SAMPIT – Penetapan tersangka terhadap mantan Bupati Seruyan Darwan Ali diduga kuat sebagai akibat peran pengusaha ”hitam” yang ikut mendanai suksesi pilkada. Dana kotor itu digunakan untuk meraih kekuasaan. Akibatnya, kepala daerah berutang budi dan harus membayarnya dengan proyek yang dimanipulasi.
Peran pengusaha hitam dalam pilkada itu diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Pelabuhan Laut Teluk Segintung. Bupati Seruyan dua periode itu (2003-2008 dan 2008-2013) diduga menerima uang dari PT Swa Karya Jaya (SKJ) selaku rekanan proyek sebesar Rp 687,5 juta.
KPK mengidentifikasi adanya praktik politik transaksional. Itu sejalan dengan dugaan bahwa PT SKJ yang mengerjakan proyek itu merupakan pihak yang mendukung Darwan saat pilkada.
Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Romi Iman Sulaiman mengatakan, korupsi yang dilakukan kepala daerah sebagian besar merupakan imbas dari tingginya biaya politik. Salah satunya praktik politik uang yang dilakukan oknum kepala daerah saat pesta demokrasi.
Praktik politik uang dan transaksional rawan terjadi dalam Pilkada Kalteng maupun Kotim tahun depan. ”Karena itulah, masyarakat harus diberikan pemahaman dan diedukasi supaya tidak memilih kepala daerah yang bermain dengan politik uang,” kata dia.
Romi menuturkan, ketika kepala daerah duduk dengan praktik ilegal, akan memikirkan upaya mengganti biaya politik yang dikeluarkan agar bisa kembali. Hal demikian menciptakan ruang suap, praktik fee dari kontraktor, dan perilaku korup lainnya.
Menurut Romi, masyarakat harusnya sadar, ketika memilih kepala daerah yang mengeluarkan banyak dana, akan menghasilkan kepala daerah yang tidak berintegritas dan korup.
”Masyarakat sekarang harus diberikan sosialisasi pemahaman. Berikan gambaran dampak positif dan negatif dari akibat politik uang yang selalu menghantui pelaksanaan pilkada tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut Romi mengatakan, KPK tak pernah berhenti memberikan pendidikan antikorupsi di masyarakat sebagai bentuk pencegahan dini. Selain itu, kepala daerah dan lainnya juga mendapat edukasi intens mengenai hal tersebut. Akan tetapi, banyak kepala daerah tak memiliki integritas sehingga bertindak korup.
”KPK sudah juga mengumpulkan kepala daerah untuk menandatangani pakta integritas. Edukasi juga sudah. Pencegahan juga sudah, tapi kok masih terjadi korupsi? Ini karena integritasnya,” ujarnya.
Romi mengungkapkan, sekitar 90 persen pekara yang diproses KPK merupakan pengaduan dari masyarakat. Artinya, masyarakat sejatinya sudah punya semangat memerangi korupsi. ”Masyarakat kita sebenarnya sudah muak dengan persoalan korupsi,” tandasnya.
Bakal calon bupati Kotim Supriadi sebelumnya secara terang-terangan menyebut kontestan perlu dana hingga Rp 30 miliar rupiah untuk keperluan Pilkada Kotim. ”Idealnya memang perlu banyak modal. Saya perhitungkan biaya untuk memenangkan itu sekitar Rp 20 – Rp 30 miliar yang harus disiapkan untuk pemenangan,” katanya.
Besarnya ongkos pilkada itu juga diungkap Ketua DPC PDIP Kotim Ahmad Yani. Menurutnya, calon kepala daerah yang diusung partai perlu menyiapkan dana miliaran rupiah untuk suksesi pemenangan. Dana itu disetor pada partai dan akan dikelola untuk kepentingan pilkada. Dia membantah hal itu disebut sebagai mahar politik.
Namun, Bupati Kotim Supian Hadi membantah anggapan apabila ingin memenangkan Pilkada Kotim harus menyiapkan dana puluhan miliar. Sebagai figur yang dua kali memenangkan konstelasi panas itu, Supian menilai hal tersebut sangat tidak mendidik masyarakat.
”Saya saat itu jadi pelaku dalam pilkada sebelumnya dan parpol juga tidak ada meminta mahar dan lain sebagainya. Tapi, memang ada uang untuk kepentingan partai sesuai kesepakatan dan uang itu untuk pemenangan, tapi tidak sampai miliaran,” ujar Supian yang juga kader PDIP Kotim.
Bakal calon bupati Kotim Halikinnor juga tak sepakat dengan stigma pilkada perlu biaya tinggi hingga puluhan miliar. Dia menegaskan, hal tersebut sangat tidak mendidik dan tak memberikan edukasi politik yang cerdas.
”Kalau mendidik dengan uang itu jelas arahnya money politic. Mestinya kita cerdaskan masyarakat dengan program dan gagasan, bukan dengan jumlah uang. Ini tidak bagus untuk demokrasi,” tegas Halikinnor, beberapa waktu lalu. (ang/ign)