PANGKALAN BUN – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotawaringin Barat kalah dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Rabu (19/4).
Ada tiga poin utama dalam putusan hakim Mantiko S.Moehtar. Yakni, menolak eksepsi termohon (Kejari) untuk seluruhnya, mengabulkan permohonan pemohon, dan menyatakan tindakan Kejari Kotawaringin Barat tidak sah dalam menghentikan penanganan perkara tipikor yang diinformaskan secara tertulis oleh pemohon tanggal 29 Maret 2016.
Sidang praperadilan digelar enam kali. Pihak pemohon adalah Ibram Alpandi, warga Kelurahan Baru Kecamatan Arsel Kabupaten Kotawaringin Barat.
Ibram mengajukan praperadilan berawal dari laporannya secara tertulis kepada Kejari Kobar, pada 29 Maret 2016. Laporan tersebut terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam pelaksanaan dua kontrak pekerjaan pada program kerja Dinas Pekerjaan Umum (DPU) sekarang Dinas PU dan Penataan Ruang tahun anggaran 2015 yang ditangani kontraktor CV Mitra Pradela. Bentuk pekerjaannya yakni pembangunan Jalan Poros Sido Mulyo –Sungai Kuning dan pekerjaan pembangunan jalan poros Sungai Pakit-Arga Mulya yang lokasinya berada di Kecamatan Pangkalan Banteng dengan nilai kontrak sekitar Rp 1,7 miliar.
Menurut Ibram, proyek ini dilaporkan secara tertulis ke Kejari Kotawaringin Barat. ”Sejak saya lapor sudah sekitar 11 bulan belum juga mendapat informasi. Tepatnya Februari 2017, saya menyurati Kejari meminta informasi tindaklanjut penanganan laporan saya, karena selama itu saya belum diberikan kabar,” beber Ibram.
Dalam surat tersebut Ibram menyatakan, dalam 10 hari tidak ada penjelasan atau informasi maka ia berniat mempraperadilankan institusi tersebut karena dianggap sudah dihentikan penanganannya. Satu pekan setelah berkirim surat, lalu Ibram mendapat informasi agar mengambil surat ke kejari. Pada saat surat itu sampai ke tangan Ibram, ternyata surat tersebut tertanggal 18 Agustus 2016, tanpa ada register.
”Dari sini sudah janggal, surat tertanggal 18 Agustus 2016, kok baru diinformasikan ke saya Februari 2017 itupun setelah saya menyurati dan suratnya tidak ada registernya pula,” tegas Ibram.
Dalam surat Kejari tersebut isinya menyatakan hasil pengecekan pihak kejaksaan tidak ditemukan adanya penyimpangan. Dalam prosedur penghentian kasus yang dilaporkan Ibram ini dianggapnya menyalahi aturan dan tidak sah. Selain itu Ibram juga menganggap bahwa laporannya terkesan diremehkan.
Ia mencontohkan bahwa bukti atau dokumen pengecekan di lapangan, kemudian klarifikasi atau wawancara dengan pihak-pihak terkait semuanya tertulis di tanggal 15 Juli 2016, termasuk juga sprintug (surat perintah tugas). Hal inipun menurut hakim dalam persidangan dianggap tidak lazim.
Sementara atas putusan hakim praperadilan ini, pihak kejari akan mengajukan banding, karena menganggap bahwa putusan tersebut tidak sesuai dengan pasal 1 angka 10 dan pasal 77 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Dalam aturan disebutkan bahwa Pengadilan Negeri kewenangannya dalam memeriksa dan memutus praperadilan adalah terkait, sah atau tidaknya perihal penangkapan, penahanan atau penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Sementara dalam persoalan ini dianggap belum memasuki ke tingkat penyidikan. (sam/yit)