SAMPIT – Pembukaan sosialisasi tentang verifikasi dan validasi data terpadu penanganan fakir miskin serta bimbingan teknis basis data terpadu bagi petugas verifikasi dan validasi di Hotel Werra Sampit hampir ricuh. Penyebabnya, data 2015 dianggap tidak valid, namun tetap dijadikan acuan.
Informasi dihimpun Radar Sampit, ratusan kepala desa dan lurah sekabupaten Kotim diundang untuk mengikuti sosialisasi yang digelar Dinas Sosial Kotim. Narasumber pada kegiatan tersebut adalah Kepala Biro Badan Pusat Statistik (BPS) Kotim M Guntur. Pada saat Guntur memaparkan mengenai data fakir miskin tahun 2015, ada beberapa kepala desa langsung protes karena data dianggap tidak valid.
Suasana sempat memanas karena data 2015 sering dijadikan acuan untuk menyalurkan bantuan kepada fakir miskin. Kades sering jadi sasaran kekesalan warga miskin yang tidak terdata. Kepala desa tidak bisa berbuat banyak karena bukan mereka yang melakukan pendataan di lapangan, melainkan petugas dari BPS.
”Data 2015 itu tidak valid dan terkesan mengada-ada, tapi data itu terus dipakai padahal data fakir miskin setiap tahun pasti berubah. Kenapa data 2015 itu dipakai,” tanya Ketua Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Kotim Rusdiansyah saat sosialisasi di Hotel Werra, Senin (5/3).
Rusdi menegaskan, setiap pelaksanaan sensus penduduk terutama untuk mendata warga fakir miskin, BPS tidak melibatkan aparatur desa bahkan ketua RT/RW, sehingga data di lapangan terkesan serampangan alias tidak valid.
”Kami ini sering ditanya warga, kenapa yang mampu justru mendapat bantuan sedangkan betul-betul miskin tidak merima bantuan. Lalu apa yang kami bilang kepada warga, itu data dari statistik bukan dari desa,” tegas Rusdi dan didukung seluruh kades yang hadir pada acara tersebut.
Senada disampaikan Kepala Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Telaga Antang, Wawan Ismanto. Dia mengungkapkan akibat data tidak valid dari BPS ada salah seorang kepala sekolah dasar berstatus pegawai negeri justru menerima bantuan dari pemerintah.
“Kami juga bingung kenapa tiap tahun data warga desa yang miskin di tempat kami turun dan tanpa kami ketahui. Bahkan ada Kepala SDN Telaga Antang yang sudah PNS, menerima bantuan. Terus terang, untuk program ranstra kami tidak mau ambil risiko karena data yang kami terima sudah tidak valid, kami harapkan data itu segera direvisi,” saran Wawan.
Ketua Apdesi Kecamatan Mentaya Hilir Utara (MHU) Tediansyah mengatakan, memang ada petugas dari BPS yang turun ke desa untuk melakukan pendataan warga.
“Memang ada sebagian petugas yang langsung turun ke lapangan, mereka ada yang melibatkan langsung aparatur desa dan ketua RT/RW namun ada juga petugas yang tidak melibatkan aparatur desa maupun ketua RT/RW. Inilah kadang-kadang data bisa tidak valid,” ujarnya yang juga menjabat Kepala Desa Bagendang Kecamatan MHU ini.
Terkait berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh Apdesi dan kepala desa, Kepala Biro BPS Kotim M Guntur menyampaikan bahwa pihaknya sudah menjalankan tugas sesuai dengan standar operasional prosedur, yakni mengutus petugas untuk melakukan pendataan di lapangan.
Sebelum ditugaskan ke lapangan, petugas sudah dilatih teknis mendata penduduk. Selain itu, BPS juga telah mengadakan konsultasi publik turun ke tiap desa. Konsultasi publik itu bertujuan untuk memberikan kesempatan baik kepada aparatur desa maupun RT mengusulkan nama warga miskin.
“Saya sepakat data fakir miskin itu seharusnya diupadate setiap tahun, tapi kami dari BPS hanya diberi waktu beberapa tahun sekali untuk melakukan update data,” terangnya.
Proses untuk pendataan penduduk cukup panjang, misalnya mengadakan konsultasi publik dan mengutus petugas mendata langsung ke lapangan. Tidak sampai di situ, petugas kembali melakukan verifikasi data dan nanti data itu juga diusulkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. (fin/yit)