Hari kasih sayang atau valentine's day yang jatuh setiap tanggal 14 Februari selalu menuai kontroversi. Hampir sebagian besar remaja pernah merayakan budaya yang lahir dari dunia barat itu. Sebagian remaja di Kalteng justru perlahan meninggalkan valentine dengan beragam alasan.
--------------------
Kontroversi hari valentine di Indonesia, termasuk di Kalteng tentunya, lahir ketika di hari itu penyimpangan perilaku merajalela. Makna kasih sayang yang sesungguhnya terkikis atas nama cinta buta. Tak sedikit gadis-gadis muda yang merelakan "mahkota" berharganya melayang, tenggelam dalam nafsu asmara.
Valentine juga tak berbicara cinta dan kasih sayang dengan pasangan. Sebagian orang merayakan dengan cara berpesta. Bahkan, sebagian menggunakan miras atau narkoba bersama teman sebaya. Mereka mabuk dan larut dalam pesta pora dunia.
Di sisi lain, sebagian penentang hari kasih sayang menyitir dalil-dalil agama untuk meruntuhkan argumen perayaan valentine. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan mengeluarkan fatwa haram untuk membentengi rakyat Indonesia yang sebagian besar mayoritas Muslim dari pengaruh budaya barat.
Meski dijejali dengan berbagai kampanye negatif, valentine masih dirayakan oleh sebagian orang, terutama remaja atau kalangan pemuda/pemudi. Alasan maupun cara perayaan pun beragam. Perayaan juga tak harus dengan pasangan, bisa dengan keluarga atau teman. Di hari itu, mereka mengekspresikan rasa kasih sayang dengan orang-orang terdekat.
Mereka yang merayakan dengan cara positif, mengambil nilai-nilai yang baik tentang sifat dasar dan hukum bahwa manusia tak bisa hidup sendiri. Mereka juga ingin memperlihatkan bahwa valentine's day tak sepenuhnya buruk. Tentu saja itu terlepas dari berbagai versi sejarah valentine yang menyertai.
DITINGGALKAN
Pandangan tentang perayaan hari kasih sayang diberikan dengan sudut pandang berbeda-beda dari masing-masing orang. Apalagi remaja yang notabene masih dalam pencarian jati diri. Hal itulah yang mendasari Radar Sampit melakukan survei tentang valentine's day.
Survei yang dilakukan di empat kabupaten/kota di Kalteng ini, yakni Sampit, Katingan, Palangka Raya, dan Pulang Pisau, secara garis besar menggambarkan bahwa valentine's day perlahan mulai ditinggalkan. Sebanyak 188 responsden diwawancarai secara acak dengan rentang usia 15-25 tahun.
Sebagian besar remaja dan responden yang beranjak dewasa, tahun ini dengan tegas menyatakan tak akan merayakan valentine, yakni sebanyak 127 responden atau 63,55 persen. Hanya 32,45 persen atau 61 orang yang akan merayakan atau kemungkinan merayakan.
Gencarnya kampanye penolakan terhadap hari valentine melalui media sosial atau lainnya, membuat sebagian remaja dan pemuda-pemudi tetap berpegang teguh pada adat ketimuran dengan berlandaskan pada nilai-nilai agama. Valentine dinilai kental dengan segala sesuatu yang menyimpang dan berbau maksiat.
Meski demikian, sebagian responden mengaku pernah merayakan valentine, baik dengan pasangan, teman, atau keluarga. Jumlahnya nyaris berimbang. Sebanyak 95 responden atau 50,53 persen pernah merayakan dan 93 orang atau 49,47 persen tak pernah merayakan. Delapan dari 10 responden yang diwawancara mengaku pernah merayakan meski tahun ini menyatakan dengan tegas tidak akan merayakan hari tersebut.
Dari jawaban responden, mereka yang pernah merayakan atau akan merayakan mengaku hanya mengikuti tradisi atau terbawa teman-teman dan pasangan. Caranya beragam, ada yang hanya sekadar memberi cokelat pada orang tersayang atau makan malam bersama.
Sebagian besar responden menilai valentine tidak seharusnya dirayakan. Apalagi ekspresi kasih sayang seharusnya tak hanya diberikan pada hari-hari tertentu dan akan lebih baik jika dilakukan setiap hari. Tentu saja dalam batas-batas nilai yang positif dengan menjunjung tinggi moral, etika, dan agama.
Sebanyak 145 responden atau 77,13 persen menyatakan valentine's day tidak perlu dirayakan. Hanya 43 orang atau 22,87 persen yang menyatakan perlu dirayakan. Responden yang menyebut valentine perlu dirayakan beralasan hanya menjalani tradisi tahunan yang sayang kalau dilewatkan.
Sikap pemerintah terhadap hari valentine juga jadi perhatian responden. Sebanyak 88 orang atau 46,81 persen sepakat apabila pemerintah melarang sepenuhnya perayaan valentine. Selain karena bertentangan dengan nilai agama, valentine juga dipandang sebagai hari maksiat dan penuh mudarat.
