SAMPIT – Rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kotim terkait pelayanan di RSUD dr Murjani Sampit membongkar rekam jejak hitam pelayanan di rumah sakit terbesar di Bumi Habaring Hurung itu, Jumat (5/1). Bahkan, disebut-sebut ada rencana pasien menggugat secara pidana manajemen rumah sakit.
Hal itu diungkap anggota Komisi III DPRD Kotim Dadang H Syamsu. Dalam forum rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Kotim Supriadi dan Ketua Komisi III Rimbun itu, Dadang mengecam buruknya pelayanan medis belakangan ini. Menurut Dadang, keluarganya ikut jadi korban akibat hal tersebut.
Dadang mengungkapkan, ada pasien yang dalam kurun waktu 48 jam tidak ada tindakan medis, akhirnya meninggal dunia. Hal itu terjadi sebelum pihaknya menggelar RDP. Karena itu, pihak keluarga pasien rencananya akan melakukan upaya hukum terhadap jajaran manajemen.
”Awalnya disuruh puasa untuk USG (ultrasonografi), tapi dalam kurun waktu 48 jam tidak ada penanganan. Datang perawat ngomong, belum ada dokternya dan tidak berani menelepon (dokter bersangkutan), takut dokternya ngambek. Nah, di sini sudah ada yang main-main dengan nyawa manusia,” ujar Dadang H Syamsu.
Dia menegaskan, RSUD Murjani merupakan instansi pelayanan publik. Karena itu, siapa pun yang bekerja di situ wajib memberikan pelayanan. Instansi itu tidak mengenal adanya libur.
”Dokter punya hak cuti, tapi masyarakat juga ada hak mendapatkan pelayanan kesehatan. Tapi, bagaimana agar hak masyarakat dan dokter ini bisa ada titik temunya,” kata Dadang.
Dadang mengungkapkan adanya konflik internal di rumah sakit yang mengorbankan pelayanan kepada pasien. Hal itu dia dengar langsung dari dokter spesialis yang mengeluhkan masalah tersebut padanya.
”Jadi, di sini ada konflik juga antara manajemen dan dokter spesialisnya, sehingga ada konflik ini. Akibatnya dokter ngambek. Mereka bekerja tidak lagi nyaman,” katanya.
Hal yang menambah berang kalangan legislator adalah pernyataan manajemen rumah sakit soal kebijakan DPRD memangkas anggaran RSUD Murjani sekitar Rp 5 miliar. Hal itu disampaikan Wakil Direktur Bagian Pelayanan Yudha Herlambang.
Dadang pun mengecam hal tersebut. ”Tak etis memunculkan pembicaraan soal anggaran yang sudah disetujui dan disepakati antara Bupati dan DPRD di ruangan ini,” tegas Dadang.
Ketua Komisi III Rimbun menegaskan, pemangkasan anggaran sudah dipikirkan secara matang. Justru pihaknya merasa tidak masalah memangkas, apalagi melihat potret pelayanan rumah sakit di penghujung tahun yang membuat publik geger.
Pengalaman memilukan juga diungkap anggota DPRD Kotim lainnya, Sutik. Dia mengaku kecewa pada pelayanan rumah sakit saat orangtuanya dirujuk ke RSUD dr Murjani Sampit. Hal itu mengakibatkan orangtuanya meninggal dunia. Sutik tak bisa menahan tangis. Air matanya keluar mengingat memori memilukan itu.
”Waktu itu pihak rumah sakit kurang memberikan pelayanan yang terbaik, sehingga saya harus kehilangan orangtua saya. Saya mohon, jangan ada lagi pelayanan seperti itu terhadap semua pasien yang ada di situ,” ungkapnya.
Jadi Bulan-bulanan
Pelaksanaan RDP itu seolah jadi ajang ”penghakiman” terhadap manajemen RSUD. Mereka tak berkutik dicecar berbagai pernyataan dan kecaman dari para legislator. Ironisnya, jajaran manajemen rumah sakit justru mengkambinghitamkan pemberitaan media. Mereka mengaku dirugikan dengan citra buruk yang muncul akibat pemberitaan miring.
Jajaran manajemen rumah sakit juga tak berupaya membantah sejumlah pernyataan anggota DPRD yang memberatkan rumah sakit itu, termasuk soal adanya pasien yang meninggal akibat 48 jam tanpa penanganan. Bahkan, muncul usulan agar legislatif mengawasi pemberitaan di media.
