SAMPIT – Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) tak hanya menguras energi petugas gabungan yang jadi garda terdepan menggempur api. Mereka juga mempertaruhkan nyawa karena situasi kebakaran tak bisa diduga.
Junaidi (35), petugas pemadam dari Manggala Agni menuturkan, pemadaman yang dilakukan memiliki risiko besar. Selain bisa menyebabkan kecelakaan, petugas juga berpotensi terlibat konflik dengan satwa liar.
Selain itu, banyaknya pohon yang ikut terbakar, membuatnya bias tumbang setiap saat dan mengenai petugas. ”Hal tersebut merupakan risiko kami di lapangan. Alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada yang terkena musibah,” tutur Junaidi.
Junaidi dan sejumlah rekannya beberapa hari ini sibuk menggempur api di Desa Eka Bahurui. Sudah lima hari ini api belum padam sepenuhnya sejak Kebakaran yang terjadi sejak Kamis (25/7) lalu. Luasan lahan yang terbakar diperkirakan mencapai 20 hektare.
Puluhan petugas gabungan dari TNI, Polri, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotim berbagi peran. Ada yang membuat embung air dan membawa perlengkapan pemadaman, seperti selang serta mesin pompa air.
”Dengan adanya embung air ini, paling tidak memudahkan petugas melakukan pemadaman,” kata salah seorang anggota BPBD.
Di sisi lain, lahan yang terbakar di kawasan itu memproduksi asap tebal yang beberapa hari terakhir ini bisa dirasakan masyarakat, terutama saat malam hari. Asap yang menyelimuti Sampit diduga sebagai akumulasi karhutla di sejumlah titik di Kotim. Sebagian lahan terbakar berada di lokasi yang sulit dijangkau.
Kapolsek Ketapang AKP Wiwin Junianto Supriyadi ikut turun langsung ke lapangan. Dia melakukan pengecekan serta melihat langsung dengan kondisi hutan dan lahan yang terus terbakar.
”Lahan yang terbakar merupakan lahan gambut, sehingga sulit dipadamkan. Untuk kasus ini, tentu akan kami proses lebih lanjut. Apakah ada unsur kesengajaan atau sebaliknya,” kata Wiwin.
Terpisah, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kotim Yephi Hartadi mengatakan, kebakaran yang ditangani belum tuntas sepenuhnya. Gerak api yang sempat menjauh dari akses jalan, masih bisa dijangkau petugas.
”Minggu (28/7) lalu, petugas kesulitan mencari titik api. Informasi petugas di lapangan, saat ini kepala api sudah bisa dijangkau,” katanya.
Yephi menambahkan, sebanyak tujuh titik panas terdeteksi di Kotim, di antaranya di Desa Eka Bahurui, Desa Bapanggang, dan Desa Bagendang Hilir. ”Untuk di Desa Bagendang, ada lima hot spot. Saat ini anggota masih di lapangan untuk melakukan pengecekan,” ujarnya.
Bertambah
Sementara itu, Pemkab Kotim mengkhawatirkan karhutla yang terus meluas. Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kotim Halikinnor mengatakan, pihaknya berencana menambah anggaran untuk penanganan karhutla dalam APBD Perubahan 2019.
”Jujur saya akui, kebakaran hutan dan lahan ini jadi beban bersama. Bagaimana caranya agar tidak terjadi di tahun ini, apalagi prediksi kemarau ini panjang. Maka dari itu, saya rencananya hari ini mau ketemu BPBD untuk menanyakan soal ketersediaan anggaran untuk mencegahnya seminimal mungkin,” kata Halikin.
Pemkab Kotim sebelumnya telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2 miliar untuk menangani kebakaran hutan dan lahan tahun ini. Dana yang diposkan di BPBD Kotim tersebut lebih besar dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp 1 miliar.
Halikin mengaku sudah melihat lokasi titik api di Desa Eka Bahurui. Potensi kebakaran di wilayah itu masih besar. ”Saya melihat memang ada yang sengaja dibakar, makanya aparat juga saya minta menelusurinya,” kata dia.
Dia menegaskan, akan berupaya dengan segala sumber daya yang ada agar tragedi asap tahun 2015 silam tak terulang. Sebab, dampaknya buruknya sangat besar bagi daerah. Daya rusak asap begitu tinggi untuk segala sendi, termasuk perekonomian, kesehatan, pendidikan, dan sosial.
”Masyarakat di sekitar lokasi kalau sudah tidak mampu menangani itu (karhutla, Red), segera telepon damkar. Pasti akan dibantu memadamkannya,” ujarnya.
Halikin telah menginstruksikan seluruh perusahaan perkebunan agar membantu masyarakat sekitar memadamkan lahannya. Perusahaan diminta tak hanya fokus pada titik api yang muncul di areal konsesinya.
”Mereka punya tanggung jawab juga, terutama di sekitar perusahaan sekitar, karena tidak mungkin BPBD dan tim terjun ke lokasi kalau lokasinya di pelosok,” katanya.
Selain itu, lanjut Halikin, Pemkab Kotim secara resmi juga sudah bersurat ke pemerintah pusat untuk meminta bantuan helikopter pengebom air. ”Semoga usulan kami dapat respons positif dan direalisasikan untuk memadamkan titik api di Kotim,” harapnya.
Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Kotim Abdul Kadir meminta Pemkab Kotim semaksimal mungkin mencegah kebakaran hutan dan lahan. Dia tidak ingin Kotim dikenal sebagai sumber asap di Kalteng. Hal itu sama saja memperlihatkan kegagalan dalam penanganan dan pencegahan karhutla.
Abdul Kadir mengatakan, anggaran untuk pencegahan tentunya akan disetujui DPRD Kotim. Apalagi jika ada jaminan pemkab bisa menekan seminimal mungkin kebakaran tersebut.
Enam Tersangka
Selain pemadaman di lapangan, aparat kepolisian juga berupaya mencegah karhutla melalui penegakan hukum. Sejauh ini aparat di Kalteng baru menetapkan empat tersangka terduga pembakar lahan. Masing-masing di Polres Palangka Raya dua tersangka, Polres Kotim satu tersangka, dan Polres Pulang Pisau satu tersangka.
”Semua masih dalam proses dan jika ke depan ada lagi, tidak menutup kemungkinan bertambah,” kata Kasubdit IV Tipiter Direktorat Krimsus Polda Kalteng AKBP Manang Soebeti.
Manang menuturkan, kebakaran hutan dan lahan paling banyak terjadi di tiga wilayah, yakni Palangka Raya, Kotim, dan Pulang Pisau. Dari banyaknya karhutla yang terjadi, belum ada keterlibatan dari korporasi.
Meski demikian, lanjutnya, ada beberapa titik panas yang masuk dalam wilayah konsesi perusahaan perkebunan. ”Kami masih dalami hal itu, seperti di Palangka Raya dan Barsel. Kami pastikan tidak akan berhenti untuk melakukan penindakan,” tegasnya. (sir/ang/daq/ign)