SAMPIT – Pemerintah diminta mengkaji kembali program sekolah lima hari dengan kondisi delapan jam per hari alias full day school. Kotim dinilai belum siap melaksanakan sistem itu, terutama dari sisi fasilitas dan infrastruktur pendidikan di pedalaman. Kendati demikian, Kotim dinilai perlu menerapkan full day school untuk menekan aktivitas negatif kaum pelajar yang belakangan ini mulai mengkhawatirkan.
Wakil Kepala Kurikulum Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sampit M Rusidi menyebutkan, pemerintah perlu mempertimbangkan tatanan kehidupan masyarakat dari kajian sosial dan agama yang mungkin akan berubah dengan adanya kebijakan tersebut, perlu diperhatikan.
Rusidi mengaku setuju dengan pernyataan Wakil Ketua MUI yang menyebut praktik pendidikan keagamaan di madrasah maupun pesantren yang dikelola dan dijalankan secara swadaya oleh masyarakat, akan terganggu dengan adanya kebijakan tersebut.
Sebagai satuan pendidikan yang sama-sama mengusung program pembelajaran berbasis masyarakat, pihaknya prihatin apabila madrasah maupun pesantren menerima dampak buruknya. Porsi pembelajaran agama yang biasa dilakukan madrasah dan pesantren setelah jam sekolah pun tidak bisa lagi berjalan dengan lancar.
”Karena itu, kami berharap pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, agar jangan sampai menimbulkan dampak buruk bagi pihak manapun. Kalau dipikir, lebih dalam, pembelajaran agama yang diberikan melalui madrasah maupun pesantren juga sangat penting demi penguatan agama pelajar,” kata Rusidi kepada Radar Sampit, Senin (12/6) kemarin.
Terpisah, Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Idrisia Zainuri berharap, apabila kebijakan itu dijalankan setidaknya pemerintah menyiapkan waktu khusus untuk penguatan agama dari delapan jam pelajaran dalam satu hari sekolah.
Minimal, menurutnya, 1-2 jam untuk waktu mengaji maupun beribadah. Pasalnya, apabila hanya mengandalkan mata pelajaran agama di sekolah, tidak akan cukup untuk penguatan agama dalam diri para pelajar. Mata pelajaran agama biasanya hanya membahas hal-hal yang sifatnya umum, seperti tentang sejarah, syariat agama, dan ilmu fiqih, tidak khusus untuk belajar mengaji dan tauhid.
”Tapi, sebenarnya untuk penerapan kebijakan tersebut di sekolah kami tidak masalah. Kalau di sekolah kami kan memang berbasis agama Islam, murid diajari untuk taat beribadah, mulai dari salat Dhuha dan Dhuhur berjamaah, dan mengaji. Kalau waktu pelajaran sampai delapan jam, malah bagus. Kami bisa mengawasi mereka sampai salat Ashar. Yang kasihan sekolah umum, biasanya muridnya ratusan, jadi untuk salat berjamaah saja sudah susah,” tuturnya.
Sementara itu, kalangan legislatif menilai Kotim belum siap menerapkan sistem full day school. Komisi III DPRD Kotim yang membidangi pendidikan, fasilitas di Kotim belum mendukung, setidaknya jika harus dimulai pada tahun ajaran baru ini.
”Tidak bisa semudah itu, iya kalau di Kota Sampit, kalau di pelosok ini masalahnya ada sekolah yang ruangan terbatas. Saat ini saja ada siswa yang masuk siang dan pagi, kalau diterapkan full day, yang siang sekolahnya apa mungkin digeser jadi malam?” kata Ketua Komisi III DPRD Kotim Rimbun kepada Radar Sampit.
Pada prinsipnya, menurut politikus PDI Perjuangan itu, mereka selalu menyambut baik kebijakan pemerintah pusat. Namun selama ini sarana fisik di pedalaman maupun tenaga pendidik masih jadi masalah. ”Kita jangan disamakan seperti Jakarta, di sini saja ruang kelas kurang, guru kurang,” cetusnya.
Dia mengaku sudah berkoodinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Kotim. Sejauh ini Disdik Kotim belum menerima edaran pelaksanaan sekolah seharian penuh itu. Jikapun dilaksanakan perlu ada kebijakan khusus, karena menurutnya sangat tidak relevan dengan kondisi terkini.
Rimbun mengatakan, walaupun pada akhirnya nanti program itu dipaksakan, maka perlu dipikirkan penambahan fasilitas sekolah seperti ruangan baru hingga pengangkatan guru PNS. Sebab, di pedalaman, banyak sekolah yang hanya memiliki satu atau dua guru PNS, sisanya tenaga kontrak.
”Tentunya akan muncul beban anggaran dengan munculnya kebijakan sekolah seharian itu,” kata dia.
Terpisah, Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Kotim Sinar Kemala justru berpandangan bahwa full day school itu harus dilaksanakan di Kotim. Apalagi di daerah perkotaan, mengingat persoalan pelajar yang sangat kompleks saat ini. Kebanyakan pelajar waktunya terbuang percuma dengan sistem pendidikan seperti saat ini.
”Jadi, kemauan kami sebagai orangtua untuk kegiatan anak didik diisi penuh dengan pendidikan, itu tercapai melalui full day school ini,” kata Sinar Kemala.
Dia menyebutkan bahwa pendapatnya tersebut jika dilihat dari sisi efektivitas dan efisiensi waktu. Sehingga hari Sabtu bisa dimanfaatkan anak-anak untuk kegiatan di dalam rumah bersama keluarga. ”Jadi kalau mereka sudah diisi penuh dengan pendidikan sekolah tidak ada waktu lagi untuk hal-hal negatif di sore harinya,” kata Sinar. (ang/vit/ign)