NANGA BULIK – Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran telah menerima laporan terkait sengketa lahan antara PT Satria Hupasarana (SHS) dengan masyarakat Desa Bukit Raya, Kecamatan Menthobi Raya. Lahan transmigrasi dan lahan warga setempat disebut-sebut dicaplok pihak perusahaan.
Setelah melalui beberapa kali sidang dan banding hingga kasasi, sampai keluarnya keputusan Mahkamah Agung, putusan tersebut tidak juga segera dieksekusi. Karena itu, Sugianto berkunjung ke Lamandau. Dia langsung mencak-mencak melihat adanya spanduk yang dipasang warga di pintu masuk kebun perusahaan PT SHS.
”Saya meminta PT SHS stop beroperasi dulu! Kalau masih berani, kami tindak. Tunggu sampai pemiliknya datang dan bisa menyelesaikan masalah ini,” tegas Sugianto Sabran saat di pintu masuk PT SHS yang disegel warga.
Saat itu Sugianto menelepon seseorang dari ponselnya dan menegaskan kepada seseorang di sambungan telepon, agar tidak membela perusahaan dan segera menuntaskan masalah tersebut.
Gubernur tampak berang, karena di gerbang perusahaan tersebut ada beberapa baliho dipasang warga. Baliho itu berlatar belakang putih itu berisi putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor : 2979K/Pdt/2013.
Isinya, menolak permohonan kasasi dari pemohon PT Satria Hupasarana, menghukum pemohon kasasi/penggugat/terbanding, untuk membayar biaya perkara tingkat kasasi sebesar Rp 500 ribu.
Di bawanya ada spanduk lebih kecil, bertuliskan Dalam Konvensi dan Rekonvensi. Isinya, menimbang , bahwa oleh karena eksepsi tergugat/pembanding diterima, pihak penggugat/terbanding (PT Satria Hupasarana) berada dalam posisi di pihak yang kalah; menimbang, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, putusan PN Pangkalan Bun Nomor 09/Pdt.G/2012/PN. Pbun tanggal 9 Agustus 2012, tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan.
Di spanduk yang lebih dekat dengan jalan raya juga ada yang bertulis, ”Dalam Rekonvensi”. Isinya, menghukum, tergugat rekonvensi (PT SHS) atau siapa pun yang mendapat hak daripadanya untuk menyerahkan lahan yang dikuasainya secara melawan hukum kepada penggugat rekonvensi (desa bukit raya) tanpa syarat apapun.
Kemudian, menghukum, tergugat rekonvensi (PT SHS) untuk membayar ganti rugi kepada rekonvensi (Desa Bukit Raya), serta menyatakan putusan itu dapat dilaksanakan secara serta merta (uit voer baar bij voon ad), walaupun tergugat rekonvensi (PT SHS) menyatakan banding atau kasasi.
”Masalah ini akan kami selesaikan. Justru saya mau ketemu. Saya akan minta Pak Kapolres untuk menahan CPO-nya, supaya pemiliknya datang,” tegas Sugian.
Masalah itu memang cukup berlarut-larut, walau belakangan sempat mencuat kembali setelah adanya aksi masyarakat yang meminta perusahaan tidak beroperasi, khususnya di lahan sengketa. Pemkab Lamandau dianggap tidak tegas dan membiarkan PT SHS terus beroperasi di areal sengketa tersebut.
Karena itu, pada 24 Mei 2018, sejumlah warga perwakilan Desa Bukit Raya dan Bukit Makmur, Kecamatan Menthobi Raya serta Desa Bunut, Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau, mendatangi Gedung Bareskrim Polri Jakarta Pusat, melaporkan dugaan pelanggaran hukum oleh PT Gemareksa Mekarsari dan PT Satria Hupa Sarana (SHS).
Dugaan pelanggaran hukum oleh PT Gemareksa Mekarsari dan PT SHS merujuk pada penggarapan hutan yang tidak prosedural, penyerobotan lahan eks-transmigran, dan penipuan kemitraan dengan petani plasma yang justru lahan plasma tersebut dinilai sebagai lahan inti perusahaan.
”Saya harap kedatangan Gubernur di lokasi bisa membantu sengketa lahan masyarakat dengan perusahaan yang sudah sangat berlarut-larut ini,” harap H Burhan, salah seorang warga yang selama getol menggiring permasalahan tersebut. (mex/ign)