Berhaji adalah urusan panggilan. Tanpa panggilan Sang Khalik, sekaya apapun akan sulit menunaikannya. Sebaliknya, jika panggilan itu tiba, siapa kuasa menolak. Seperti halnya Aberan, yang sehari-hari hanya menjual kue tradisional. Di usia senja, panggilan itu tiba.
DEVITA MAULINA, Sampit.
Menunaikan ibadah haji adalah idaman umat muslim. Tapi untuk itu perlu biaya yang tak sedikit. Sehingga rukun Islam kelima itu hanya diwajibkan bagi yang mampu.
Namun, tak ada kata mustahil. Terutama bagi mereka yang mau berusaha dan menyimpan tekad kuat. Begitulah yang terjadi pada Aberan, pria 76 tahun yang bermukim di jalan Pandjaitan, Gg langsat No 23, Kecamatan MB Ketapang, Kotim.
Sehari-hari berjualan kue tradisional di pasar, Aberan tak menyangka niatnya menunaikan ibadah haji bisa tercapai. Bersama istrinya, Hamsah (66), dia resmi terdaftar sebagai calon jamaah haji yang diberangkatkan tahun ini.
”Tidak menyangka kalau bisa berangkat haji tahun ini. Padahal dulu, jangankan mikir naik haji, untuk makan sehari-hari saja susah,” ujarnya, Kamis (18/8).
Ditemui Radar Sampit di rumah sederhananya dari kayu, Aberan bercerita tentang kenangan masa lalu. Tentang sulitnya kehidupannya dulu. Dia dan istri berasal dari Banjarmasin. Sekitar 1990, mereka merantau dan mengadu ke Palangka Raya.
Di Kota Cantik itu, dia sempat bekerja sebagai nelayan. Tetapi usahanya tersebut kurang berhasil. Sehingga akhir 1993 dia memutuskan untuk hijrah ke Sampit.
Pertama tiba di Sampit, Aberan dilanda kebingungan. Dia tidak mempunyai modal sepeser pun untuk membuka usaha. Semua pekerjaan serabutan dijalani. Sebagai penjaga di bangsau (pabrik kayu) dengan upah Rp 150 ribu sepekan pun pernah dilakukan.
Untuk tempat tinggal, dia hanya mampu menyewa sebuah barak sederhana yang terdiri dari satu ruangan berukuran 4x5 meter. Di ruangan tersebut semua aktivitas rumah tangga dilakukan. Mulai dari memasak, mencuci, makan, sampai tidur. Jika tiba waktu tidur, semua peralatan memasak maupun mencuci harus ditempatkan di luar, agar tersedia cukup tempat untuk dia, istri, dan kedua anaknya, beristirahat.
---------- SPLIT TEXT ----------
Satu hal yang dia pegang teguh. Aberan meyakini dia tak akan maju jika terus bekerja untuk orang lain. Dengan pemikiran itulah dia mulai mengumpulkan hasil kerja serabutan untuk membuka usaha sendiri.
Beruntung istrinya mahir mengolah aneka macam kue tradisional. Mereka pun memulai usaha sendiri. Awalnya tak mulus, tak sesuai harapan. Yang laku tak sebanyak sisa yang harus dibuang, atau terlanjur basi. Apalagi ketika krisis ekonomi, masyarakat cenderung berhemat.
”Saya berjualan kue sejak harga Rp 70 pada akhir 1993, itupun tidak banyak yang beli. Warga kebanyakan berhemat, karena waktu itu masih krisis. Untungnya, waktu itu sewa barak juga tidak terlalu mahal, cuma Rp 15 ribu sebulan. Jadi kami masih bisa bertahan menjalankan usaha jualan kue,” ungkap Aberan.
Pada 1995 usaha jualan kue itu membuahkan hasil. Mulai banyak yang membeli. Kebanyakan yang membeli kue buatannya tersebut adalah pekerja-pekerja bangsau, untuk sarapan atau cemilan saat istirahat siang.
Di malam hari dia bersama istrinya disibukkan dengan aktivitas membuat kue. Kemudian pukul 03:00 WIB sampai 09:00 WIB mereka akan menjajakannya di pasar-pasar tradisional dekat tempat tinggal.
