Sebanyak 105 orang narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Sampit harus menjalani asimilasi rumah. Kebijakan tersebut diambil karena kondisi di dalam Lapas sangat padat, sehingga tidak memungkinkan dilakukan physical distancing.
=====
”Progam asimilasi ini bukan bebas namun mereka menjalani pidana dirumah dengan sistem wajib lapor, karena masa Covid-19 wajib lapor menggunakan daring saja. Saat ini, yang asimilasi 105 napi," ujar Kalapas Kelas IIB Sampit Agung Supriyanto.
Asimilasi narapida kali ini merupakan bagian dari upaya memutus penyebaran Covid-19 di lingkungan Lapas.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19.
Hal tersebut guna mengantisipasi penularan Covid-19 serta mengurangi kelebihan kapasitas di tengah pandemi Covid-19. Napi dan tahanan di Lapas Kelas IIB Sampit berjumlah 744 orang (data 8/12), terdiri dari napi pria 660 orang, tahanan pria 50 orang, napi wanita 30 orang, dan tahanan wanita 4 orang. Kapasitas Lapas hanya 220 orang.
Melihat kondisi itu, narapidana dan tahanan berpotensi terpapar Covid-19. Hal itu karena narapidana dan tahanan yang berjejal dan tak dapat menjaga jarak. ”Asimilasi yang diberikan selain untuk mengurangi jumlah narapidana di dalam Lapas yang memang kapasitasnya terbatas, para narapidana adalah kelompok yang rentan terkena Covid-19," sebut Agung.
Walaupun kasus positif Covid-19 di penjara masih nihil, lanjutnya, kekhawatiran penyebaran di penjara, tempat narapidana berbagi sel, mandi, dan ruang makan yang sama, sehingga asimilasi dinilai sebagai alternatif dalam situasi darurat sebagai respons terhadap pandemi virus korona.
Lebih lanjut dikatakan, sebanyak 105 napi diusulkan asimilasi di rumah serta mendapat hak integrasi berupa pembebasan bersyarat (PB), khususnya yang 2/3 masa pidananya jatuh sebelum tanggal 31 Desember 2020, serta tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2019 dan bukan warga negara asing.
”Jadi, bagi napi yang 2/3-nya jatuh di 2021, dia tidak berhak diasimilasikan," terangnya.
Asimilasi, tambahnya, diberikan kepada napi dengan tindak kejahatan apa saja dan memenuhi perhitungan yang telah ditentukan, dengan syarat lain adalah napi tersebut berkelakuan baik selama di Lapas.
Namun demikian, jika napi asimilasi tersebut melakukan tindak pidana, tetap akan diproses polisi dan akan ditarik ke Lapas. ”Perhitungan sisa asimilasi dijalani Lapas, tidak lagi kembali ke rumah. Jadi, dicabut SK asimilasinya," jelas Agung.
Syarat lain, adanya penjamin dari keluarga dan mudah dihubungi. Selama proses asimilasi, mereka juga akan diajukan untuk proses integrasi. Sementara itu, terkait keuntungan dari asimilasi, Agung menyebut, pertama napi menjalani pidana di rumah. Kedua, selama menjalani itu, pihak Lapas memproses pengusulan untuk PB ataupun cuti bersyarat.
Beberapa kebijakan dalam rangka mengurangi kelebihan kapasitas telah dilakukan, yakni dengan menerima tahanan dari Polres Kotim secara bertahap. Situasi lapas yang secara umum kelebihan kapasitas jadi pertimbangan utama keputusan tersebut. Seandainya satu orang saja terpapar Covid-19, akan sangat membahayakan seluruh penghuni Lapas, termasuk aparat.
Asimilasi dilaksanakan di rumah dan surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas dan pembimbingan serta pengawasan asimilasi dan integrasi dilaksanakan oleh pihak lapas. (yn/ign)