Penambangan pasir laut di Desa Ujung Pandaran menyedot perhatian. Kabarnya, pasir itu dikirim untuk proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Pekan lalu, Radar Sampit mencoba menelusuri dengan terjun langsung ke lokasi. Ada sejumlah fakta menarik ditemui.
========
Tidur siang Lidianur pada 20 Nopember 2016 silam, hampir menjadi yang terakhir dalam hidupnya. Nelayan yang tinggal di pesisir Pantai Ujung Pandaran itu, nyaris terkubur bersama istri dan dua anaknya dalam material bangunan rumahnya sendiri.
Di hari nahas itu, rumah Lidianur ambruk karena abrasi. Pertanda bahwa rumahnya akan tinggal kenangan sebenarnya sudah ada sejak empat hari sebelumnya. Saat malam hari, ada suara seperti beton yang keropos.
”Setelah saya lihat, ternyata pondasi rumah bagian belakang sudah hancur terkikis karena abrasi,” ujarnya, Jumat (13/10).
Semua aktivitas dalam rumah itu langsung terhenti. Lidianur yang bertindak sebagai kepala keluarga, mengambil keputusan memindahkan barang-barang berharganya ke rumah tetangga yang berada jauh dari bibir pantai untuk menghindari keruntuhan.
Lidianur juga sebenarnya sempat memutuskan mengungsi. Namun, anaknya, Nabila menolak, karena tempatnya pindah dinilai tidak lebih bagus dari rumahnya. Akhirnya, mereka sekeluarga tetap menempati rumah yang perabotannya sudah habis itu selama beberapa hari.
Abrasi yang terjadi hari itu disebut-sebut paling ganas yang pernah terjadi. Total ada sebelas bangunan, termasuk rumah Lidianur yang roboh secara perlahan.
Belakangan, kabar berembus bahwa di kawasan itu ada aktivitas penambangan pasir yang disebut-sebut untuk memasok kebutuhan proyek reklamasi di Jakarta. Sebagian nelayan yang mengetahui hal itu meradang.
Mereka seolah mendapat jawaban dari misteri semakin parahnya abrasi dalam dua tahun belakangan. Ditambah hasil tangkapan ikan mereka yang kian merosot. Lidianur sendiri mengaku tidak mengetahui adanya pengerukan itu saat ditanya Radar Sampit.
”Saya belum tahu pengambilan pasir untuk proyek (reklamasi) itu. Namun, jika dihubungkan dengan dampaknya, saya baru sadar dan yakin bahwa abrasi yang kian parah dan menurunnya biota laut diakibatkan proyek pengerukan pasir,” katanya.
Rata-rata warga Ujung Pandaran tak pernah melihat langsung aktivitas pengerukan tersebut. Hanya beberapa warga yang mengaku pernah melihat aktivitas kapal asing beroperasi pada malam hari. Hal itu dinilai mencurigakan.
Warga mengaku melihat cahaya lampu kapal yang berhenti dari kejauhan, kemudian mengeluarkan bunyi seperti sedang mengeruk sesuatu. Peristiwa itu terjadi pada awal Agustus 2017 lalu. ”Awalnya, kami hendak mengecek ke sana, namun warga di sini takut,” kata seorang warga setempat.
Pada 27 Juli lalu, beberapa orang dari Kementerian berkunjung ke Ujung Pandaran. Mereka menyampaikan rencana pembangunan sabuk pantai. Namun, warga justru menilai kedatangan mereka tak ada tujuan pasti.
Pasalnya, sampai sekarang perencanaan itu belum rampung. Warga menduga kunjungan itu hanya pengalihan isu aktivitas sesungguhnya untuk menggolkan proyek penambangan pasir di lokasi tersebut.
Jika dilihat berdasarkan titik koordinat, lokasi pengerukan pasir berada di dua mil ke laut, tepat pada wilayah Laut Ujung Pandaran hingga pada batas Kabupaten Seruyan.
”Pernah ada warga yang ,penasaran kemudian melihat ke sana (lokasi). Ada beberapa kapal besar berhenti di tengah laut. Namun, warga tidak berani bertanya apakah kapal tersebut benar-benar kapal pengeruk pasir atau tidak. Karena bentuknya sama,” kata Kepala Urusan Pemerintahan (Kaur Pem) Desa Ujung Pandaran Surya Effendi.
