Suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki berbagai budaya menarik. Dari soal kudapan hingga permainan. Salah satunya besei kambei, permainan rakyat yang berawal dari mitos.
SERA DIYA, Sampit
Dua pemuda duduk di ujung perahu yang ditempatkan persis di tengah tiang-tiang bambu. Keduanya membelakangi dua pemuda lain yang duduk di ujung perahu lainnya. Dayung di tangan mereka. Setelah ada aba-aba, keempat pemuda itu dengan cepat mendayung. Berbeda dengan lomba mendayung biasa, mereka mengayuh ke arah yang bertolak belakang.
Besei Kambe, seperti itulah kompetisi adu dayung itu disebut. Dalam bahasa dayak, artinya dayung hantu. Tidak ada hantu yang terlibat dalam permainan ini. Hanya sepasang peserta yang saling mendayung ke arah berlawanan, saling unjuk diri siapa yang paling kuat. Pasangan yang berhasil bergerak paling jauh, dialah yang keluar sebagai pemenang.
Kompetisi besei kambe ini merupakan permainan tradisional khas suku dayak yang ada sejak zaman dulu kala. Permainan ini disebut besei kambe berasal dari cerita rakyat suku dayak.
Cerita berawal dari dua hantu yang terlambat pulang usai menghadiri upacara kematian. Melihat sebuah perahu tertambat di sungai, kedua hantu tersebut kemudian saling berebut. Tak ada yang mau mengalah, kedua hantu tersebut duduk di masing-masing ujung perahu, lalu mengayuh ke arah berlawanan. Satu ke hulu, dan yang lainnya ke hilir. Karena sama-sama kuat, perahu tidak bergerak hingga siang menjelang dan manusia melihat peristiwa itu.
Pungkal, Kabid Bina Budaya Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kotim, sekaligus ketua panitia menyebutkan, besei kambe tidak memiliki makna khusus saat dimainkan. Bukan sebagai bagian acara adat atau semcamnya, besei kambe murni sebagai permainan. Sebagai salah satu permainan unik khas budaya Kalteng, permainan ini sudah sewajarnya dilestarikan.
”Besei Kambe ini merupakan budaya Kalimantan Tengah yang harus dilestarikan. Meskipun namanya seram, karena artinya dayung hantu, ini merupakan permainan dari zaman dulu yang sering dimainkan orang-orang dayak,” ujarnya.
Sayangnya saat ini tidak banyak lagi orang-orang yang memainkannya. Faktor modernisasi menjadi alasannya. Karena, menurut Pungkal, saat ini generasi muda lebih banyak memiliki motor sebagai alat transportasi dibandingkan perahu.
Itu sebabnya, Pungkal menyebut, hingga saat ini besei kambe terus berusaha dilestarikan oleh pihak pemerintah, baik kabupaten maupun provinsi. Salah satunya dengan menjadikan permainan ini sebagai ajang yang dilombakan dalam festival budaya, termasuk di festival Habaring Hurung dan Festival Isen Mulang.
Menyertakan besei kambe sebagai alah satu ajang perlombaan dalam festival budaya, lanjutnya, cukup efektif dalam usaha melestarikan permainan rakyat ini. Sebab tidak hanya generasi tua, para remaja di kalangan pelajar pun cukup banyak yang mengikuti lomba ini di festival Habaring Hurung.
Pungkal menyebutkan, pada pelaksanaan lomba, jumlah peserta yang ikut dayung adu kuat khas suku dayak tersebut ada 32 regu untuk peserta laki-laki, dan 10 regu untuk peserta perempuan. Semuanya berasal dari berbagai kalangan usia.
”Permainan semacam ini memang sudah jarang dimainkan. Hanya saat kompetisi seperti sekarang, banyak yang ikut, bahkan para remaja juga. Sebab mereka tahu dengan permainan ini, terutama orang asli Sampit atau orang dari suku dayak,” pungkasnya. (***/dwi)