SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Selasa, 24 Desember 2019 21:07
Menyimpan Harta Negeri, Merajut Mimpi di Alam Asri

Mengunjungi Hutan Desa Tangkahen di Pulang Pisau (1)

Mereka menggantung harapan pada alam. Hutan desa diharap jadi sumber penghidupan yang menopang perekonomian. Mimpi itu terus diperjuangkan di tengah keterbatasan.

HENY, Tangkahen

Mendung siang itu tak mematahkan semangat Radar Sampit melaju menuju Desa Tangkahen, Selasa (10/12). Skuter matik merah berkapasitas 125 cc, menemani perjalanan memasuki desa yang masuk wilayah Kabupaten Pulang Pisau itu.

Perlu waktu sekitar dua jam untuk mencapai lokasi yang jaraknya 91 kilometer dari Kota Palangka Raya tersebut. Menyeberangi Jembatan Kahayan, melewati jalur lintas Palangka Raya - Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas.

Perjalanan siang itu cukup lancar. Setelah berkendara sekitar 25 menit, melintasi jalur arah Kuala Kurun, suasana jalan mulai sepi. Jarang pengendara lain melintas.

Setelah melewati beberapa desa. Radar Sampit akhirnya berhenti tepat di bawah plang hijau penunjuk arah Kuala Kurun dan Desa Tangkahen. Jarak desa itu tinggal 4 kilometer lagi menuju arah kiri.

Setelah bertanya pada perempuan muda penjaga kios kecil yang tak jauh dari plang tersebut, Radar Sampit langsung menuju kediaman Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Tangkahen, Masimpei.

Gerbang bertuliskan ”Selamat Datang di Kawasan Ekowisata Desa Tangkahen” menyambut Radar Sampit sebelum tiba di kediaman Masimpei. Halaman rumah beton hijau muda milik Masimpei sore itu begitu ramai. Rupanya pemilik rumah sedang menggelar syukuran bertambahnya usia anaknya.

Setelah acara selesai, seorang pria tanpa baju di teras rumah mengamati gerak-gerik Radar Sampit yang tampak asing baginya. Agar tak kian memacing kecurigaan, Radar Sampit langsung menghampiri pria itu yang ternyata dialah Masimpei.

Begitu tahu Radar Sampit, raut wajah pria 47 tahun tersebut langsung berubah ramah dan menyambut dengan senyuman. Dia lalu masuk sejenak ke rumah untuk mengenakan pakaian.

”Sebentar ya! Silakan duduk dulu,” ucap pria kelahiran Desa Tangkahen, 24 Agustus 1972 ini.

Kurang lebih satu jam kami berbincang mengenai hutan desa dan mengatur waktu menuju lokasi keesokan harinya. Tak terasa matahari di ufuk barat perlahan mulai tenggelam. Pertanda hari mulai gelap.

Simpei lalu mengantar Radar Sampit ke muara dermaga penyeberangan menuju permukiman penduduk yang letaknya sekitar 150 meter dari kediaman Simpei atau 4 km dari jalan lintas menuju Desa Tangkahen.

Lokasinya di arah barat, dipisahkan Sungai Kahayan. Radar Sampit rencananya akan bermalam di rumah warga yang sebelumnya sudah dihubungi Masimpei.

”Kita sambung besok lagi, hari sudah gelap. Khawatir perahu feri penyeberangan tidak lagi beroperasi,” ucapnya.

Feri yang mengangkut motor bersama Radar Sampit itu perlahan bergerak menuju seberang. Tak jauh dari dermaga, sosok pria hampir setengah abad duduk di atas motor bersama bocah laki-laki menyambut Radar Sampit.

”Ini tamunya Pak Simpei ya? Saya kira yang datang tadi laki-laki, ternyata perempuan,” kata pria pemilik nama Tomi Tue Aman atau akrab disapa Pak Rahmat itu.

Rumahnya tak jauh dari dermaga. Persis di depan masjid beton yang kabarnya sudah tiga kali direnovasi. Kediaman Pak Rahmat yang terbuat dari kayu ulin cukup besar. Ada ruang tamu dan enam kamar dengan dapur yang luas.

Sebelum memulai petualangan menyusuri hutan yang melelahkan, Radar Sampit malam itu ditemani tiga anggota LPHD Tangkahen, Masimpei, Buyung (30), dan Burhani (70). Kami berbincang panjang mengenai kehidupan warga di desa itu, termasuk hutan ekowisata Desa Tangkahen.

***

Rabu (11/12) pagi, Buyung sudah siap dengan perlengkapan ”tempurnya”. Mengenakan kaos jingga, ransel biru di punggung, dan sebilah parang di pinggang, warga asli Desa Tangakahen itu ikut memandu Radar Sampit menyusuri hutan desa bersama Burhani.