Sejumlah warga menduga kapal penambang pasir tersebut berkamuflase menjadi kapal biasa saat siang hari dan beroperasi mengeruk pasir pada malamnya. Dugaan itu dibuktikan pengakuan beberapa warga lain yang mengaku sempat melihat ada kapal yang mendekat dan menyalakan lampu.
”Lampu-lampu kapal itu terlihat saat malam hari. Kami yakin, itu adalah kapal yang dimaksud. Sebelum ada isu pengerukan pasir tersebut, belum pernah kami temui ada kapal yang melayar dengan lampu yang menyorot tajam seperti itu,” kata salah seorang warga lain.
Berdasarkan letak geografisnya, Desa Ujung Pandaran merupakan daerah rawan abrasi. Robohnya belasan rumah pada akhir 2016 lalu, disebut-sebut karena pengerukan pasir di wilayah perairan daerah itu.
Para nelayan juga mengaku hasil tangkapan, terutama kepiting semakin merosot. Kepiting merupakan salah satu biota laut yang memiliki kebiasaan berkembang biak pada daerah berpasir. Jika pasir di daerah gosong/dangkal diambil, bisa dipastikan tidak ada lagi populasi kepiting di wilayah itu.
Selain itu, terumbu karang dan akar bahar yang biasa dijadikan titik pemancingan ikan bagi nelayan, sekaligus menjadi tempat berkembang biaknya ikan, akan hancur dan perlahan habis.
Belum lagi limbah/air keruh dari kegiatan pertambangan pasir laut juga berdampak pada populasi ikan yang sudah pasti tercemar. Semua dampak itu, menurut warga, akan berpengaruh pada kawasan pariwisata di Pantai Ujung Pandaran.
Sudah Menolak
Surya menuturkan, pada 24 Juli 2015 silam, warga menggelar rapat koordinasi terkait permohonan izin penambangan pasir, berdasarkan undangan dari Pemkab Kotim. Saat itu, warga sudah sepakat menolak.
Namun, lanjutnya, pada 14 September 2015, justru terbit SK Gubernur Kalteng tentang pemberian izin usaha penambangan tersebut tanpa melibatkan warga. Warga menduga, pengerukan pasir untuk proyek reklamasi di Jakarta merembet di daerah Kalimantan, karena pasir yang dipasok dari Papua, Sulawesi, dan Sumatera semakin menipis.
Selain itu, lanjut Surya, terjadinya pendangkalan di muara Sungai Mentaya yang menyebabkan kapal angkutan penumpang harus bertahan, juga disebut-sebut sebagai titik awal terjadinya keputusan untuk menambang pasir di daerah Ujung Pandaran.
”Dulu ada pengerukan di wilayah muara karena lokasi yang dangkal dan menyebabkan kapal penumpang sering kandas. Maka dilakukanlah penggalian di daerah muara itu. Anehnya, limbah pasir dari proyek penggalian itu diangkut di Singapura,” kata Surya.
Setelah didalami, ternyata, berdasarkan hasil uji laboratorium, limbah pasir di wilayah muara, merupakan limbah pasir yang paling bagus kualitasnya di sepanjang daerah Ujung Pandaran. Hal itulah yang kemudian menurut warga menjadi alasan utama ada pihak yang memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan.
”Kami menduga, awalnya ada oknum yang tidak tahu limbah itu bagus kualitasnya. Setelah diuji lab dan menyadari bahwa limbah pasir tersebut berkualitas, mereka memanfaatkan situasi tersebut dengan menjualnya ke negara asing,” ujar Surya.
Sementara itu, Bupati Kotim Supian Hadi mengaku banyak menerima keluhan terkait pengerukan pasir di laut sekitar Ujung Pandaran. Warga dan tokoh masyarakat mendesaknya agar menghentikan kegiatan yang mengancam kehidupan di pantai, yang dinilainya sebagai destinasi wisata andalan tersebut.
”Mereka banyak meminta saya untuk menghentikan kegiatan itu. Tapi, saya bilang, itu bukan wewenang saya, karena mengantongi izin Pemerintah Provinsi,” kata Supian, Senin (16/10).
