk menggelar aksi, baik dari kepolisian maupun Satgas Covid-19. Karena itu, aksi itu akhirnya dicegah.
”Sesuai perwali, untuk kegiatan pengumpulan massa harus mengirimkan surat pemberitahuan setidaknya tiga hari untuk dilakukan peninjauan, apakah kegiatan itu diizinkan atau tidak. Nah, dalam hal ini, GMNI bersikeras sehingga mereka difasilitasi ke Satgas dan tetap tidak diperbolehkan untuk dilakukan kegiatannya,” katanya.
Jaladri menuturkan, pencegahan tersebut juga merupakan langkah kepolisian untuk melaksanakan maklumat Kapolri, yakni dilarang mengumpulkan massa. Apalagi saat ini berbagai pihak berkomitmen untuk menurunkan Kota Palangka Raya dari zona orange ke zona kuning dan hijau.
”Kan bisa disampaikan secara virtual. Saat ini kami sedang gencar-gencarnya menurunkan status zona, sehingga pengumpulan massa yang kurang efektif sangat selektif untuk dikurangi. Ini perintah wali kota dan kapolda untuk menyeleksi kegiatan massa,” tegasnya.
Mengenai pengepungan petugas dan upaya penghalangan massa untuk keluar dari gedung KNPI, Jaladri mengatakan, hal itu sebagai bentuk perlindungan dan memastikan pengunjuk rasa melengkapi izin dalam melakukan kegiatannya.
”Kami halangi biar izinnya dilengkapi dulu. Jangan sampai aksi dilaksanakan, ternyata izin tak keluar, hingga berakhir pada pembubaran. Itu yang kami hindari dan jangan sampai terjadi selisih paham. Makanya kami melakukan langkah preventif dengan pencegahan,” tegasnya.
Juru bicara aksi Maulana mengaku kecewa pihaknya tak diberikan izin untuk menggelar unjuk rasa. Menurutnya, konsep aksi sebenarnya telah disepakati dengan menerapkan protokol kesehatan dengan aksi diam dan hanya membentangkan tulisan.
”Kalaupun ada suara, hanya membacakan puisi, bukan orasi seperti biasanya. Kami pakai protokol kesehatan,” ujarnya.
Meski aksi gagal terlaksana dengan massa sekitar 20 orang lebih, pihaknya tak menyerah. Maulana mengatakan, aksi dengan massa lebih besar rencananya akan kembali digelar. ”Kami akan terus bergerak, walaupun aksi hari ini batal karena tidak mungkin melanggar aturan yang ada,” ujarnya.
Mengenai UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI, dia menilai akan membunuh generasi ke depan. Omnibus Law Cipta Kerja juga dinilai mencoreng sisi sosialis Pancasila. ”Kami melihat DPR RI tutup mata dan telinga terhadap aksi penolakan yang terjadi di mana-mana,” tegasnya.
Wakil Koordinator Lapangan Satgas Covid-19 Kota Palangka Raya Gantar mengatakan, pihaknya tidak melarang pengunjuk rasa menyampaikan pendapat. Namun, sebelum melakukan kegiatan berupa aksi, harus mengajukan permohonan kepada tim satgas. Terlebih mereka mengumpulkan orang banyak dan menimbulkan kerumunan.
”Harus ada rekomendasi, karena saat ini kondisinya masih pandemi Covid-19, sehingga setiap kegiatan yang ada di masyarakat, baik pernikahan, sunatan maupun lainnya, termasuk kampanye harus mengajukan surat terlebih dahulu,” ujarnya.
Gantar menegaskan, jika tak ada rekomendasi, akan ditindak sesuai aturan. Walaupun saat itu ada surat disampaikan, tetapi pengunjuk rasa mengajukan permohonan hanya berselang beberapa jam sebelum aksi, padahal dalam ketentuan minimal satu hari sebelum kegiatan. Sebab, akan ada peninjauan kegiatan tersebut. Apabila protokol kesehatan, akan dipersilakan.
Tak Ada Mogok Kerja
Sementara itu, Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Kotawaringin Timur (Kotim) M Abadi menegaskan, organisasi yang dipimpinnya tidak ada agenda untuk melakukan aksi atau mogok kerja seperti yang dilakukan sejumlah organisasi buruh di sejumlah daerah.
”Sampai hari ini di Kotim semuanya masih berjalan normal. Tidak ada mogok kerja, terutama dari KSBSI di Kotim. Tidak ada arahan atau ajakan untuk itu (mogok massal, Red),” kata Abadi.
Abadi menuturkan, pihaknya juga mempertimbangkan kondisi ekonomi para buruh. Pasalnya, bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19 tidak mudah. Jumlah buruh di Kotim mencapai 40 ribu orang lebih. Mereka tersebar di berbagi bidang pekerjaan, mulai dari perkebunan, pelabuhan, dan lainnya.
Menurutnya, persoalan buruh di Kotim yang harus diperkuat adalah pengawasannya. Mengingat tidak menutup kemungkinan ada perusahaan yang mempekerjakan karyawan dengan mengabaikan kewajibannya terhadap buruh. Salah satunya seperti jaminan sosial hingga sistem pengupahan.
”Kami tidak mau buruh di Kotim hidupnya di bawah angka kemiskinan. Selama ini kinerja pemerintah belum maksimal mengawasi perusahaan yang mempekerjakan buruh. Di Kotim, dari catatan kami paling banyak hal yang bermasalah dengan buruh,” katanya. (daq/ang/ign)