ORANG dayak Katingan menyebutnya ‘Sepan Apui’. Sepan, bisa diartikan semacam genangan atau kubangan dangkal. Sedangkan apui, dimaknai sebagai didihan, atau panas yang dihasilkan seperti saat memasak air. Sumber air panas itu berada jauh di rimba Katingan. Berikut catatan Radar Sampit yang baru mengunjunginya.
ANGGRA DWINIVO, Katingan
Warga lokal mempercayai air dari Sepan Apui berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Terutama yang berhubungan dengan kulit. Banyak juga yang berkeyakinan air itu mampu menyembuhkan penyakit yang tak mampu disembuhkan secara medis.
Belum ada penelitian ataupun pengujian terhadap kandungan air tersebut. Namun yang jelas, airnya bersih dan jernih. Tidak berbau dan tidak juga berasa. Ketiga indikator itu sudah cukup memberi jaminan bahwa air di Sepan Apui bisa dikonsumsi.
Untuk bisa sampai ke lokasi, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Dari Kasongan, perjalanan bisa ditempuh melalui Jalan Soekarno-Hatta atau poros utara. Kendaraan roda dua atau roda empat bisa menembus hingga Desa Tumbang Kaman, Kecamatan Sanaman Mantikei.
Perjalanan bakal dilanjutkan dengan menyeberangi sungai menggunakan kapal feri selama lima menit menuju Desa Tumbang Manggo di kecamatan yang sama. Hingga Tumbang Manggo, perjalanan memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam.
Dari Desa Tumbang Manggo, perjalanan dilanjutkan ke Desa Tumbang Hiran, Kecamatan Marikit. Disarankan tak menggunakan kendaraan roda dua. Sebab, jalan berdebu saat panas dan berlumpur saat hujan. Perjalanan dengan kendaraan roda empat pun akan sulit. Banyak truk logging berukuran jumbo hilir mudik menggunakan jalur itu.
Bagi yang belum terbiasa, jalan milik perusahaan HPH itu cukup membingungkan. Jauh berbeda dengan jalan protokol yang memiliki lajur sebelah kiri. Di sini, pengguna jalan yang sebagian merupakan masyarakat lokal, wajib mengikuti aturan main tersendiri jika tidak ingin celaka.
Sepanjang jalan pengendara akan diarahkan menggunakan lajur kiri maupun kanan sesuai tikungan yang bersifat pendek dan panjang. Hal itu dimaksudkan agar panjang gelondongan kayu yang diangkut truk tidak tersangkut. Selain itu, dibutuhkan kendaraan yang prima untuk menaklukan medan. Pasalnya jalan akan melalui banyak bukit curam. Jika tidak awas, kendaraan akan tergelincir dan terhempas ke lembah.
Sekitar 2,5 jam melalui jalan perusahaan yang licin dan berbatu itu, pengendara akan tiba di persimpangan antara Desa Tumbang Hiran dan Desa Tumbang Tundu. Menuju Tumbang Hiran diperlukan waktu sekitar 20 menit. Infrastruktur di sana cukup lengkap, mulai kantor Kecamatan Marikit, puskesmas, sekolah, jaringan telekomunikasi nirkabel, dermaga, penginapan, hingga toko kelontongan.
---------- SPLIT TEXT ----------
Ada dua pilihan untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Tumbang Tundu. Pertama, bisa memanfaatkan perahu kelotok dari Tumbang Hiran. Estimasinya sekitar tiga jam perjalanan menyusuri DAS Katingan dan masuk ke Sungai Bemban.
Kedua, menggunakan kendaraan roda empat. Waktu tempuh sekitar 45 menit. Biasanya opsi kedua menjadi pilihan. Namun, jalan cukup sempit dan licin. Sebab akses itu tak lagi dimanfaatkan perusahaan untuk mengangkut hasil kayu.
Jika memilih jalan ini, dianjurkan menggunakan kendaraan double gardan. Sebab banyak jalan yang rusak dan berlumpur dalam. Bahkan ada batang kayu berukuran besar yang roboh hingga menutupi jalan.
Di wilayah itu, perbukitan makin tinggi dari sebelumnya. Tidak ada lagi penunjuk lajur kendaraan. Mesin kendaraan akan dipaksa mendaki bukit terjal berbatu. Agar tidak celaka, pengemudi harus antre menunggu giliran menaklukan medan di bukit tersebut.
Mendekati desa berpenduduk tak lebih dari seratus kepala keluarga itu, mulai terlihat tanda-tanda aktivitas bercocok tanam, seperti pisang, pinang, sayur mayur, dan lainnya.
Sesampainya di Desa Tumbang Tundu, hanya terlihat beberapa rumah yang muncul dari balik lebatnya pepohonan. Infrastruktur pertama yang terpantau yaitu sekolah dasar, fasilitas kesehatan, dan dermaga.
Sadar sulitnya akses, warga sekitar memanfaatkan sisa pekarangan untuk budidaya ikan patin dan sepat. Sebagian lagi bertanam holtikultura. Jarang ditemukan sampah plastik seperti halnya di kota. Mereka biasanya memanfaatkan hasil alam untuk kebutuhan sehari-hari.
