SAMPIT – Ancaman bencana kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) di depan mata. Dalam sepekan terakhir, wilayah seputar Kota Sampit diwarnai kebakaran lahan. Pemerintah dan lembaga lainnya bersiap menggempur api, mencegah terulangnya bencana seperti 2015 silam.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotim mencatat, sebanyak 50 desa yang tersebar 14 kecamatan, rawan karhutla. Curah hujan yang menurun drastis membuat potensi kebakaran lahan kian besar.
Kondisi yang kering membuat api berpeluang membakar hutan Kotim yang tercatat seluas 1.554.456,95 hektare. Selain itu, Kotim juga memiliki 502.597,9 hektare lahan gambut. Gambut mudah terbakar saat kemarau. Kebakaran di lahan itu juga sulit dipadamkan.
Luasan hutan dan lahan yang rawan terbakar itu tak sebanding dengan jumlah personel yang siap diterjunkan memadamkan api, yakni sebanyak 59 orang. Mereka merupakan anggota Pos Siaga Darurat Karhutla dari berbagai instansi (lihat infografis). Garda terdepan pasukan penggempur api.
Dari pengalaman sebelumnya, pemadaman kebakaran hutan dan lahan oleh tim darat hanya bisa dilakukan pada daerah yang terjangkau. Untuk wilayah yang jauh di dalam hutan, meminta bantuan helikopter pengebom air.
Minimnya jumlah personel yang siaga itu berkaitan dengan anggaran yang juga terbatas. Pemkab Kotim mengalokasikan dana sebesar Rp 1,9 miliar tahun ini. Dana itu akan digunakan selama Pos Komando Siaga dan Tanggap Darurat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang dipusatkan di Museum Kayu Sampit beroperasi.
Kepala Pelaksana BPBD Kotim M Yusuf mengatakan, pihaknya telah berupaya mencegah kabut asap melalui aksi. Selain penetapan status siaga darurat, juga terjun ke lapangan, bertatap muka dengan masyarakat untuk sosialisasi mengenai larangan membuka lahan dengan cara membakar.
”Dari Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan sudah melakukan sosialisasi per desa. Kerja sama dengan perkebunan, penyadartahuan pencegahan karhutla,” katanya, Selasa (17/7).
Selain itu, lanjutnya, masyarakat juga dilibatkan dengan pembentukan masyarakat peduli api (MPA) di 17 kecamatan dan barisan sukarelawan kebakaran dan bencana (balakarcana).
Peralatan dan fasilitas untuk menunjang pemadaman juga disiapkan, di antaranya sumur bor, pembuatan embung, pengadaan motor, dan motor roda tiga. Kemudian, patroli ke kecamatan dan desa, memantau titik panas, pemadaman darat dan udara jika terjadi kebakaran.
Menurut Yusuf, sejak awal 2018, terpantau 20 titik panas di Kotim. Dalam dua bulan terakhir terjadi peningkatan. Pada Juni hanya terpantau 2 titik panas di Kecamatan Telawang, sementara di Juli ini meningkat jadi 5 titik panas yang tersebar di Parenggean, Telawang, Cempaga Hulu, dan Mentaya Hilir Selatan.
”Terjadi peningkatan bulan ini dan ada 24 kebakaran yang terjadi. Saat kemarau yang diperkirakan puncaknya pada pertengahan Agustus 2018 nanti, lahan gambut di Kotim sangat rawan terbakar,” katanya.
Upaya pemadaman, lanjutnya, dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari manual menggunakan ranting pepohonan dan mengerahkan peralatan seadanya milik instansi terkait. Hanya saja, alat yang dimiliki masih terbatas.
”Penanggulangan karhutla dengan pemadaman titik-titik api dilakukan sedini mungkin. Bekerja sama dengan unsur TNI dan Polri, dengan mengerahkan sumber daya yang ada di masyarakat dalam kendali pemerintah daerah,” ujarnya.
Pemkab Kotim, lanjutnya, telah menetapkan status siaga darurat karhutla sejak 16 Juli lalu. Status siaga itu akan terus berlangsung selama 120 hari atau empat bulan.
Curah Hujan Minim
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Bandara H Asan Sampit memprediksi, puncak kemarau terjadi Agustus mendatang. Curah hujan cenderung sedikit, sehingga rawan terjadi karhutla, terutama di daerah gambut, termasuk di seputar Kota Sampit.
Kepala Kelompok Teknisi BMKG Stasiun Bandara H Asan Sampit Rahmat Wahidin Abdi menjelaskan, saat ini sedang masuk masa transisi antara musim hujan ke musim kemarau. Musim kemarau diprediksi dimulai akhir Juli.
”Saat ini sedang masuk dalam kondisi cuaca transisi. Dalam sepekan terakhir ini terjadi panas dan minim sekali hujan. Curah hujan sudah mulai menurun dibandingkan sebelumnya,” ujar Abdi, Senin (16/7).
Menurut Abdi, pada September masih masuk musim kemarau dengan curah hujan yang mulai meningkat. Namun, hujan belum bisa diandalkan memadamkan kebakaran. Hal itu sudah disampaikan ke Pemkab Kotim agar bisa mengantisipasi kemungkinan karhutla yang marak.
”Dengan penanganan cepat dilakukan, diharapkan tidak semakin memperburuk kondisi wilayah,” ujarnya. (mir/dc/ign)