PALANGKA RAYA – Tim Invetarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Tengah diberi waktu 3 bulan untuk melakukan langkah-langkah tidaklanjut pada program Kelompok Tani (Poktan) Dayak Misik, khususnya menyangkut inventarisasi lahan.
Ketua Dayak Misik Kalteng Siun Jarias menyebutkan, dalam tata ruang jumlah lahan yang diusulkan untuk diverifikasi seluas 1,8 juta hektare. Perkara nanti disetujui atau tidak luasan lahan yang diusulkan tersebut, semua terggantung BPN. Terpenting, ujarnya, lahan yang diusulkan tersebut segera diverifikasi.
“Kita desak mereka (BPN) melalui IP4T untuk kerja. Kami harapkan yang telah diminta ini segera ada tindaklanjut yang jelas,” kata Siun didampingi Sekretaris Dayak Misik Dagud H Djunas, Ketua Dewan Adat Dayak Kalteng Sabran Achmad dan tokoh masyarakat Lukas Tingkes, Jumat (9/9).
Ia menyebutkan, pihaknya telah mengeluarkan surat edaran terkait hal tersebut. Dalam surat itu, IP4T dIminta segera untuk melakukan tidanlanjut sesuai dengan kewenangannya sekaligus diinformasikan luas lokasi dan letak lokasi lahan yang digunakan untuk Dayak Misik ini.
Mala dari itu, pengurus Kelompok Tani Dayak Misik se-Kalteng diminta segera menyerahkan fotokopi Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) pada IP4T di wilayahnya masing-masing untuk segera ditindaklanjuti.
“Alasannya tidak mau kerja karena lahan yang dimaksud masuk (Hutan Produksi Terbatas) HPH dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK). Makanya kita bilang bagaimana caranya ini tidak terlalu cerewet permasalahannya. Jadi surat edaran ini tidak sembarangan kita buat. Ini dibuat karena kita melihat hingga sekarang tidak ada progres,” tuturnya.
Lebih lanjut Siun menjelaskan, keinginan agar program Dayak Misik ini segera jelas disebabkan pihaknya melihat perkembangan saat ini. Tidak sedikit lahan masyarakat yang diserobot investor. Realita saat ini sudah 258 desa di Kalteng yang 80-90 persen wilayahnya dikuasai oleh investasi, transmigrasi dan lain sebaginya.
“Mirisnya, banyak masyarakat yang kehilangan lahan akibat hal tersebut. Hal ini membuat orang dayak sebagai penduduk asli ibaratkan orang asing dirumah sendiri,” katanya lagi.
Tak sampai disitu saja, permasalahan ini yang kemudian memicu terjadinya kendala dalam penerapan program Dayak Misik. Sebut saja luasan lahan yang didapat. Jangankan untuk mendapat 5 hektare sesuai dengan program Dayak Misik, untuk mendapat 2 hektare pun sudah tidak mungkin lagi. Ini disebabkan tidak sedikit perusahaan yang melakukan investasi diluar areal dan masuk areal masyarakat.
“Masalah inilah yang kemudian muncul istilah pematokan lahan milik perusahaan. Padahal sebetulnya itu milik masyarakat. Masyarakatkan sudah lama tinggal di desa, sedangkan perusahaan hanya pendatang. Masa masyarakat yang dibilang mencaplok tanah perusahaan,” bebernya. (sho/vin)