SAMPIT – Petani kelapa sawit asal Desa Ayawan, Kabupaten Seruyan, Abdul Fatah, masih memperjuangkan keadilan untuknya terkait lahan kebunnya yang sempat dipersoalkan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah 1 Palangka Raya.
Kasus itu berawal dari BPPHLHK menyebut 12 hektare kelapa sawit yang sedang ditanam di lahan Abdul Fatah masuk dalam kawasan hutan. Abdul Fattah sempat dijerat secara pidana, namun dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Sampit.
Meski bebas dari tuntutan pidana, sidang gugatan perdata Abdul Fatah terus bergulir di Pengadilan Negeri Sampit. Sarudin, Kepala Desa Ayawan yang dihadirkan sebagai saksi mengatakan, tidak pernah ada yang mempermasalahkan lahan seluas 12 hektare yang kini jadi objek sidang itu.
”Sejak tahun 1979 sampai 2018, tidak ada yang mempermasalahkan lahan itu," kata Sarudin dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampit yang diketuai Darminto Hutasoit, Selasa (13/4).
Sarudin mengaku tidak pernah tahu kawasan itu masuk areal hutan. Bahkan, dia menyebut, PT Kesuma Perkasa Wana tidak pernah melakukan sosialisasi ke desa bahwa lahan itu kawasan mereka yang masuk sebagai kawasan hutan. ”Jika saya tahu itu kawasan hutan, tidak akan saya keluarkan SPPT itu," tegasnya.
Sarudin menuturkan, lahan itu dikuasai secara turun-temurun oleh orang tua Abdul Hadi. Kemudian dilanjutkan Abdul Hadi dan adik-adiknya. Pada 2018, Abdul Hadi dengan ketiga adiknya menjual lahan tersebut pada Abdul Fatah. Dia sendiri yang mengeluarkan SPPT kala itu.
”SPPT itu 3 atas nama Abdul Hadi dan masing-masing satu SPPT atas nama adiknya Misnawati, Norlaila dan Basuri, di mana satu SPPT itu luasnya dua hektare," tuturnya.
Menurut Sarudin, lahan Fatah tersebut sudah masuk dalam proses program Tanah Obejk Reforma Agraria (TORA). Dia sempat ditanya tergugat soal bukti yang diajukan pihak tergugat tersebut, yakni mengapa surat yang mereka kantongi bukan atas nama Abdul Fatah, melainkan nama istrinya.
”Kalau itu saya kurang tahu. Yang jelas sebelumnya tidak pernah dipermasalahkan. Saat Pak Fatah mengganti sawit sebelumnya baru dipermasalahkan," ujarnya.
Dalam gugatan, Abdul Fatah menuding BPPHLHK melawan hukum. Apabila diperhitungkan dalam isi gugatan, Abdul Fatah mengalami kerugian, yakni membeli tanah tersebut sebesar Rp 87.650.000, biaya pengelolaan lahan dan biaya penanaman kepala sawit yaitu sebesar Rp. 100 juta, sehingga kerugian materil yang timbul akibat perbuatan tergugat sebesar Rp 187.650.000.
Sementara itu, kerugian inmateril yang timbul akibat perbuatan tergugat yang melawan hukum, sebagaimana Pasal 30 Huruf (b), Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, pihak yang melakukan penangkapan, hingga penahan serta penetapan penggugat sebagai tersangka adalah kerugian moril, penderitaan, serta pelanggaran hak asasi manusia. Apabila dinominalkan sebesar Rp 1,5 miliar. (ang/ign)