SAMPIT – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) diminta turun tangan menyikapi teror buaya yang kian masif. Jangan sampai ada korban jiwa dan jadi teror berkepanjangan bagi kehidupan warga yang tinggal di bantaran sungai.
”Belum ada hal yang bisa menjelaskan kenapa buaya belakangan ini sepertinya mengganas. Dulu tidak pernah dan berawal dari kejadian di daerah selatan dan kini mulai terjadi di daerah lain. Mungkin BKSDA harus melakukan penelitian mendalam dan akurat, supaya tahu solusinya seperti apa,” kata Wakil Ketua DPRD Kotim Rudianur.
Menurut Rudianur, sejauh ini Pemkab Kotim belum ada sikap apa pun di tataran kebijakan yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. Padahal, kejadian masyarakat diserang predator mematikan itu terjadi sejak beberapa tahun lalu. Bahkan, beberapa kali menelan korban jiwa.
”Belum ada aksi nyata dari pemerintah daerah terkait penanganan teror buaya ini. Padahal harus ada campur tangan pemerintah mencegah serangan buaya terhadap masyarakat. Setidaknya masyarakat merasakan pemerintah hadir,” kata politikus Golkar Kotim itu.
Rudianur menuturkan, teror buaya yang kian masih di beberapa tempat di Kotim bisa disebabkan habitat mereka sudah terganggu. Selain itu, karena faktor sungai yang semakin tercemar.
”Kalau saya menduga ini mereka spesies itu merasa sudah terganggu dan posisinya terjepit. Selain itu, makanan mereka tidak ada. Makanya sampai menyerang hewan ternak penduduk hingga manusia,” jelasnya.
Dia juga mendorong Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kotim segera turun tangan melakukan langkah pencegahan dan menangkap buaya ganas yang meresahkan warga.
”BKSDA juga harus turun tangan soal ini. Serba salah nanti jika masyarakat yang memburunya, bisa dijerat pidana. Maka dari itu, lebih baik BKSDA yang merupakan lembaga berwenang lebih dulu turun ke lokasi dan melakukan pengecekan untuk menentukan langkah selanjutnya,” katanya.
Seperti diberitakan, teror buaya meresahkan warga dua desa di Kotim. Warga Desa Palangan, Kecamatan Kotabesi tak berani lagi beraktivitas di sungai belakangan ini. Demikian pula warga Desa Luwuk Bunter, Kecamatan Cempaga, yang juga ketakutan dengan kemunculan buaya di wilayah mereka.
Ekosistem Rusak
BKSDA Pos Jaga Sampit menduga kian masifnya buaya yang meneror permukiman warga merupakan imbas dari ekosistem sungai yang kian rusak. Selain terdapat banyak sampah, pepohonan di tepi sungai juga kian menipis akibat erosi, abrasi, dan kebakaran.
”Cepat atau lambat, kerusakan ekosistem sungai tersebut akan berdampak negatif pada warga yang tinggal di tepi sungai. Salah satunya, perubahan perilaku satwa liar di sungai. Contohnya, buaya. Buaya yang dulunya jarang muncul, kini semakin sering terlihat. Dulunya buaya tidak menyerang manusia, kini mulai berani menyerang,” kata Kepala BKSDA Pos Jaga Sampit Muriansyah.
Muriansyah menuturkan, pihaknya tidak pernah berhenti mengimbau warga selalu berhati-hati dan waspada saat beraktivitas di sungai. Selain memberikan pengarahan dan penyuluhan, pihaknya juga sudah melakukan pemetaan daerah rawan konflik, pemasangan plang bahaya buaya, juga menyita buaya yang dipelihara warga.
Terkait warga di pinggiran Sungai Mentaya, wilayah Sampit yang tetap beraktivitas seperti biasa meskipun diduga ada buaya mengintai, menurut Muriansyah, hal itu wajar. Pasalnya, sungai merupakan bagian dari kehidupan warga. Selain itu, kasus buaya menyerang manusia di wilayah Sampit belum pernah ada.
”Wajar saja mereka tidak takut dan tetap beraktivitas di Sungai Mentaya meski ada kabar kemunculan buaya,” katanya.
Menurut Muriansyah, tingkat kerawanan serangan buaya di Sungai Mentaya wilayah Sampit sebenarnya cukup rendah jika dibandingkan dengan wilayah selatan. Namun, warga di tepi sungai diharapkan berhati-hati.
”Jika bisa, warga juga agar mengurangi aktivitasnya di pinggir Sungai Mentaya,” katanya.
Sebelumnya, kabar kemunculan buaya di tepian Sungai Mentaya, kawasan Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit, tak menyurutkan aktivitas warga Baamang yang tinggal di pinggiran sungai itu. Warga tetap santai dan menjalankan aktivitas seperti biasa, meski di wilayah perairan itu diduga ada hewan pemangsa.
Pantauan Radar Sampit, sebagian besar warga yang tinggal di tepian sungai yang terbuat dari rumah rakitan kayu atau lanting, beraktivitas persis di pinggir sungai untuk mandi, mencuci pakaian, dan mencuci piring. (ang/sir/ign)