Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit pernah perkasa jadi tempat belanja warga. Perkembangan zaman membuat lokasi itu perlahan ditinggalkan pelanggan.
HENY, Sampit
Suasana sepi menyapa Radar Sampit saat menyusuri lantai dua PPM Sampit, siang itu. nyaris tak ada pembeli di lokasi yang diperuntukkan bagi pedagang baju tersebut.
Seorang pria berkopiah putih duduk dengan wajah lesu. Persis di samping tumpukan pakaian. Meskipun raut wajahnya jelas tak bersemangat, lisannya tak pernah berhenti menawarkan barang ketika konsumen melintas, termasuk kepada Radar Sampit.
”Cari apa? Baju kah? Celana kah? Lihat aja dulu barangnya. Enggak apa-apa?” ujarnya.
Suasana yang awalnya kaku, perlahan mulai mencair setelah Radar Sampit mendengar keluh kesahnya. Muhri. Demikian dia disapa.
Pria yang sudah berusia 66 tahun ini sudah jadi pedagang kain di PPM sejak 2004 silam. Dia merasakan betul perubahan zaman dan perkembangan teknologi masa kini yang kian canggih.
Pengalamannya menjadi pedagang kain sudah dilakoninya sejak 1988 silam hingga sukses membangun usaha secara mandiri. Muhri lalu memutuskan membeli kios tepat di lantai dua PPM yang saat itu dibangun tahun 2004 dengan ukuran 4 meter x 3 meter di blok DS. Harga awalnya Rp 22,5 juta saat itu.
”Awalnya saya ikut orang dari tahun 1970 sampai 1984 jualan sembako, tetapi karena bosan, ingin usaha sendiri dan memilih berdagang kain,” ucap Muhri yang saat itu didampingi istrinya.
Di masa itu, dia masih merasakan kejayaan berdagang. Perekonomian pun begitu lancar. Belum banyak persaingan dagang. Ritel modern masih belum menjamur dan penduduk Kotim masih terbilang sejahtera pekerjaannya.
”Dulu itu masih berjayanya usaha perkayuan di Kotim. Warga di Kotim begitu mudah mendapatkan uang. Perekonomian lancar, penjualan pun lancar. Pasar tidak pernah sepi meskipun hari biasa,” ujar Muhri.
Pasar PPM sudah menginjak usia 11 tahun. Dia mulai merasakan pasang surutnya berjualan kain. Dari memiliki tiga karyawan, sekarang hanya tersisa satu orang.
”Satu per satu terpaksa diberhentikan karena penjualan sepi dan kami tak mampu menggaji karyawan,” ucapnya.
Muhri menuturkan, sepinya pengunjung sudah dialami sejak tiga tahun terakhir. Kini dia hanya bisa berharap pada masyarakat yang datang jauh, dari perusahaan sawit yang membuat pendapatannya membaik.
”Kalau gajian setiap tanggal 1-7 masyarakat sawitan datang berombongan. Itu yang cukup membantu penjualan kami. Sehari bisa saja dapat Rp 1-3 jutaan. Tetapi, kalau sudah tanggal 15, bisa dapat Rp 200 ribu saja sudah bersyukur,” ujarnya.
Dia pun kini tak lagi tinggal di kios yang dulu dibelinya seharga Rp 22,5 juta. Sudah sejak beberapa tahun ini dia rela mengontrak kios milik orang lain yang lokasinya lebih strategis meski harga sewanya mahal, yakni Rp 45 juta per tahun.
”Di sini ngontrak saja, karena kios punya saya memang tempatnya kurang begitu strategis, yang ada makin hari makin sepi. Orang lewat pun tidak ada,” ujarnya.
Muhri rela membayar Rp 45 juta per tahun dan retribusi Rp 20 ribu untuk dua kios demi kelangsungan hidupnya. ”Mau bagaimana lagi? Saya sudah setua ini. Mencari pekerjaan baru pun tidak gampang. Tidak bekerja, bagaimana mau menghidupi anak istri?” ucapnya tertegun.
Selain penjualan yang sepi, lokasi kios yang dikontraknya sejak beberapa tahun terakhir juga kerap bocor setiap hujan deras mengguyur Sampit. ”Meskipun tidak hujan sekalipun, kalau kami sudah mau tutup kios, beberapa baskom sudah kami siapkan untuk menampung air. Kalau tidak, kain dagangan kami bisa basah dan tak laku kalau dijual,” ujarnya.
Setiap hujan deras, lanjutnya, selasar teras di depan kiosnya juga kerap tergenang banjir karena atap PPM mengalami kebocoran parah. ”Coba saja datang ke sini saat hujan deras. Lantai dua ini bisa tergenang air hujan. Setiap banjir kami pedagang di sini bergotong royong membersihkan genangan air dan mengamankan barang dagangan,” ujarnya.
Selain itu, saat listrik padam, pedagang PPM juga terpaksa gelap-gelapan dan hanya dibantu penerangan lampu darurat atau lilin. ”Dulu PPM ada genset. Setiap listrik padam, gensetnya hidup. Sekarang saya tak tahu gensetnya ke mana? yang pasti sekarang kalau mati listrik kami di sini gelap-gelapan,” ujarnya.
Lebih lanjut Muhri mengatakan, persoalan terbatasnya lahan parkir juga dikeluhkan pelanggannya. Setiap hari libur atau akhir pekan, pelanggannya mengaku kesulitan mencari lahan parkir.
”Kasihan pelanggan kami. Setiap ke sini mengeluh lahan parkir terbatas, sampai mereka harus memarkir dekat bundaran vavo sana,” ujarnya.