Supian mengaku khawatir. Apalagi setelah diketahui kegiatan itu mempercepat abrasi pantai. Dia akan segera berkoordinasi dengan Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran soal perizinan tersebut. Supian berjanji meminta gubernur mencabut izin pengerukan.
”Saya akan meminta secara khusus kepada Pak Gubernur agar mencabut izin itu. Ini permintaan masyarakat dan tokoh di Ujung Pandaran,” kata Supian.
Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli mengingatkan semua pihak tidak agar ceroboh bertindak. Pemerintah harus hati-hati menanggapi kegiatan penambangan pasir laut itu apabila sudah mengantongi izin dari Pemerintah Provinsi Kalteng.
”Saya tegaskan, dalam persoalan ini kita mesti hati-hati. Tidak bisa dong mau main menghentikan aktivitas orang tanpa ada dasar yang jelas. Kegiatan penambangan pasir itu kan legal. Ada punya izin. Jadi, tidak bisa serta merta mau dihentikan,” tegasnya.
Menurutnya, terbitnya izin pada masa kepemimpinan Pj Gubernur Kalteng Hadi Prabowo tak bisa dipermasalahkan. ”Bukan pada konsep siapa yang berikan izin zaman gubernur siapa. Bukan seperti itu dalam pemerintahan, karena investor itu tentunya bekerja itu punya dasar dan izin yang kuat. Saya khawatir, kalau kegiatan itu dihentikan, pemerintah sendiri yang akan digugat,” katanya.
Jhon juga menyoal penyataan Supian yang seolah ingin menghentikan aktivitas itu dan berkoordinasi dengan Gubernur Kalteng. Mestinya, lanjut Jhon, kepala daerah harus pandai melihat situasi. Pasalnya, izin pengusaha itu bisa terbit setelah pemerintah daerah memberikan rekomendasi, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan lainnya.
”Lain halnya jika aktivitas penambangan pasir laut itu tidak berizin. Saya mendukung kepala daerah tegas,” katanya.
Perlu Kajian
Wakil Gubernur Kalteng Habib Said Ismail mengatakan, izin penambangan pasir di laut sekitar Ujung Pandaran harusnya mengantongi Hinder Ordonantie (HO) dengan masyarakat, terutama mengenai persoalan lingkungan. Dia menginginkan ada tim yang diturunkan ke lapangan untuk memeriksa abrasi yang dikeluhkan masyarakat.
”Apakah betul tambang yang ada di sana membuat abrasi cepat terjadi? Andaikan betul, berarti dampak lingkungannya besar dan sarannya dicabut (izin, Red) kalau pontesi merugikan terjadi,” katanya, Selasa (17/10).
Meski demikian, lanjutnya, pencabutan izin tidak bisa dilakukan begitu saja. Harus dikaji terlebih dahulu sebelum memutuskan pencabutan. ”Kajian teknis perlu dilakukan, karena pencabutan izin bukan hanya emosi semata. Kita juga punya orang teknis mengenai persoalan ini. Jadi, yang dilakukan bukan atas dasar permintaan ataupun polemik, tapi disesuaikan dengan kajian,” jelasnya.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalteng Ermal Subhan mengatakan, kegiatan tambang di wilayah Ujung Pandaran tersebut hanya mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi. Pihaknya akan meninjau lagi mengenai dokumen yang dimilki perusahaan tersebut.
”Hanya izin eksplorasi dan nanti akan dilihat lagi bagaimana dokumen yang mereka miliki untuk melakukan aktivias tersebut. IUP-nya dulu yang harus jelas untuk operasinya,” katanya.
Terkait pencabutkan izin, dia menegaskan, harus ada dasarnya. Mekalipun aktivitas pertambangan di wilayah ini dianggap merusak lingkungan, pencabutan izin harus dilakukan melalui mekanisme yang berlaku.
”Kalau dasarnya kuat, akan dicabut. Inilah nantinya yang akan ditindaklanjuti di lapangan bagaimana perkembangannya, kerusakan lingkungan, dan yang pasti diteliti lagi soal dokumen yang dikantongi perusahaan,” tandasnya. (ron/oes/ang/sho/ign)