SAMPIT – Kabut asap yang menyelimuti Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), berpotensi semakin parah karena titik panas terus bertambah. Asap bisa bertambah pekat karena peluang hujan sangat minim. Di sisi lain, kualitas udara di Kotim mencatat angka paling buruk dibanding daerah lainnya di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dikutip dari laman iku.menlhk.go.id, indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Kota Sampit pada Kamis (23/8), mencatat angka 86. Tingkat pencemarannya masuk kategori sedang. Angka itu lebih tinggi dibanding Palangka Raya (26), Kotawaringin Barat (14), dan Barito Utara (37), yang masih kategori baik.
Warga merasakan buruknya kualitas udara karena kabut asap itu. Padahal, sehari sebelumnya, saat Idul Adha, kabut asap sempat menipis. ”Bertepatan dengan Idul Adha, asap tidak terlalu tercium. Mungkin karena sehari sebelumnya terjadi hujan, meski intensitasnya ringan,” kata Iful, warga Kecamatan Mentawa Baru Ketapang.
Asap di Kotim tidak hanya terjadi di Sampit saja, namun juga di wilayah selatan. Seperti di wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Mentaya Hilir Selatan, Kecamatan Pulau Hanaut dan Teluk Sampit.
”Sudah hampir sepekan ini kabut asap melanda Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, tapi masih tidak terlalu mengganggu jarak pandang,” ujar Rahimah, salah seorang warga.
Kendati tak mengganggu jarak pandang, sebagian masyarakat sudah mengalami gangguan pernapasan. Asap tercium sudah sangat menyengat. Bau asap tercium sejak malam dan berangsur hilang pada pagi hari, sekitar pukul 08:30.
Berdasarkan data dari Posko Karhutla, jarak pandang di Kota Sampit masih baik, yakni sekitar 7 kilometer. Untuk titik panas, terpantau sebanyak 8 titik. Titik panas itu terjadi saat cuaca cerah dengan suhu sekitar 27,1 derajat celcius dengan tingkat kelembaban 84 persen.
Petugas pemetaan di Posko Karhutla Jalan S Parman Sampit, Zulian Firdaus, mengatakan, dengan kelembaban setinggi itu, kebakaran menjadi lebih mungkin dipadamkan meski titik panas bertambah. Petugas juga tak terlalu kerepotan dengan kendala suhu di lapangan yang menyengat.
Terkait titik panas yang masih banyak terpantau, Zulian menuturkan, disebabkan kebakaran lahan yang meluas, yakni dari 300 hektare menjadi sekitar 400 hektare. Lahan yang dilalap si jago merah dikhawatirkan berpotensi menjadi bencana kabut asap yang sama seperti tahun 2015 silam.
”Ini sudah bertambah. Banyak masyarakat yang khawatir, jika kebakaran terus terjadi, bisa menyebabkan kabut asap seperti tiga tahun silam. Namun, kami dari petugas BNPB menegaskan, tingkat pencemaran masih normal. Artinya, belum berpotensi menjadi bencana kabut asap yang parah,” ujarnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Kotim, Rihel mengatakan, sebaran titik panas masih berada di beberapa wilayah yang lama.
”Laporan daerah baru yang kebakaran belum ada. Hari ini (kemarin, Red) memang kelembaban udara lumayan tinggi. Hal ini tentu tak menyulitkan petugas yang sudah bekerja ekstra ketika memadamkan api,” ujarnya.
Bisa Makin Pekat
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Bandara H Asan Sampit Nur Setiawan mengatakan, potensi terjadinya hujan di Kotim masih kecil. Meski hujan, sifatnya lokal dengan intensitas ringan, sehingga tak akan mampu menghalau kebakaran lahan.
”Seminggu ke depan potensi hujan masih kecil. Misalkan terjadi hujan, sifatnya lokal saja,” kata Nur Setiawan.
Menurut Nur Setiawan, asap masih berpotensi semakin pekat, karena masih banyaknya titik panas yang terpantau di wilayah Kotim. Keberadaan asap, lanjutnya, menghambat terbentuknya pembentukan awan hujan, sehingga potensi hujan semakin minim.
”Ya, dengan adanya asap, pemanasan atau penyinaran matahari tidak maksimal, sehingga penguapan yang terjadi terhambat,” imbuhnya.
BMKG, lanjutnya, masih terus memantau perkembangan penanganan kebakaran hutan dan lahan. Dikhawatirkan masih banyak terdapat titik panas yang membuat potensi hujan juga masih kecil.
Nur Setiawan menuturkan, musim kemarau diperkirakan akan berakhir pada akhir September hingga awal Oktober. Kemarau akan berpengaruh pada kondisi di beberapa wilayah di Kotim yang mengalami kekeringan.
”Curah hujan dalam sepuluh hari terakhir yang rendah, berdampak pada tingkat kekeringan di sebagian besar wilayah Kotim. Hal ini diakibatkan kemarau yang telah terjadi sejak pertengahan Juli lalu,” katanya.
Mengenai kemungkinan dilakukannya teknologi modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan, Nur Setiawan menuturkan, perlu dilakukan evaluasi lagi. Hal itu juga dengan mempertimbangkan perkembangan penanganan kabut asap.
