SAMPIT – Puluhan kepala keluarga dari Desa Bapeang dan Desa Bapanggang Raya, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, setahun belakangan ini resah karena tanah mereka ada yang menggarap dan dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Mereka tak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan dengan mempertanyakan dan memprotes hal tersebut, baik ke kepala desa hingga mediasi dengan melibatkan berbagai saksi dan aparat keamanan di kantor Kecamatan MB Ketapang. Namun, mediasi yang juga melibatkan pihak penggarap lahan itu tidak ada tindak lanjutnya.
Matsum (42), perwakilan warga setempat mengungkapkan, setelah mediasi di kantor camat beberapa bulan lalu, pihaknya menyepakati turun ke lapangan melakukan pengukuran lahan yang telah digarap. Namun, mereka kecewa karena pihak yang menggarap tidak ikut turun.
”Lalu, kita jadwalkan lagi pada Minggu (1/10) tadi untuk turun ke lapangan. Ternyata, pihak yang menggarap lahan kami ini tidak hadir lagi. Termasuk kepala desa dan pihak terkait lainnya. Jadi, kami selaku warga yang sudah dirugikan merasa dipermainkan. Karena itu, kami berencana memortal lahan kami itu,” tegasnya.
Lokasi lahan mereka yang digarap tersebut berada di Jalan HM Arsyad kilometer 22, masuk menyusuri Sungai Lenggana sekitar 2,8 kilometer. Kemudian masuk lagi ke utara sekitar 750 meter, di Desa Bapanggang Raya, RT 07/ RW02.
Matsum mengungkapkan, lahan garapan tersebut mereka beli mulai tahun 2004, 2005, dan 2006, dengan kwitansi ganti rugi ditandatangani Kades Bapeang saat itu. Kemudian, tahun 2010, Desa Bapeang dimekarkan menjadi Desa Bapanggang Raya. Tanah tersebut masuk ke wilayah desa pemekaran tersebut, sementara status mereka sebagai pemilik lahan, tetap sebagai warga Desa Bapeang.
Selain itu, papar Matsum, salah satu dasar pembukaan lahan tersebut, yakni SK Bupati Kotim terdahulu, sekitar tahun 2000-an. Warga mendapatkan jatah pembagian dengan membayar upah pengukuran dan pemetaan kepada masing-masing RT.
”Kami tidak menuntut terlalu jauh atas masalah ini. Kembalikan keberadan lahan kami yang telah digarap itu atau ganti rugi sesuai dengan dana yang telah kami keluarkan, untuk membeli dan menggarapnya. Di lahan warga yang digarap itu, sudah ada yang ditanami sawit dan sudah berbuah pasir. Seperti punya saya,” ujar warga yang beralamat di RT 04 RW1 Desa Bapeang ini.
Matsum melanjutkan, mereka selaku warga yang ingin memortal lahan tersebut, memiliki dasar kuat. Lahan sekitar 40 hektare tersebut semuanya dilengkapi dengan Surat Pernyataan Tanah (SPT), yang ditandatangani kepala desa dan camat setempat.
Mengenai pihak yang menggarap lahan mereka, Matsum mengaku tidak mengetahui pasti asal-usul perusahaan itu. Hal tersebut masih jadi pertanyaan warga. Selama ini, mereka hanya mengetahui di atas lahan mereka ada yang melakukan pembersihan lahan skala besar menggunakan alat berat.
”Kami yakin, yang mengetahui pasti ada perusahaan masuk menggarap lahan kami untuk ditanami sawit itu, pihak pemerintah yang lebih tahu. Terutama kepala desa dan dari kecamatan,” tambahnya.
Matsum menegaskan, persoalan ini akan jadi masalah bagi warga dan pemerintahan desa apabila tidak ada iktikad baik dari pihak terkait untuk menyelesaikannya.
Roni, salah satu perwakilan warga menegaskan, mereka menuntut lahan mereka diganti rugi pihak penggarap. Kalau pun tidak ada iktikad baik untuk ganti rugi, mereka menuntut lahan mereka dikembalikan seperti sedia kala, sebelum digarap.
”Kami sebenarnya sudah malas berurusan dengan penggarap lahan kami itu, karena banyak bohongnya dari pada jujurnya. Begitu juga dengan pihak pemerintahan desa dan kecamatan. Kami kecewa karena tidak bisa menyelesaikan masalah warganya ini. Jadi, akhirnya, kami akan bertindak sendiri,” tuturnya.
Terpisah, Kades Bapanggang Raya Syahbana ketika dikonfirmasi, tidak bisa memberikan banyak komentar. Dia mempersilakan warga memortal lahannya, asalkan sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Selama ini, lanjutnya, pihak desa maupun kecamatan sudah berupaya menyelesaikan persoalan itu. Namun, dari pihak penggarap lahan masih terus mengulur waktu. Saat menggelar mediasi di kantor desanya beberapa waktu lalu, dia juga mengakui bahwa permasalahan tersebut sudah berlangsung lama.
Saat awal ingin menggarap lahan tersebut, ungkapnya, pihak pengusaha penggarap lahan menyatakan siap mengganti rugi atau mengembalikan lahan warga tersebut, apabila terkena garapan.
”Saya harap warga yang memiliki lahan di wilayah itu tidak berdiam diri, tapi juga menggarap lahannya. Jangan dibiarkan begitu saja. Hal itu agar kami pemerintahan desa juga bisa membantu, memperjuangkan tuntutan warga pemilik lahan yang merasa terkena garapan tersebut,” pungkas Syahbana. (gus/ign)