KOTA yang awalnya penuh keindahan itu seketika hancur ketika diguncang bencana. Gempa berkekuatan 7,4 SR, disusul tsunami meluluhlantakkannya. Radar Sampit berada di tengah bencana mengerikan itu. Berikut tulisannya.
DESI WULANDARI, Sampit
Jadwal liburan saya sebenarnya sudah hampir usai. Awal pekan depannya saya sudah harus masuk kerja. Pagi itu, Jumat (28/9), tidak ada agenda jalan-jalan. Saya hanya bersantai di penginapan.
Sore hari, saya berniat jalan-jalan ke Bukit Silae, untuk menikmati indahnya Kota Palu dari ketinggian. Malam hari, rencananya akan menyaksikan pembukaan festival budaya Palu Nomoni, agenda tahunan yang sudah dilaksanakan tiga tahun terakhir di kota yang dipimpin Hidayat dan Sigit Purnomo Said itu.
Selain bersantai di atas bukit, sore itu saya juga berniat membayar tiket pulang yang sudah saya pesan pagi harinya. Sebelum menit-menit menegangkan itu terjadi (gempa terjadi sekitar pukul 18.02 WITA), saya bersama seorang kawan baru sekitar 15 menit meninggalkan penginapan menuju ke Bukit Silae.
Beberapa jam sebelum bencana besar itu, sekitar pukul 14.00 WITA, gempa sempat terjadi satu kali. Namun skalanya kecil. Berdasarkan informasi rekan saya, sepekan terakhir Palu beberapa kali digoyang gempa. Warga setempat sudah terbiasa dengan gempa dengan kekuatan kecil itu.
Sebelum kejadian, perasaan tidak enak sebenarnya sudah menyergap saya sejak siang. Langit Palu sore itu berbeda dibandingkan hari-hari sebelumnya. Tak ada yang menyangka bencana besar menguncang usai adzan salat Magrib berkumandang sore itu.
Di tengah perjalanan menuju Bukit Silae, untuk pertama kalinya saya merasa bumi berguncang. Pertama saya merasakan motor yang sulit dikendalikan. Seolah saya mengendarai motor di atas air yang bergelombang.
Kami seolah dibawa ke atas, ke bawah, ke kiri, dan ke kanan. Tak terkendali. Khawatir kejadian lebih parah, saya berusaha sekuat tenaga menguasai sepeda motor dan menghentikannya.
Akan tetapi, karena motor masih bergerak terbawa gempa, membuat saya terpaksa menjatuhkan sepeda motor ke arah kanan. Getaran gempa yang masih kuat saat itu, membuat saya tak bisa berdiri. Saya terduduk sambil berpegangan pada sepeda motor.
Suasana sekeliling saya kacau. Pohon bergoyang, pagar roboh, etalase tempat orang berjualan terbanting ke tengah jalan. Tangisan dan teriakan orang-orang bergema di berbagai penjuru.
Orang-orang berhamburan di jalanan. Ketika guncangan berakhir, saya berupaya mendirikan motor. Beberapa menit setelahnya, tiba-tiba orang-orang dari arah pantai berteriak. Mereka menyebut ada tsunami. Saya langsung bergegas memutar arah sepeda motor dan mengikuti warga yang berlarian menuju ke atas bukit.
Di atas bukit, saya mencoba mencari tempat aman. Pergi ke tanah lapang. Lima menit setelahnya, saya yang berusaha menghubungi keluarga kesulitan. Akses listrik dan jaringan komunikasi tidak berfungsi.
Di tengah kepanikan itu, gempa susulan beberapa kali terasa dengan skala yang kecil. Saya terus berdoa dan berusaha agar tetap tenang menghadapi situasi di tengah bencana itu.
Kondisi di atas bukit semakin gelap dan mencekam. Ancaman gempa susulan bisa terjadi kapan saja. Posisi saya memang di dataran tinggi, namun lokasinya dekat dengan pantai. Hal itu membuat saya tetap waspada.
Suasana malam semakin riuh. Orang tua berteriak mencari anaknya, suami berteriak mencari istrinya, dan sebaliknya. Ada yang diangkat karena luka dan pingsan. Bahkan, ada yang nekat kembali ke rumah menerjang air untuk mencari anaknya.
Tangis pecah di mana-mana. Doa silih berganti berkumandang dari mulut ke mulut. Bahkan, ada yang salat di tengah tanah lapang.
Tanah beberapa kali terus bergoyang. Dentuman di perut bumi begitu terasa di telapak kaki. Para pekerja di Palu Grand Mall juga banyak yang datang ke atas bukit dengan kondisi basah. Sebagian luka-luka.
Posisi Bukit Silae memang cukup dekat dengan kawasan pantai, sehingga orang-orang yang berlarian dari arah pantai, semua datang menyelamatkan diri ke bukit tersebut.
Pikiran saya menerawang. Situasi di depan saya persis seperti yang saya lihat di televisi saat gempa di Lombok terjadi. Orang-orang ketakutan pada gempa susulan dan berusaha mencari sanak keluarganya.
Sekitar pukul 21.00 WITA, saat kondisi mulai sedikit aman, saya mencoba turun dari bukit dan berusaha kembali ke penginapan. Namun, ternyata jalan kembali ke penginapan terputus. Tanahnya ambruk. Karena terbatasnya penerangan, saya memutuskan kembali ke bukit, menunggu pagi untuk kembali ke penginapan.
Saat kembali ke bukit, posisi saya sedikit ke arah tengah. Orang Palu menyebutnya Bukit Padang Jese. Tanah lapang di bukit itu sudah dikerumuni warga yang mengungsi. Hanya beralaskan kertas, saya mengamati Kota Palu dari ketinggian. Kepulan asap dan api yang menyala, terlihat dari kejauhan, menghanguskan permukiman di tengah kota.
Sekitar pukul 23.00 WITA, saya melihat air naik di tengah kota. Kobaran api juga terus melahap permukiman. Kendaraan sibuk lalu lalang. Saya hanya bisa menyaksikan hancurnya Kota Palu malam itu.
Keesokan harinya, sekitar pukul 06.00 WITA, saya memutuskan turun ke kota, kembali ke penginapan. Hari sudah mulai terang. Jalanan sudah ramai dengan manusia. Rata-rata mereka tidur di teras depan rumahnya.
Saya memberanikan diri melihat lokasi perumahan yang terbakar. Ternyata, daerah itu merupakan kawasan Perumahan Nasional Balaroa. Ribuan rumah ambruk, terbenam dalam perut bumi, dan terbakar.
Saya tidak berani begitu lama di kawasan itu. Khawatir ada gempa susulan. Saya memutuskan mencari jalan kembali ke penginapan. Sepanjang jalan kembali, hampir setiap meter jalanan Kota Palu terbelah, terangkat, dan ambruk. Beberapa akses jalan terputus. Gempa dan tsunami juga membuat jembatan turun, tiang listrik bertumbangan.
Namun, saya bersyukur, penginapan saya tidak mengalami kerusakan parah. Saya bergegas mengemas pakaian di dalam kamar di tengah kecemasan, takut terjadi gempa susulan. Apalagi kamar saya berada di lantai dua.
Untuk mengamankan diri, untuk sementara waktu saya memutuskan mengungsi ke rumah teman saya hingga situasi kembali kondusif, sembari menunggu penerbangan normal dan kembali ke Kotim. Sepekan terkurung di Palu, cukup membuat saya belajar banyak hal dalam menyikapi kondisi di tengah bencana. (***/bersambung)