SAMPIT – Uang hasil tambang galian C ilegal di Desa Bukit Raya, Kecamatan Cempaga Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), diduga banyak mengalir ke sejumlah pihak. Pemodal aktivitas merusak hutan itu disebut-sebut kerap bermain dengan oknum tertentu. Kejaksaan Negeri Kotim berupaya menyeret semua pihak yang terlibat, terutama pemodal.
Informasi diperoleh Radar Sampit, dari penyelidikan Kejari, ada dua pengusaha yang memodali tambang ilegal tersebut, yakni RS dan BG. Mereka kini dalam bidikan jaksa. RS dikabarkan pemain lama yang mengeruk keuntungan dari galian C ilegal, sementara BG merupakan pemain baru.
BG dan RS diduga mengeruk tanah laterit untuk dijual kepada perusahaan besar swasta hingga memasok untuk proyek pemerintah daerah. ”Pengakuan Kades (Bukit Raya), RS dan BG kerja di situ. Yang paling lama RS,” kata Trio Andi Wijaya, tim penyidik kasus tersebut, yang juga Kasi Datun Kejari Kotim, Jumat (12/3).
Trio menuturkan, pihaknya masih fokus mengungkap kasus tersebut, termasuk menghitung kerugian negara dari kegiatan ilegal itu. Beberapa orang telah diperiksa sebelumnya, yang di antaranya aparatur pemerintahan setempat.
Sementara itu, RS, pengusaha galian C di Desa Bukit Raya sebelumnya menyebutkan, kegiatan itu tidak hanya dilakukannya sendiri. Ada sejumlah pengusaha lain melakukan hal serupa.
Catatan Radar Sampit, penambangan galian C ilegal di Cempaga Hulu baru sekali diungkap secara pidana oleh Polda Kalteng tahun 2019 silam. RS saat itu disebut-sebut sudah beroperasi. Namun, aparat menyasar pemodal galian C ilegal lainnya yang dijadikan tersangka, yakni Amir Mahmud dan Misnun selaku pemilik lahan.
Mengacu UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), ada perubahan denda bagi penambang ilegal. Dalam Pasal 158, penambangan ilegal didenda Rp 100 miliar. Jumlah denda yang harus dibayar tersebut naik dari sebelumnya yang hanya Rp 10 miliar.
Ketua LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Arsusanto sebelumnya mengatakan, aktivitas penambangan yang terjadi sejak lama tanpa tersentuh pihak terkait, bisa saja disebabkan ada kepentingan pihak tertentu di dalamnya yang juga kecipratan untung besar.
”Kalau diproses hukum, jangan hanya sampai pada operator atau orang lapangan saja. Harus bisa menyeret siapa yang ikut bermain dan dalangnya. Mengacu UU Minerba, sanksinya untuk aktivitas penambangan ilegal sangat berat. Selain tidak membayar retribusi ke daerah yang mengakibatkan kerugian keuangan, juga menimbulkan kerusakan alam karena tidak dilakukan reklamasi,” katanya. (ang/ign)