Sementara itu, BMKG pusat mengeluarkan peringatan waspada potensi karhutla. Peringatan tersebut seiring dengan semakin luasnya wilayah kemarau di Indonesia. Titik panas di Kalteng terpantau sebanyak 226 titik, kedua tertinggi setelah Kalimantan Barat (Kalbar) yang terekam sebanyak 798 titik panas.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal mengatakan, pada pertengahan Agustus ini, hampir seluruh wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau. ’’Yakni sebanyak 95,03 persen. Sisanya sebanyak 4,97 persen masih musim hujan,’’ katanya.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ikut turun tangan dalam modifikasi cuaca di Kalbar. ’’BPPT ikut andil mengirimkan personel modifikasi cuaca. Untuk membuat hujan buatan,’’ kata Kepala BPPT Unggul Priyanto.
Unggul menjelaskan, tim dari Unit Pelayanan Teknis (UPT) Hujan Buatan sudah berada di Kalbar. Tim pembuat hujan buatan tersebut dikomando Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT Tri Handoko Seto.
Seto mengatakan, tim hujan buatan sejatinya sudah mulai bekerja di Kalbar pada 19 Agustus lalu. Upaya pembuatan hujan buatan dilakukan menggunakan pesawat Casa 212-200 milik TNI AU. Diperkirakan ada 5 ton bahan semai Natrium Clorida (CaCl) ditaburkan ke dalam awan-awan yang potensial menjadi hujan.
Kerahkan Drone
Sementara itu, upaya Pemerintah Kecamatan Pulau Hanaut bersama tim pengendali karhutla membuahkan hasil. Titik api yang semula mencapai 28 titik di wilayah itu, berkurang dan hanya menyisakan delapan titik.
”Delapan titik api yang tersisa itu lokasinya sangat sulit dijangkau. Tidak ada jalur lain kecuali jalan kaki menerobos lahan yang sudah terbakar. Tidak ada akses jalan kendaraan bermotor,” kata Camat Pulau Hanaut Eddy Mashami.
Eddy memastikan, hutan dan lahan yang telah terbakar di Kecamatan Pulau Hanaut bukan perkebunan maupun pertanian milik warga, melainkan semak belukar. ”Yang terbakar itu hanya semak belukar. Makanya tidak ada yang menggarap, apalagi dimanfaatkan untuk perkebunan atau pertanian,” kata mantan Kepala Bidang Kehutanan ini.
Lahan dan hutan yang terbakar tidak hanya di sekitar desa yang tersebar di Kecamatan Pulau Hanaut. Menurut Eddy, kebakaran sudah mencapai perbatasan Kotim dengan Katingan.
”Kami berjibaku hanya untuk memadamkan api tak meluas sudah sampai pada titik perbatasan Katingan dengan Kotim. Artinya, kebakaran sudah cukup luas dan kesulitan kami hanya akses menuju titik api dan minimnya ketersediaan air,” ujar Eddy yang menjadi garda terdepan dalam penanganan karhutla.
Eddy mengucapkan terima kasih kepada Tim Pengendali Karhutla Terpadu Kecamatan Pulau Hanaut dan bantuan peralatan dari PT Rimba Makmur Utama yang sudah menyediakan 30 unit alkon dan satu drone untuk memantau karhutla di desa lainnya.
”Kami dipinjamkan drone untuk memantau titik-titik api di Pulau Hanaut. Alhamdulillah, berkat drone tersebut kami sangat terbantu. Drone itu menjadi petunjuk kami, baik saat berada di hutan maupun ketika pulang,” pungkasnya.
Pakar Bidang Perubahan Iklim dan Lingkungan Dari Institut Pertanian Bogor (IPB)Daniel Murdiyarso mengingatkan, Indonesia menyimpan potensi pencemaran udara yang sangat besar dengan komposisi lahan gambut dan konversi lahan yang sangat luas.
”Lahan gambut memilik biomassa yang menyimpan karbondioksida yang sangat besar. Biomassa yang terkandung bisa 2 ribu hingga 3 ribu ton. Kalau terbakar berulang-ulang sama dengan pembakaran hutan,” katanya.
Karhutla yang terjadi di indonesia, kata Daniel rata-rata 20 30 persen berkontribusi terhadap percepatan perubahan iklim dunia. Saat karhutla terjadi di Indonesia pada 2015, emisi per hari yang dihasilkan meningkat tajam. Dari emisi benua eropa yang rata-rata 8 teragram per hari, menjadi 11 teragram.
”Emisi yang dihasilkan saat terjadi karhutla lebih besar dari emisi yang dihasilkan oleh gabungan 25 negara di Eropa,” jelasnya.
Emisi udara di indonesia, kata Daniel, masih didominasi land based emission atau emisi yang berasal dari konversi lahan. Dari 900 juta ton emisi per tahun yang dihasilkan indonesia, 60 hingga 70 persennya berasal dari karhutla. ”Baru kemudian berasal dari industri dan asap kendaraan bermotor,” jelasnya.
Meski demikian, menurut Daniel, penanganan karhutla sejauh ini terus membaik. Namun, segala kerja keras pemerintah hanya akan bersifat “membakar uang” jika masyarakat tidak dilibatkan. ”Masyarakat harus disadarkan, termasuk kalangan pengusaha. mereka juga masyarakat,” jelasnya. (wan/far/tau /jpg/oes/ron/hgn/fin/ign)