Slogan ”Merdeka dari diskriminasi” bagi sebagian warga keturunan hanya slogan semata. Pada praktiknya, warga Tionghoa masih merasakannya, meski sudah agak berkurang dibanding beberapa dekade silam.
”Pertanyaan saya, ada kah pejabat di daerah ini dari warga keturunan? Faktanya, ikut tes pegawai negeri sipil dicoret, tes perwira polisi dicoret. Pokoknya, ikut apa pun tidak bisa lulus,” tutur Supratman.
Pria yang akrab disapa Ayes ini mengungkapkan, diskriminasi belum sepenuhnya terhapus, termasuk di Kotim. Dia merasakan betul, dalam berbagai urusan, banyak oknum yang memanfaatkan kaum minoritas, sehingga pihaknya masih sering merasa dipersulit dalam berurusan.
Hal ini tentunya membuat warga keturunan menyangsikan kinerja pemerintah. Menurut mereka, selama ini kaum minoritas hanya dipandang sebelah mata. Hal itu tak membuat mereka patah arang. Sebaliknya, memaksa warga keturunan lebih kreatif, sehingga hampir semua bidang usaha mereka rambah.
”Di dunia perdagangan, mengapa orang Tionghoa ahli? Karena kesalahan pemerintah. Pemerintahan tidak memberikan kedudukan yang setara dengan warga pribumi, hanya namanya saja warga negara,” kata pria yang juga pengurus partai berlambang beringin di Kotim ini.
---------- SPLIT TEXT ----------
Banyak bentuk diskriminasi bagi warga Tionghoa dirasakannya. Tak hanya dalam berurusan sebagai penduduk, dalam urusan agama pun kerap kali dianaktirikan. Misalnya, membangun tempat ibadah.
Kendati demikian, nuansa diskriminasi saat ini tak sekental dulu. Untuk kartu tanda penduduk saja, warga Keturunan Tionghoa dan pribumi dibedakan. Warga pribumi diberi tanda ”.” (titik) 1, sedangkan warga keturunan ”.” (titik) 2.
Berbeda dengan Ayes, Aling Darma Kusuma memiliki pemandangan lain terkait diskriminasi di zaman sekarang. Menurutnya, perlakuan terhadap warga keturunan tersebut biasanya hanya dilakukan oknum tertentu. Tak semua orang mendiskriminasikan warga keturunan.
”Biasa saja, ada siang ada malam. Kalau di dalam lingkungan pergaulan saya, tentu lingkungan menganggap saya bagian dari itu. Tapi, belum tentu di lingkungan lain,” kata Aling.
Menurut Aling, hal itu dapat dimaklumi di zaman sekarang. Berbeda dengan zaman saat warga Tionghoa benar-benar dimarginalkan. Sebelumnya, di Sampit ada sekolah khusus bagi warga keturunan Tionghoa. Sekolah tersebut sampai jenjang SMP. Namun, pada tahun 1966, sekolah tersebut dibekukan pemerintah. Warga Tionghoa pun terpaksa memilih di sekolah umum.
”Saya sempat lulus di situ, saat itu nama sekolahnya Gestafo,” ungkap Aling.
---------- SPLIT TEXT ----------
Jatuhnya rezim orde lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami warga Tionghoa di Indonesia. Hal itu masih berlanjut pada masa Orde Baru.
Dari berbagai sumber yang dihimpun, diskriminasi terhadap orang Tionghoa saat pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan berbagai cara, misalnya mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada KTP, warga Tionghoa tidak boleh menjadi PNS serta tentara, pelarangan bagi warga keturunan untuk memiliki tanah di pedesaan, dan masih banyak bentuk diskriminasi lainnya.
Kebijakan ini pun otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia. Hingga pada 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran ”Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina” yang isinya menyatakan, etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya.
Surat edaran ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967, yang isinya menyatakan, pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI. Untuk menghindari eksklusifisme rasial, pemerintah memilih mengasimilasikan etnis Tionghoa dan melakukan berbagai usaha untuk memutuskan hubungan dengan leluhur mereka.
---------- SPLIT TEXT ----------
Proses asimilasi itu terlihat dalam aturan penggantian nama, melarang segala bentuk penerbitan dengan bahasa serta aksara bernuansa Tiongkok, membatasi kegiatan keagaman hanya dalam keluarga, dan tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional Tionghoa di hadapan umum. Selanjutnya, melarang sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak untuk sekolah di sekolah umum atau swasta.
”Saya pun melanjutkan sekolah saat itu ke SMP Negeri 1 Sampit,” kenang Aling.
Benang merah yang menjadi latar belakang terjadinya diskriminasi rasial di Indonesia sendiri adalah kepentingan politik ekonomi pemerintah di masing-masing masa. Di masa Orde Baru ini, kata diskriminasi rasial nyaris tidak terdengar dan memang tidak disebutkan, bahkan dilarang diperbincangkan.
Rasisme diperhalus dengan istilah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Implikasinya adalah segala hal yang berbau rasisme dikatakan SARA, yang berarti tidak boleh diributkan dan semua dibiarkan begitu saja, tanpa tindak lanjut berarti dari pemerintah. Ini merupakan suatu kesengajaan yang dibuat pemerintah, sekaligus bentuk rasisme yang paling kejam kala itu.
Pada masa Orde Baru pula tercatat ada delapan buah produk perundang-undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa. Dari sini bisa dilihat, fenomena Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia nampaknya sudah begitu sistematis. Tak hanya masyarakat di kalangan bawah yang begitu keras dengan sentimen orang-orang Non-Pribumi tidak setia pada negara, namun pemerintahan di masa Orde Lama serta Orde Baru pun nampaknya cukup gencar menjadi pelumas semakin tajamnya diskriminasi ras terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. (oes/ign)