Sungai Bemban memang jauh berbeda dengan kondisi DAS Katingan yang cenderung keruh dan kotor. Anak sungai ini hanya miliki lebar antara 40 sampai 50 meter, dan terus mengecil hingga ke hulu. Airnya jernih dan dingin. Pertanda bahwa di sungai ini minim aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI).
Untuk sampai ke Sepan Apui, lebih dulu melewati Desa Tumbang Tabulus dan Desa Batu Panahan. Ya, Batu Panahan merupakan desa terakhir di jalur Sungai Bemban. Akses satu-satunya yaitu menggunakan perahu berukuran kecil dan ramping. Warga lokal menyebutnya ces atau perahu alkon. Kapasitasnya hanya mampu membawa tiga orang dewasa, plus satu motoris.
Sungai cukup dangkal, sehingga penumpang bisa merasakan gesekan antara lambung perahu dengan bebatuan. Antara Tumbang Tundu ke Desa Tumbang Tabulus hanya sejauh delapan kilometer atau memerlukan waktu sekitar 12 menit menyusuri sungai.
Di Tumbang Tabulus, kami memutuskan bermalam untuk mempersiapkan bekal dan tenaga menaklukan riam Sungai Bemban yang terkenal ganas. Di Desa ini, penduduknya mayoritas suku dayak sub Katingan. Mereka menganut kepercayaan leluhur, yaitu Hindu Kaharingan.
Hanya ada sekolah dasar dan satu infrastruktur kesehatan di sini. Sekolahnya berada di belakang kampung, tepatnya di atas bukit setinggi 60-70 meter. Semua pemukiman penduduk tampak jelas terlihat dari ketinggian. Kampungnya berada di kaki bukit dan tikungan sungai. Aktivitas masyarakatnya lebih banyak berladang, berternak, dan mencari hasil alam.
Rasa lelah rupanya mengalahkan rasa penasaran. Tak terasa malam terasa cepat berlalu. Hingga baru menyadari bahwa wilayah itu diguyur hujan semalam suntuk. Bahkan mengakibatkan debit air naik hingga tiga meter.
Keesokan paginya, perjalanan siap dilanjutkan. Namun sejumlah motoris enggan turun sungai lantaran debit air sungai yang dianggap berbahaya. Sekitar dua jam menunggu kondisi sungai memungkinkan, akhirnya motoris memberikan isyarat untuk bersiap berangkat.
Ditemani gerimis sisa hujan semalam, kami akhirnya bertolak dari Tumbang Tabulus menuju Sepan Apui. Rombongan dipimpin Asisten I Setda Katingan, Jainudi Sapri. Diperlukan tujuh perahu ces. Dalam perjalanan, satu perahu mengalami insiden, karam di tengah derasnya arus sungai. Perahu lainnya dengan sigap menyelamatkan penumpang dan motoris. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam insiden itu. Namun semua barang elektornik seperti handphone, HT, dan lainnya rusak terendam air.
Jika kondisi sungai sedang normal, atau rata-rata ketinggian air sebahu orang dewasa, perjalanan ke Sepan Apui membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Apabila sedang surut seperti pada musim kemarau, perjalanan bakal memakan waktu dua kali lebih lama. Perjalanan pada waktu itu tergolong sangat berisiko.
Selain derasnya arus sungai, ternyata banyak juga batang pohon yang ikut hanyut. Sehingga butuh kewaspadaan tingkat tinggi agar perahu tidak pecah dan karam. Sejak awal, penumpang memang tidak dianjurkan menggunakan pakaian panjang dan terlampau berat. Itu dimaksudkan agar tidak sulit menyelamatkan diri apabila perahu tenggelam.
Bermodal mesin berkekuatan 7 PK, perahu hampir tidak mampu melawan arus sungai yang begitu deras. Bahkan motoris memaksakan mesin hingga batas maksimal. Sehingga tak ayal, konsumsi bahan bakar menjadi boros. Tiap 45 menit perjalanan, motoris wajib mengisi ulang bahan bakar.
Rapatnya kanopi pepohonan khas hutan hujan Kalimantan memayungi badan dari teriknya sinar matahari di siang itu. Sepanjang mata memandang, pepohonan khas perbukitan seperti menyapa. Makin ke hulu, ukuran sungai makin mengecil. Airnya makin jernih dan dingin. Dari atas perahu, ikan begitu jelas terlihat. Keberadaan burung elang maupun enggang terlihat dari balik pohon.
Tak lama berselang, mulai terlihat adanya sejumlah sarang orangutan di pucuk pepohonan. Ya, kawasan Sepan Apui memang masuk Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TN BBBR). Memang sejak 2016 lalu, kawasan ini dijadikan sebagai lokasi pelepasliaran orangutan yang sebelumnya direhabilitasi.
Selama lima jam perjalanan, tepatnya pukul 15.00 WIB, satu demi satu perahu merapat ke Base Camp yang didirikan Yayasan BOS Nyaru Menteng. Disambut dengan hangat jamuan kopi dan teh panas. Inilah satu-satunya tempat menginap nantinya. Dari base camp, lokasi Sepan Apui sebenarnya cukup dekat, sekitar 300 meter menyusuri jalan setapak menjauhi sungai. (***/dwi/bersambung)