Buyung lalu menghidupkan mesin motornya yang usang dan dimodifikasi sedemikian rupa agar nyaman dibawa menuju area hutan desa. ”Ayo, kita berangkat! Enaknya berangkat pagi-pagi seperti ini, tidak begitu panas dan udaranya segar dihirup,” ujar Buyung.

Setibanya di pintu gerbang kawasan ekowisata hutan Desa Tangkahen, kami langsung menuju kediaman Masimpei. Ketua LPHD Tangkahen itu kompak mengenakan kaos jingga dengan ransel hitam berisi bekal makanan seadanya. Setelah semua siap, kami berangkat membawa motor masing-masing.

Menuju hutan Desa Tangkahen yang luasnya sekitar 357 hektare dengan rata-rata ketinggian 80 mdpl itu memerlukan waktu sekitar dua jam dengan jarak tempuh 4.100 kilometer dari gerbang pintu masuk menuju hutan desa.

Medan jalannya berpasir. Di beberapa titik tanjakan tinggi menguji pengendara. Jika tak berhati-hati, kendaraan bisa saja terpeleset dan terjebak kubangan lumpur.

Jalur masuk hutan desa itu sebenarnya ada dua. Bisa melalui Desa Tumbang Terusan yang ditempuh sekitar 17 km menggunakan kendaraan dari Desa Tangkahen, dilanjutkan berjalan kaki sekitar satu km.

Rute lain yang paling sering dilewati dengan mengendarai motor sekitar satu jam. Dilanjutkan berjalan satu jam atau sekitar 3 km seperti yang dilakukan Radar Sampit.

Setelah berkendara dengan medan yang bikin pinggang kelelahan, kami harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Hutan desa itu dipisah Sungai Beringen yang lebarnya sekitar 20 meter. Motor kami parkir di pinggir sungai yang suasananya sangat sepi itu.

”Kalau saat musim kemarau air sungai surut, kendaraan masih bisa dipaksakan melewati sungai menuju hutan desa, tetapi kalau air sedang pasang seperti ini tak bisa dilewati,” tutur Simpei.

Kami lalu menyingsingkan celana, berjalan melintasi sungai yang dalamnya selutut orang dewasa itu. Perjalanan selanjutnya kian berat. Jalan semakin menanjak.

Rasa lelah tak bisa dihindari. Napas Radar Sampit yang memang sudah jarang olahraga, kian tak beraturan. Keringat terus mengucur hingga melewati kelopak mata yang membuat perih. Nyaris pingsan rasanya.

Sebelum tiba di hutan desa, ada beberapa tikungan yang kami lintasi. Di tikungan pertama, sebuah gubuk dari kayu menyambut kami. Bangunan kecil itu didirikan masyarakat untuk tempat beristirahat.

”Kami menyebutnya Hotel Swiss Bell (hotel bintang lima berjaringan, Red). Di sinilah kami terkadang beristirahat apabila kelelahan,” tutur Simpei sambil terkekeh.

Rumah kayu itu kami lewati begitu saja. Sekitar 500 meter mengayunkan langkah kaki, rombongan Radar Sampit tiba di hutan rimba. Alamnya asri. Menurut Simpei, hutan itu menyimpan harta negeri, yakni satwa dan tumbuhan dilindungi.

Di tengah pertengahan perjalanan, Buyung menunjukkan seekor binatang semacam ulat berwarna hitam dengan tubuh sedikit berkelok. Dalam bahasa Dayak, masyarakat setempat akrab menyebutnya ulat kerakup. Dalam bahasa Indonesia, kerakup bisa diartikan jemari yang mengepal.

Apabila merasa terancam, hewan itu akan membentuk dirinya persis kelereng. Radar Sampit baru pertama kali melihatnya. Bentuknya persis kelereng dengan diameter tiga kali lipat lebih besar.

”Kami biasa menyebutnya kerakup, karena saat ulat ini disentuh dia langsung berubah membentuk diri menjadi bulat (seperti jari yang mengepal, Red). Pernah pengunjung dari luar daerah ingin membawanya. Saya bilang jangan, inilah satwa yang kami lindungi, karena di daerah lain belum tentu jenis ulat ini ada,” tutur Buyung seraya melanjutkan perjalanan.

Selain satwa, tumbuhan langka dan jenis tanaman obat-obatan juga mudah dicari di hutan ini, seperti bajakah dan jamur yang berwarna putih kekuningan. ”Ini seharusnya perlu dilakukan penelitian. Jamur ini tumbuh di hutan, tetapi kami belum begitu mengetahui jenis apa,” kata Simpei.

Selama perjalanan masuk hutan desa, suara kicauan burung beradu dengan suara mesin ekskavator yang terdengar sayup-sayup. Menurut Simpei, ekskavator itu tengah bekerja membangun badan jalan menuju hutan Desa Tangkahen.