Sebaliknya, sebanyak 77 responden (40,96 persen) tidak setuju apabila pemerintah melarang perayaan hari kasih sayang. Mereka berpegang pada nilai keberagaman dan hak setiap individu untuk mengekpresikan dirinya. Menariknya, pandangan itu justru diberikan sebagian responden yang mengaku tak pernah merayakan atau tidak akan merayakan.
Dari keseluruhan responden, sebanyak 23 orang (12,23 persen) tak memberikan pandangan. Sebagian responden yang abstain beranggapan hal itu urusan pemerintah dan tak akan ada dampak apa pun apabila pemerintah melarang atau membolehkan perayaan valentine.
Dari hasil survei itu bisa disimpulkan bahwa perayaan valentine akan semakin tak dipedulikan. Apalagi penyimpangan yang terjadi saat perayaan itu terasa nyata dan begitu derasnya dikampanyekan dalam laman-laman berita maupun jaringan media sosial.
Mereka yang tetap merayakan tentu saja tak bisa langsung dihakimi melakukan perbuatan menyimpang, selama masih menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Namun, perayaan itu tetap patut diwaspadai, karena nyaris setiap tahun kerap terjaring pesta valentine yang dilakukan dengan menyimpang, misalnya dengan narkoba atau seks bebas yang menjerumuskan generasi muda.
Di sisi lain, sebagian memandang valentine sebagai peluang bisnis untuk meraup keuntungan. Penjualan merchandise yang berbau hari kasih sayang biasanya cenderung meningkat, seperti bunga dan boneka. Tempat hiburan di kota-kota besar juga menawarkan promo atau hiburan khusus di hari kasih sayang.
SEJARAH
Ada banyak versi yang mengulas tentang awal mula dirayakannya hari kasih sayang hingga akhirnya menjadi kesepakatan dunia secara tidak tertulis yang diperingati setiap tahun. Mengutip laman wikipedia tentang sejarah valentine, asosiasi pertengahan bulan Februari dengan cinta dan kesuburan sudah ada sejak dahulu kala.
Menurut tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.
Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada sang dewa dan kemudian setelah minum anggur.
Mereka kemudian berlari-lari di jalanan Kota Roma, sembari membawa potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Terutama wanita-wanita muda akan maju secara sukarela karena percaya bahwa dengan itu mereka akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah. Sebagian ahli sejarah mengatakan kisah ini sebagai salah satu sebab cikal bakal hari valentine.
Veri lain yang juga cukup terkenal merujuk pada Encyclopedia Americana, tanggal 14 Februari itu adalah perayaan modern yang berasal dari hari dihukum matinya seorang pemuka agama Kristen, Santo Valentine pada 14 Februari 270 Masehi (sebagian literatur menyebut tahun 269 M).
Santo Valentine hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin Kaisar Claudius II yang terkenal kejam. Claudius memiliki keinginan untuk memiliki pasukan militer yang besar. Dia ingin semua pria di kerajaannya bergabung menjadi pasukan militer.
Keinginan Claudius justru tidak mendapat banyak dukungan. Para pria tidak mau terlibat dalam peperangan, karena mereka tidak ingin meninggalkan kekasih dan keluarganya. Hal tersebut membuat Claudius marah. Dia kemudian memerintahkan pejabatnya untuk menjalankan sebuah ide gila.
Claudius berpikir bahwa jika pria di kerajaannya tidak menikah, mereka akan mau bergabung dengan militer. Claudius pun mengeluarkan dekrit melarang adanya pernikahan. Pasangan muda saat itu menganggap keputusan tersebut sangat gila dan di luar nalar. Meski disertai ancaman, Santo Valentine menolak menjalankannya.
Valentine tetap menjalankan tugasnya menikahkan pasangan yang dilakukan dengan diam-diam. Kegiatan menikahkan pasangan itu akhirnya diketahui kaisar dan memberi peringatan pada Valentine. Valetine mengabaikan peringatan itu. Dia tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin.
Sampai pada suatu malam, Valentine tertangkap basah memberkati seorang pasangan. Pasangan tersebut berhasil melarikan diri, namun berbeda dengan Valentine yang tertangkap. Ia kemudian dijebloskan ke dalam penjara dan mendapat hukuman mati dengan dipenggal kepalanya.
Sampai pada suatu malam, ia tertangkap basah memberkati salah satu pasangan. Pasangan tersebut berhasil melarikan diri. Namun, Valentine gagal lolos. Dia tertangkap dan dijebloskan ke penjara, kemudian divonis hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya.
Bukannya dihina, Valentine malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara dimana dia ditahan.
Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta kasih itu adalah putri penjaga penjara sendiri. Sang ayah mengizinkan putrinya mengunjungi Valentine. Tak jarang mereka berbicara lama sekali. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta. Dia setuju bahwaValentine telah melakukan hal yang benar.
Pada hari saat ia dipenggal, yakni 14 Februari, Valentine menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis putri sipir penjara tersebut. Dia menuliskan, "Dengan Cinta dari Valentinemu."
Pesan itulah yang kemudian mengubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.
Banyaknya versi tentang sejarah hari kasih sayang membuat kisah awal perayaan itu kabur. Meski demikian, sebagian besar warga dunia, merayakannya dengan cara berbeda-beda tanpa memandang latar belakang sejarah. (tim/ign)