SAMPIT – Ritual keagaaman Hindu Kaharingan di Desa Sebabi, Kecamatan Telawang, menelan dana tidak kurang dari Rp 150 juta. Ritual Tiwah itu diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut sejak 29 April lalu.
”Sekitar delapan orang yang kami tiwahkan saat ini. Terdiri dari ayah, kakek, ibu, keponakan, sepupu, adik, dan kerabat kami yang lainnya. Ini merupakan rangkaian prosesi terakhir yang harus kami laksanakan, biayanya tidak kurang dari Rp 150 juta,” kata Karnios Paras, penyelenggara tiwah itu.
Ritual tiwah ini membutuhkan babi tidak kurang dari satu ton atau sekitar 32 ekor, kerbau satu ekor , satu ekor sapi, 33 ekor ayam kampung, dan satu ton beras. Biaya besar itu ditanggung bersama-sama oleh sejumlah anggota keluarga, sehingga tak menghalangi pelaksanaan ritual yang dipercaya menjadi upacara terakhir mengantarkan roh orang mati menuju surga itu.
Rencana pelaksanaan tiwah itu disebut sudah sejak lama. Dari keluarga pertama yang meninggal dunia sekitar 50 tahun lalu, hingga ada kerabat yang meninggal pada April lalu. Ritual tiwah memang tidak diwajibkan. Namun, secara kerohanian mereka merasa tidak nyaman apabila belum melaksanakan. ”Sebetulnya ini bisa dilaksanakan atau tidak, tergantung kemampuan juga,” katanya.
Rangkaian tiwah berawal dari pengangkatan tulang belulang almarhum yang ditiwahkan. Lalu dibersihkan dan disimpan di sebuah rumah kecil atau dikenal dengan sebutan Sangkaraya. Di situlah ritual lanjutan dimulai. Tabuhan gendang dan gong tidak dihentikan hingga pengantaran tulang belulang itu ke Sandung.
Tarian mengelilingi Sapundu, patung manusia yang diikat kerbau, dikenal dengan sebutan Manganjan, juga tidak pernah berhenti dilakukan siang dan malam.
Penombakan dilakukan silih berganti oleh keluarga yang ditiwahkan. Hewan yang terakhir dikorbankan yakni kerbau. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, sembari menari tidak henti siang dan malam, pekik kegembiraan terdengar di sana-sini, suasana menjadi meriah.
Pada hari itu beras-beras ditaburkan, sembari tetua acara membagikan tuak (baram) kepada peserta manganjan. Setelah menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran.
Proses mengorbankan hewan seperti ayam, babi, sapi, dan kerbau untuk ritual tiwah itu sendiri tidak dilakukan sembarangan. Itu dilakukan setelah sang rohaniawan (pisur) mendapatkan petunjuk dari ritualnya sendiri.
Hadir dalam acara itu, Ketua Komisi III DPRD Kotim, Rimbun. Dia hadir dan diikutsertakan juga dalam pembunuhan hewan untuk ritual itu. Baginya ritual itu memang cukup unik dan jarang mulai dilaksanakan.
”Selain perlu biaya besar juga jarang lagi ada warga yang melaksanakan karena soal agama dan keyakinan. Kami dari DPRD mengapresiasi pelaksanaan itu bisa terselenggara dengan baik,” kata Rimbun di sela-sela pelaksanaan acara itu.
Menurut kepercayaan mereka, upacara tiwah atau magah salumpuk liau uluh matei ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau (sorga) yang letaknya di langit ke tujuh. Acara ini tidak sembarangan memiliki rohaniawan. Tentunya yang bisa berkomunikasi baik itu dengan roh penguasa alam agar acara itu bisa berjalan sukses dan lancar. (ang/dwi)