Enam tahun lebih menyewa barak, Aberan akhirnya mampu membeli sebidang tanah untuk membangun rumah sendiri. Usahanya berjualan kue semakin lancar. Kue buatannya cukup terkenal di masyarakat pada waktu itu, lantaran rasanya yang enak dan tidak cepat basi. Pedagang lainnya pun banyak yang memesan kue buatan mereka untuk dijual di pasar.
”Dulu kan jarang orang yang bisa bikin kue ceper. Kalau mereka bikin, katanya, rasanya kurang pas dan cepat basi. Sedangkan punya kami kan tidak, kue bisa awet sampai dua hari. Makanya banyak yang minta dibikinkan,” kisahnya.
Usahanya sempat kembali mengalami penurunan karena perusahaan kayu banyak ditutup. Pekerja bangsau pun banyak yang pulang kampung atau mencari pekerjaan di tempat yang lain.
Untuk mempertahankan usahanya, Aberan harus menambah jam kerja dan memangkas jam istirahat di rumah. Dia mulai memasarkan kue-kuenya dari jam 22:00 sampai pagi sekitar pukul 09:00. Siangnya, dia dan istri sibuk membuat kue.
---------- SPLIT TEXT ----------
Dia harus bekerja lebih giat untuk membiayai kelima anaknya. Selain karena pelanggan setianya banyak yang sudah berpindah tempat, persaingan di pasar pun semakin ketat dengan bertambahnya penjual kue tradisional.
Tapi benar kata pepatah, rezeki tak akan ke mana. Setelah pelanggannya dari pekerja bangsau banyak pergi, Aberan mendapatkan pelanggan-pelanggan baru. Yang kebanyakan berasal dari pedagang kue keliling di perkebunan sawit. Dalam sehari bisa 2.000 sampai 3.000 biji kue yang laku terjual.
Sekarang untuk per satu kue dijual seharga Rp 1.500 sampai Rp 2.000. Keuntungan bisa sampai Rp 250 ribu sehari. Tapi itu masih dipotong untuk modal membuat kue selanjutnya. Untung bersihnya paling banyak yang ia bisa sisihkan sekitar Rp 100 ribu saja.
”Apalagi setelah anak-anak saya sudah dewasa, pekerjaan saya jadi lebih ringan. Mereka juga ikut bantu-bantu membuat dan menjajakan kue di pasar. Tanggungan saya juga sudah berkurang, sejak mereka sudah berkeluarga dan bisa mencari biaya hidup sendiri. Keuntungan dari jualan bisa saya sisihkan untuk ditabung,” ujar Aberan.
Sebenarnya, istrinyalah yang memiliki keinginan besar berhaji. Sedangkan Aberan merasa belum siap secara mental. Beberapa kali istrinya mengusulkan untuk menunaikan ibadah haji, dia menolak. Sampai akhirnya pada 2012 lalu, hatinya merasa terpanggil untuk segera menunaikan ibadah haji. Bermodalkan uang Rp 50 juta, dia dan istrinya mendaftar.
Sejak itu Aberan dan istri mulai menyisihkan sebagian uang mereka untuk melunasi biaya keberangkatan haji. Sayangnya sang istri, Hamsah, sempat terserang penyakit stoke dan mengalami kelumpuhan pada Mei lalu. Sehingga harus segera dirujuk ke rumah sakit di Banjarmasin untuk menjalani pengobatan.
Pengobatan tersebut memerlukan uang tidak sedikit. Aberan pun sempat kecewa karena sebagian besar tabungan mereka untuk bekal berangkat haji telah terpakai untuk biaya berobat.
Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya yang sudah terbentuk untuk menunaikan ibadah haji. Kembali, dia dan istri bekerja lebih giat mengumpulkan modal untuk perjalanan ke tanah suci. Dan tidak disangka-sangka mereka mendapat keistimewaan untuk berangkat haji lebih awal dari Kementerian Agama (Kemenag) Kotim. Di antara calon jamaah lanjut usia lainnya, dia dan istri dijadikan prioritas sehingga bisa berangkat tahun ini.
”Tidak menyangka juga bisa berangkat haji lebih awal, karena kalau dengar kabarnya itu minimal tujuh tahun baru bisa berangkat haji. Tapi kami baru empat tahun sudah bisa berangkat, rasanya senang sekali. Kalau untuk melunasi biaya haji, sisa tabungan saya masih cukup. Hanya saja untuk bekalnya di sana yang pas-pasan, tapi ini saja saya sudah senang karena mendapat prioritas dari Kemenag,” pungkasnya. (***/dwi)