Dua siswi SMAN 1 Sampit itu berstatus peneliti belia. Meraih Special Award pada ajang International Comference of Young Scientist (CYS) di Stuttgart, Jerman. Mereka meriset ramuan tradisional Dayak, yakni kalapapa atau kulit kayu alaban untuk pengobatan, khususnya amandel. Mereka adalah Gusti Salsabila dan Sabrina Salwa Sabila.
YUSHO RICKI PRAYOGA, Palangka Raya
Tak mudah bagi Gusti Salsabila dan Sabrina Salwa Sabila mencapai ajang kelas internasional. Memulai kompetisi dari level provinsi, dua siswi cantik itu berhasil menorehkan prestasi dengan keluar sebagai juara satu.
Lolos dari provinsi, mereka naik kelas ke level nasional. Hasilnya tak buruk, Salsabila dan Sabrina menorehkan prestasi perak. Keberhasilan ini yang membuat keduanya mendapat kehormatan mewakili Indonesia ajang CYS.
Bersama enam perwakilan Indonesia lainnya, Salsabila dan Sabrina menghadapi lawan-lawan berat dari berbagai belahan dunia. Peneliti belia ini mendapat tantangan meyakinkan dari negara-negara peserta.
”Ada 28 negara, kebanyakan dari Eropa. Ya, tentu kami bersaing dengan negara peserta. Untuk Indonesia ada delapan perwakilan, dan kami berdua perwakilan dari Kalteng. Hasil perjuangan, kami berhasil meraih Special Award untuk karya ilmiah yang dibuat. Saya akui, memang persaingan cukup berat,” ucap Sabrina Salwa Sabila.
Terkait karya ilmiah tersebut, Sabrina menuturkan, kalapapa mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Namun bagi sebagian besar masyarakat lokal di Kalteng, tanaman itu sudah sering digunakan, utamanya sebagai obat. Inilah yang melahirkan pemikiran dua peneliti muda merealisasikan penelitian tanaman obat tersebut dengan cara modern.
Ia menyebutkan, masyarakat Dayak sebagai orang asli Kalteng punya banyak tradisi, khususnya dalam hal pengobatan. Hanya saja seiring perkembangan zaman, tidak sedikit masyarakat yang tidak tahu tradisi-tradisi sebelumnya. Seperti halnya tanaman obat kalapapa ini, masyarakat Kalteng khususnya banyak tidak tahu kalau memiliki khasiat untuk penyembuhan.
”Kami mendapat Special Award karena dinilai berhasil menemukan relasi antara tradisi kuno dengan pengobatan modern,” sebutnya.
Secara ilmiah, mereka membuktikan bahwa tanaman yang tumbuh di daerah tropis ini betul-betul mengobati berbagai penyakit. Kata Sabrina, kalapapa sudah lama digunakan masyarakat Dayak untuk pengobatan. Hasil penelitian mereka, tanaman tersebut memang mengandung zat yang dapat membunuh bakteri amandel.
”Kami berpikir, apakah cuma mitos, tradisi atau kebiasaan masyarakat saja menggunakan kalapapa sebagai obat. Nah ini yang mendorong saya berdua untuk meneliti. Dan ternyata betul, dari hasil penelitian tanaman ini punya potensi untuk mengobati,” ucapnya.
Salsabila menambahkan, ketatnya persaingan di ajang internasional turut menuntut kecakapan berbahasa Inggris. Namun hal tersebut diakuinya bukan halangan berarti. Sebab, kata dia, sebelum berangkat ke Jerman sudah dilakukan tiga kali pembinaan di Bandung dan Jakarta oleh para pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Sehingga dengan semua itu, mereka berdua memiliki modal besar selama satu pekan di Jerman.
”Full English di sana, karena memang kita bersaing di ajang internasional. Ya, teman-teman dari berbagai negara ramah-ramah semua. Jadi kita enak juga komunikasinya,” tutur wanita ini.
Atas prestasi membanggakan ini, dua siswi SMA tersebut saat perayaan Hari Pendidikan Nasional, Selasa (2/5) kemarin, juga mendapat penghargaan dari Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, berupa uang pembinaan dan piagam penghargaan.
Kepala Sekolah SMAN 1 Sampit, M Darma Setiawan mengapresiasi anak didiknya atas keberhasilan tersebut. Kebanggaan ini bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan kategori Special Award hanya tersedia untuk tiga peserta yang dianggap terbaik. Beda halnya dengan medali, yang lebih banyak disediakan dan potensi untuk mendapatkannya juga cukup besar.
”Dari tiga Special Award, Indonesia meraih dua dan salah satunya dari anak didik kami,” kata dia.
Terlepas dari itu, Darma menceritakan untuk memberangkatkan dua siswi ini pihaknya harus berjuang keras. Biaya keberangkatan ke Jerman sebesar Rp 80 juta untuk dua orang, sepenuhnya ditanggung oleh pihak sekolah. Besarnya biaya yang akan dikeluarkan membuat pihak sekolah mengupayakan berbagai cara. Selain menggunakan uang komite sekolah, juga meminta bantuan dari pihak lain.
Bantuan yang diharapkan berdatangan dari berbagai pihak. Mulai Pemerintah Kabupaten Kowaringin Timur, PT Pelni selaku BUMN, PT Pelindo III serta bantuan dari Perusahaan Besar Swasta (PBS) yang beroperasi di wilayah kabupaten ini.
”Memang paling besar dari komite sekolah. Karena untuk ke Jerman kita perlu Rp 80 juta, itupun di luar pembiayaan kegiatan pembinaan ke Bandung dan Jakarta. Meski begitu ini merupakan kebanggan bagi kami. Pastinya kebanggaan juga buat masyarakat Kotim,” pungkasnya. (***/dwi)