Anggota DPRD Kotim pun lansung bereaksi keras. ”Tak sepakat saya kalau hal semacam ini mau salahkan media. Itu fakta kok yang disampaikan. Justru seharusnya jadi kritik bagi RSUD, bukannya dipandang sebagai hal yang seperti itu,” kata Dani Rakhman, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kotim.
Anggota Fraksi Gerindra Jainudin Karim mengatakan, pusat informasi di RSUD itu terkesan tidak berjalan. ”Apabila ada pemberitaan, seharusnya manajemen dan pegawainya harus tanggap. Jelaskan segala sesuatunya secara terbuka dan transparan,” kata dia.
Sementara itu, Dadang menegaskan, buruknya pelayanan di RSUD dr Murjani Sampit sudah diketahui publik. Apalagi ketika ada cuti berjamaah sejumlah dokter spesialis menjelang akhir tahun 2017.
”Saya prihatin dengan manajemen, justru menyalahkan media. Pers itu adalah pilar demokrasi dan untuk menyambung informasi. Justru kami berterima kasih kepada media berani menyuarakan masalah. Apabila ada sanggahan, ada hak jawab. Ya, itu digunakan. Bukan menyalahkan media. Presiden saja tidak berhak intervensi. Jadi, salah kalau kami disuruh mengawasi media juga,” kata Dadang.
Rapat yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB itu menyoroti sejumlah masalah, di antaranya cuti berjamaah dokter yang belakangan ini mengakibatkan pelayanan terganggu, pemanfaatan fasilitas RSUD, dan tindak lanjut pelayanan medis terhadap pasien yang berujung pada pengaduan warga ke lembaga tersebut.
Direktur RSUD dr Murjani Sampit Denny Muda Pradana berjanji akan menjadikan semua yang disampaikan DPRD Kotim itu sebagai bahan evaluasi. Selain itu, akan meningkatkan pelayanan, terutama kualitas komunikasi seluruh tenaga kesehatan. Mengenai cuti bersamaan saat hari besar juga jadi bahan evaluasi dan tak akan terulang lagi.
Rapat yang berlangsung sampai menjelang malam itu membuahkan beberapa keputusan atau rekomendasi. Ada sembilan poin (lihat grafis) yang ditegaskan DPRD Kotim agar dilaksanakan demi perbaikan pelayanan rumah sakit itu.
”Kami minta rekomendasi ini segera ditindaklanjuti pemerintah daerah. Nanti bisa berkoordinasi dengan pihak rumah sakit,” kata Supriadi.
Sorotan terhadap RSUD dr Murjani Sampit yang berujung digelarnya RDP terjadi sejak akhir tahun lalu. Pelayanan kesehatan di RSUD dr Murjani Sampit tak maksimal karena sejumlah poli yang tutup dan baru buka 2 Januari 2018. Publik menuding sejumlah tenaga kesehatan mengorbankan rakyat hanya untuk merayakan tahun baru.
Kekecewaan publik dilampiaskan di media sosial. Facebook menjadi wadah warga mengecam buruknya pelayanan akhir tahun di rumah sakit terbesar di Kotim itu. Foto surat edaran tentang kebijakan libur Natal dan Tahun Baru yang diunggah warganet, dikritik keras. Cuti berjamaah tak seharusnya dilakukan pada pelayanan vital. Sejumlah warga mengaku tak mendapat pelayanan maksimal.
Rumah sakit itu kian jadi sorotan setelah pada Rabu (3/1) lalu, pasangan suami istri, Johansyah (27) dan Ambarina (17), kesulitan membawa pulang jenazah bayi mereka. Musababnya, warga tak mampu itu tidak bisa membayar biaya administrasi sebesar Rp 5 juta yang diminta pihak rumah sakit.
”Kami berdua ini hanya orang miskin. Orang tak mampu. Apalagi sampai bayar sebesar Rp 5 juta. Padahal, sebelumnya saya sudah membawa surat keterangan tidak mampu, namun ditolak karena tanggal atau waktunya disebut sudah kedaluwarsa atau tidak aktif lagi. Saya pun pergi untuk mengurus BPJS, tapi pihak BPJS juga tidak bisa membantu,” ujar Johansyah kepada Radar Sampit saat itu. (ang/rm-85/ign)