SAMPIT – Konstelasi pemilihan umum (pemilu) calon anggota legislatif tahun 2019 diwarnai politik dinasti. Sebagian kontestan yang maju dalam pesta demokrasi itu berasal dari lingkaran keluarga tertentu.
Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli mengatakan, hal tersebut menjadi ancaman untuk sistem politik dan lembaga legislatif ke depannya.
”Politik dinasti memang mewarnai ajang pemilihan legislatif tahun ini. Ada yang satu keluarga jadi caleg, mulai anak, bapak, istri, dan keponakan. Hal semacam ini merupakan preseden buruk dunia politik, khususnya di Kotim,” kata Jhon Krisli, Selasa (19/3).
Jhon menuturkan, caleg yang berasal dari kalangan keluarga politikus yang mendominasi dalam satu partai politik memang tidak dilarang. Namun, secara etika perpolitikan, hal itu sangat tidak elok. Hal itu memperlihatkan kegagalan partai politik melakukan kaderisasi hingga menjaring caleg berkualitas.
Menurutnya, caleg yang berasal dari satu keluarga mulai di tingkat DPRD kabupaten hingga provinsi, menjadi ancaman kurang baik apabila mereka semua duduk di lembaga legislatif. Kondisi demikian rentan terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
”Yang jelas, kalau lembaga disii banyak kerabat tentunya kurang baik. Rentan terjadi kolusi nantinya. Kebijakan lembaga sangat mungkin tidak akan diambil secara fair,” tutur Jhon.
Jhon khawatir periode yang akan datang DPRD akan diisi orang yang tidak berkompeten. Padahal, lembaga itu memiliki fungsi anggaran, pengawasan, hingga legislasi.
”Lembaga DPRD wajib diisi orang yang mumpuni dan memiliki kapasitas dan kapabilitas. Sebab, yang mereka awasi orang eksekutif dan merupakan orang pintar semua. Masa kemampuan pengawasnya di bawah yang diawasi? Pemerintahan tidak akan berjalan seimbang,” ujarnya.
Menurutnya, ketika DPRD diisi orang yang tidak kompeten, merupakan kesalahan masyarakat yang memilih. Mereka tidak melihat dan menilai melalui kemampuan hingga rekam jejaknya. Karena itu, kata Jhon, Pemilu 2019 harus memperhatikan caleg yang berkualitas agar lembaga tersebut diisi orang yang berkualitas pula.
”Pada prinsipnya harus cermati rekam jejaknya, mampu atau tidak. Bisa atau tidak nanti menjadi penyambung aspirasi ketika duduk di lembaga. Itu harus jadi pertimbangan, jangan asal pilih begitu saja,” tandasnya. (ang/ign)