Muhri menyadari, di era sekarang persaingan dagang semakin berkembang. Jika tak jeli memasarkan, lama kelamaan pedagang yang tidak mampu berinovasi tidak akan bisa bertahan dan memilih gulung tikar.
”Saya mengerti di luar sana banyak pedagang pakaian serba murah. Lokasinya di pinggir jalan, sedangkan kami di sini harus naik dulu ke lantai dua. Itu pun pelanggan nyari tempat parkir juga susah,” ujarnya.
Dia hanya menginginkan agar dinas terkait peduli dengan pedagang PPM. ”Sekarang ini memang kami akui persaingan dagang semakin tahun semakin tidak terkendali. Kalau kami tidak mampu bertahan, terpaksa gulung tikar. Cuma, walau bagaimana pun, pemerintah seharusnya punya andil membina kami bagaimana mengatasinya. Itu sudah tugasnya pemerintah,” keluhnya.
Menurutnya, selama ini peran pemerintah daerah seperti mengesampingkan PPM yang sebelumnya menjadi kebanggaan Kotim. Bangunan megah itu kini terkesan kumuh dan tak ada inovasinya.
”Mohon maaf. Kami merasakan betul peran pemerintah selama ini begitu-begitu saja. Saya tanya berapa besaran dana untuk biaya pemeliharaan bangunan PPM saja pegawainya tidak bisa menjawab,” ujarnya.
Di samping itu, kegiatan pemeliharaan seharusnya bisa mengedepankan pekerjaan yang sifatnya lebih prioritas. ”Ada banyak atap bocor tidak diperbaiki. Setiap hujan kami harus membersihkan genangan air hujan di selasar kios. Ke mana dana pemeliharaan selama ini? Apakah hanya untuk biaya pengecatan bangunan saja. Mana yang lebih penting, bangunan bocor atau mengecat bangunan?” ucapnya.
Dia berharap pemerintah memperhatikan kemajuan PPM. Bukan hanya sekadar pemeliharaan yang sifatnya belum mendesak untuk dilakukan. ”Sudah saatnya pemerintah melihat hal yang lebih prioritas. Membina kami para pedagang di sini, bagaimana caranya agar bangunan PPM ini bisa menarik minat masyarakat, sehingga penjualan kami bisa ramai kembali seperti dulu,” ujarnya.
Penelusuran Radar Sampit, puluhan kios yang diperkirakan jumlahnya lebih dari 20 kios di lantai dua tertutup rapat menggunakan rolling door. Belum jelas apakah karena pedagangnya libur atau benar-benar sudah gulung tikar karena tak mampu bertahan menyesuaikan perkembangan zaman.
Di lorong kios yang berbeda, Muhammad Lutfhi, pedagang lainnya terlihat sibuk berbincang dengan anaknya yang masih kecil, ditemani istrinya yang duduk sambil menanti kehadiran pembeli.
Meskipun pengunjung bisa dihitung jari, mereka tak benar-benar membeli. Hanya sekadar melihat-lihat barang. Itu sudah biasa dialami Lutfhi.
”Jualan sepi. Kalau enggak sambil dipasarkan jualan melalui online, menjual satu barang saja sulit,” ujar Lutfhi.
Lutfhi memang terbilang baru berjualan. ”Saya baru beberapa tahun saja jualan, tetapi dulu memang sering membantu bunda (ibu, Red) jualan di sini,” ujarnya.
Menurutnya, penjualan di PPM mengalami penyusutan drastis. Musababnya, terjadinya persaingan dagang serba murah yang menjamur di perkotaan Sampit. ”Banyaknya toko serba murah ini yang merusak pasaran kami dan kalau dibandingkan dengan kualitas bahan, kami juga tidak kalah berkualitas,” ujar Luthfi.
Luthfi menyadari, konsumerisme masyarakat terkait pemakaian suatu produk di masa kini tak lagi mengedepankan brand maupun kualitas melainkan lebih kepada tren. ”Sekarang ini jarang kita temukan masyarakat yang memikirkan brand ternama, tetapi lebih condong mementingkan tren masa kini. Terpenting kualitasnya mirip dengan yang original dan pasti harganya lebih terjangkau,” ujarnya.
Mengenai penghasilannya, Luthfi mengaku baru membaik ketika masyarakat dari perkebunan sawit turun ke Sampit. ”Sehari bisa dapat Rp 300 - Rp 500 ribu per hari. Tetapi kalau sudah datang orang sawitan pendapatan kami bisa Rp 2,5 juta,” katanya.
Dia juga kerap mengalami pilunya berdagang. ”Pernah saya jualan dua hari berturut-turut tak laku. Saya hanya bantu jualin dagangan orang saja,” ungkapnya.
Perubahan pola konsumerisme juga dialaminya. Sebelumnya PPM menjadi pusat perbelanjaan masyarakat Sampit, namun sekarang sepi. ”Dulu sebelum Pasar Inpres kebakaran, penjualan selalu ramai. Tak pernah sepi. Setelah kebakaran, baru di tahun 2004 dibangun PPM. Itu pun masih terbilang ramai, tetapi baru beberapa tahun terakhir ini saja menjual barang dagangan terasa sulit,” ujarnya.
Tak banyak permintaan Luthfi. Dia mewakili pedagang kain di PPM lainnya berharap pemerintah bisa membantu menarik minat masyarakat agar PPM ramai seperti dulu.
”Saya berharap bangunan PPM dipercantik dan pemerintah bisa membantu promosikan supaya masyarakat mau ke sini setiap saat. Tidak apa-apa hanya melihat-lihat, tidak membeli. Terpenting ramaikan dulu PPM,” tandasnya. (***/ign/bersambung)