Proyek itu digarap Dinas PUPR Pulang Pisau dengan kontraktor CV Batu Ampar Sebangau. Pekerjaan dimulai sejak 9 September 2019 selama 90 hari kalender dengan nilai kontrak Rp 478.600.000 menggunakan dana APBD Pulang Pisau.

”Pembangunan badan jalan itu dimulai dari Sungai Beringen menuju hutan desa sepanjang 1.300 meter saja. Kami berharap pemerintah bisa melanjutkan sampai menuju hutan desa,” ucap Simpei.

Ketika langkah kaki kian mendekati hutan desa, suara satwa hutan kian nyaring dan jelas terdengar. ”Kami biasa menyebut suara ini bunyi terompet alam semesta. Kalau pagi-pagi, suara owa-owa juga terdengar sampai hutan desa ini,” kata Simpei.

Setelah berjalan kaki hampir satu jam, bangunan pondok berkonstruksi kayu semacam rumah panggung terlihat dari kejauhan. Masyarakat Dayak biasa menyebutnya ”huma betang”.

Pondok itu dibangun tahun 2018 menggunakan dana desa tahun anggaran 2017 dan 2018 sebesar Rp 125 juta. Dilanjutkan tahun 2019 sebesar Rp 125 juta.

Di belakang pondok wisata itu terdapat rumah pohon yang dibangun Juli 2018 menggunakan dana Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) wilayah Kalimantan sebesar Rp 50 juta. Pekerjaannya digarap secara swadaya masyarakat setempat dengan total pekerja enam orang. Menghabiskan waktu dua minggu.

Selain pondok utama, di hutan desa itu juga terdapat dua rumah. Letaknya persis berhadapan dengan pondok utama. Masing-masing bangunan memiliki panjang 7 meter dengan lebar 6 meter.

Rumah kayu itu mulai dikerjakan November 2019, menelan anggaran sebesar Rp 199.800.000 melalui dana APBD-P. Bangunan itu baru saja rampung dua hari sebelum Radar Sampit tiba di tempat itu, tepatnya Senin (9/12). Rencananya, kedua rumah kayu tersebut difungsikan sebagai rumah wisata penginapan untuk pengunjung.

”Kami sudah menyiapkan beberapa paket penginapan yang rencananya akan kami buka tahun 2020. Saat ini kami masih berusaha membenahi fasilitasnya terlebih dahulu,” kata Simpei.

Simpei menuturkan, pengembangan hutan desa terkendala minimnya fasilitas, terutama sumber air bersih. Meskipun toilet sudah dibangun, air bersih sulit diperoleh dan hanya berharap air hujan.

”Selama ini kami hanya mengharapkan air hujan. Kabarnya, Bupati (Pulang Pisau Edi Pratowo) berencana membangunkan sumur bor, tetapi sampai sekarang belum ada realisasinya. Kami berharap orang Dinas PUPR turun ke sini untuk melihat keadaan hutan desa,” tuturnya.

Mengingat lokasi hutan desa berada pada dataran yang cukup tinggi, apabila sumur bor dibuat, minimal kedalamannya harus 100 meter dari permukaan tanah.

”Bangun sumur bor di sini memang harus cukup dalam. Minimal 100 meter baru bisa terlihat mata airnya, karena lokasinya datarannya cukup tinggi,” ujarnya.

Simpei bermimpi akan terus mengelola dan memperjuangkan hutan desa hingga dikenal di seluruh Indonesia, bahkan dunia. ”Tahun lalu berbagai turis dari Vietnam, Jerman, Perancis, dan Amerika pernah mengunjungi hutan ini. Kami berharap hutan desa ini terus kami kelola dan semakin banyak dikunjungi turis asing maupun lokal,” ujarnya.

Masimpei bermimpi ingin menjadikan hutan desa sebagai area bumi perkemahan yang dilengkapi ruang pertemuan, lahan parkir, dan akses jalan yang mudah dilalui.

”Mimpi ini akan terus kami perjuangkan, tetapi tentu semua yang kami impikan mustahil terwujud tanpa dukungan pemerintah daerah, sehingga kami berharap pembangunan badan jalan menuju hutan desa bisa terus dilanjutkan,” ujarnya.

Menurut Masimpei, Kepala Kejaksaan Negeri Pulang Pisau Triono Rahyudi juga sempat mengunjungi hutan desa itu dan menjanjikan bantuan 10 unit kendaraan trail untuk operasional anggota LPHD menuju hutan desa. Namun, hingga kini janji tersebut belum terealisasi.

”Kejari Pulang Pisau bagian dari kelompok kerja (pokja) percepatan Pariwisata Pulang Pisau. Kami tidak meminta (janji bantuan), hanya menagih saja,” ujarnya. (***/ign)

 


BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 22:17

Dishub Diminta Tambah Traffic Light

<p><strong>PALANGKA RAYA</strong> &ndash; DPRD Kota Palangka Raya menilai sejauh…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers