PANGKALAN BANTENG - Harga eceran tertinggi (HET) beras yang baru ditetapkan dalam Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) ditanggapi sinis oleh para pedagang. Alasannya, harga beras yang dibeli dari pemasok sudah melebihi harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Penetapan HET belum tentu bisa diterapkan di semua wilayah Indonesia.
Dewi, pedagang sembako di Pasar Karang Mulya Pangkalan Banteng, menganggap penetapan HET beras sebesar Rp 9.000 mengada-ada. Saat ini harga beras di pasaran tidak memungkinkan bila dipaksa untuk dijual dengan harga tersebut.
”Di sini tidak ada harga beras seperti itu, mengada-ada saja. Karena harga dari pemasok saja sudah antara Rp 10.600 hingga Rp 11.700 per kilogram. Jadi kita jualnya antara Rp 12 ribu hingga Rp 13 ribu,” ujarnya, Rabu (26/7) pagi.
Ia juga menuturkan, tahun lalu sempat ada beras yang dijual dengan harga Rp 10.000 per kilogram. Berasnya dikemas dalam karung isi 50 kilogram, namun tidak terlalu laku. Meski berharga murah, penampakan beras cenderung kotor dan banyak menir (beras pecah kecil-kecil) sehingga jarang dilirik pembeli.
”Masyarakat di sini beranggapan bahwa kerja di Kalimantan itu susah sehingga sebisa mungkin menikmati makanan yang terbaik. Jadi untuk beli beraspun mereka minta yang bagus dan enak, kalau beras murah dan rusak (pecah-peah) susah laku,” katanya.
Dia lantas mempersilakan Radar Pangkalan Bun untuk mencari beras dengan harga di bawah Rp.10 ribu di salah satu pasar tardisional terbesar di luar Pangkalan Bun itu.
Ungkapan serupa juga dikatakan Wuryanto. Sudah lebih dari lima tahun berdagang sembako, selama itu pula dia tidak pernah menemukan harga beras di kisaran Rp 9.000 per kilogram. Bila pemerintah memaksa, maka akan banyak pemasok-pemasok beras gulung tikar.
”Beras yang kita jual ini banyak dari luar Kalimantan, pemasok terbesar dari Jawa. Penerapan itu akan sangat sulit, ini saya hitung paling murah minimal Rp 10.600 kalau penggenapan bisa dijualnya Rp 11.000,” katanya.
Kalau dipaksa harus jual sesuai HET maka pemasok akan mengirim beras kualitas terendah dengan harga sangat murah. Itu sangat mungkin dilakukan untuk menyiasati biaya kirim, agar beras dari pengecer dapat sesuai dengan HET pemerintah.
”Tapi masalahnya apa akan laku? Di sini itu beras apek sedikit saja sudah komplain. Tipikal pembeli dan juga keinginan konsumen antar wilayah jelas berbeda. Maka menurut saya HET tersebut bukan solusi untuk mencapai tujuan pemerataan harga bahan pangan murah,” terangnya.
Tidak jauh beda dengan kedua pedagang itu, Yudha pemilik usaha penjualan sembako skala menengah ini mengakui bahwa harga beras di Kabupaten Kobar yang bergantung dengan ketentuan harga pemasok.
”Kalau kita diminta jual segitu (Rp 9.000) sekilonya, pemasoknya harus kasih harga kekita maksimal Rp 8000 per kilo. Yang jadi pertanyaan, apa ada beras dengan harga murah namun kualitasnya minta bagus,” katanya.
Ia juga mengungkapkan, semua beras yang dijualnya berasal dari Jawa. Meski terdapat beberapa merek lokal dengan nama perusahaan beras di Kalimantan, namun sejatinya mereka membeli beras curah dari Jawa yang kemudian dikemas dan dilabeli sebagai produksi lokal.
”Beras merek lokal Kalimantan itu juga asalnya dari Jawa, pemasok belinya curah kemudian dikemas sendiri di sini,” terangnya.
Harga jual yang dilempar ke masyarakat tetap di atas Rp 10.000 perkilogram. ”Beras murah yang saya jual itu Rp 10.100 per kilogram. Itu kalau belinya satu sak ukuran 10 kilogram. Tapi kalau eceran bisa Rp 11.000,” katanya.
Sementara itu, Lukman, petani padi Desa Marga Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng, menyatakan petani lokal menjual beras hasil panen Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per kilogram. Bila dipaksa menjual Rp 9 ribu, petani akan semakin tercekik. Belum lagi risiko yang ditanggung petani bila terserang hama.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Pangkalan Banteng Yatno membenarkan bahwa biaya pertanian padi di Kobar sangat tinggi. ”Petani bisa babak belur, di Berambai makmur itu menjual beras hasil panen mereka Rp 10 ribu per kilogram untuk semua jenis,” ungkapnya.
Dalam satu hektare sawah yang ada saat ini, rata-rata menghabiskan biaya hingga Rp 9 juta. Biaya dalam satu hektare meliputi ongkos tanam Rp 3 juta yang terdiri dari 30 orang pekerja, biaya traktor Rp 1,6 juta, pupuk 6 kuintal per hektare dengan biaya Rp 1,8 juta. Pupuk yang katanya bersubsisi namun sampai petani mencapai Rp 150 ribu per sak isi 50 kilogram. Biaya obat-obatan hama mencapai Rp 800 ribu, ditambah lagi untuk ongkos panen hingga sampai ke rumah membutuhkan biaya Rp 1,8 juta.
Hasil panen per hektare paling bagus hanya mampu mendapat 3 ton untuk gabah kering. Setelah digililng dapat menghasilkan 1,9 ton beras. Bila petani menjual dengan harga Rp 10 ribu per kilogram maka diperoleh hasil sebesar Rp 19 juta. Dipotong ongkos produksi Rp 9 juta maka hasil bersih dapat Rp 10 juta dalam sekali panen.
”Ingat Rp 10 juta itu untuk satu hektare, sedangkan petani ini dapat lahan sawah hanya seperempat hektare. Tinggal dibagi saja Rp 10 juta dibagi empat maka petani dapatnya Rp 2,5 juta. Bayangkan apakah petani bisa dikatakan sejahtera dengan hasil seperti itu untuk biaya hidup empat bulan, mulai dari masa pratanam hingga panen,” terangnya.
Angka itu didapat bila hasil panen sangat bagus, namun bila sedikit saja meleset atau bahkan gagal panen dengan hasil 50 persen, maka petani dipastikan tidak akan mendapat apa-apa.
Ia berkeyakinan bahwa peraturan HET beras Rp 9.000 bukan menjadi solusi untuk mendapatkan pangan murah, namun justru menambah sengsara petani. ”Lebih baik peraturannya dibedakan antara di Jawa dengan Kalimantan. Kondisi kita kan berbeda, biaya produksi juga sudah beda kelipat-lipat,” katanya. (sla/yit)
WARNING: Semua informasi yang ada di website sampit.prokal.co adalah hak cipta penuh Harian Radar Sampit. Dilarang keras menjiplak atau menyalin semua informasi di website ini ke dalam bentuk dokumen apapun (untuk kepentingan komersil) tanpa seizin Radar Sampit. Pihak yang melanggar bisa dijerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan perubahannya dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.