SAMPIT – Aktivitas tambang galian C di Desa Bukit Raya, Kecamatan Cempaga Hulu, yang merambah hutan dilakukan dengan cara menyelonong tanpa sepengetahuan aparatur pemerintah setempat. Investasi yang diduga bodong alias ilegal tersebut dinilai bisa dijerat pidana karena melanggar sejumlah aturan.
”Kami tidak ada tahu tambang galian C mana yang diduga ilegal itu. Selain itu, kami tidak pernah mendapat pemberitahuan, karena izin untuk pertambangan sejak beberapa tahun lalu memang bukan ranah kabupaten lagi,” kata Camat Cempaga Hulu Ubaidillah, Rabu (3/3).
Menyikapi persoalan tersebut, Ubaidillah berjanji bersama pejabat terkait di kecamatan akan segera turun mengecek ke lapangan. Selain itu, pihaknya juga akan melakukan inventarisasi terhadap galian C di kawasan tersebut.
Menurut Ubaidillah, di wilayah yang dipimpinnya itu memang ada sejumlah aktivitas galian C. Meski demikian, dia tidak mengetahui secara pasti legalitasnya, karena bukan ranah pemerintah kecamatan mengurusi hal tersebut.
Pihaknya akan mendorong pengusaha galian C yang belum berizin, agar segera mengurus izinnya. ”Yang belum ada legalitas upayakan bagaimana supaya kegiatan penambangan itu bisa legal dan tidak melanggar hukum,” kata Ubaidillah.
Ubaidillah mengungkapkan, di Cempaga Hulu memang ada informasi galian C yang dipasang garis pembatas oleh aparat. Namun, dia tidak mengetahui persis lokasi tambang galian C tersebut.
Catatan Radar Sampit, aktivitas penambangan galian C di Cempaga Hulu pernah ditertibkan pada Agustus 2019 silam. Saat itu Polda Kalteng menetapkan dua tersangka, Misnun sebagai pemilik lahan, serta Amir Mahmud, pengelola yang mempekerjakan dua anak buahnya.
Lokasi galian C milik Misnun berdampingan dengan lokasi galian C yang saat ini diduga ilegal yang dikelola seseorang bernama RS. Informasinya, warga sekitar cukup familiar dengan pemilik tersebut. RS juga terkenal dermawan dan kerap membantu warga terkait kebutuhan dan keperluaan untuk kegiatan sosial.
Di sisi lain, RS disebut-sebut sangat licin. Dalam beberapa kali razia pertambangan tanpa izin, dia selalu lolos dari jerat hukum. Ribuan kubik tanah merah yang dikeruk dari dalam hutan, dijual secara bebas ke berbagai pihak. Aktivitas itu sudah terjadi sejak lama.
Aktivis Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Kabupaten Kotim Arsusanto mendesak aparat penegak hukum tak membiarkan aktivitas itu bebas merambah hutan. Apalagi menggunakan alat berat.
”Jangan sampai hukum terkesan tebang pilih. Siapa pun pemilik dan pengelolanya harus diproses hukum kalau memang ada indikasi ilegal,” tegasnya.
Arsusanto menuturkan, kewenangan pertambangan saat ini memang sudah beralih dari pemerintah provinsi ke pusat setelah adanya revisi UU Minerba. ”UU Minerba yang baru menyatakan semua perizinan dilimpahkan ke pusat,” ujar Arsusanto.
Menurut Arusanto, penambangan ilegal menjadi perhatian khusus Presiden RI Joko Widodo. Presiden menyatakan perang terhadap aktivitas penambangan yang tidak mematuhi aturan. Apalagi sejumlah daerah di Indonesia dilanda bencana banjir, yang sebagian besar disebabkan kerusakan lingkungan akibat penambangan liar.
Dia menegaskan, pelaku penambang ilegal bisa dijerat secara pidana. Di antaranya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba Pasal 158. Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin bisa dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp 100 miliar.
Kemudian, pada Pasal 105, penjualan mineral yang tergali dikenai iuran produksi atau pajak daerah sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam Pasal 161 (b), setiap orang yang memiliki izin pertambangan dan tidak melaksanakan reklamasi pascatambang dan penempatan dana jaminan reklamasi, bisa dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda Rp 100 miliar.
Sebelumnya diberitakan, aktivitas galian C yang diduga ilegal di Desa Bukit Raya menghancurkan sebagian areal hutan di wilayah itu. Penambangan tanah latrit (tanah merah) yang tidak jauh dari permukiman penduduk dan jalan lintas provinsi itu disebut-sebut sudah berlangsung lama, namun tidak pernah tersentuh operasi penertiban.
Informasi yang diperoleh Radar Sampit, ribuan kubik tanah dikeruk dan diangkut keluar dari daerah itu setiap hari. Aktivitas tersebut dilakukan di dalam areal hutan yang memiliki diameter kayu pohon sekitar 20-30 sentimeter.
Pohon sebagai penyangga air hujan ditebang dan digusur dengan alat berat. Kemudian tanahnya digali untuk dijual bebas. Kondisi demikian dinilai mengkhawatirkan bagi keberlangsungan ekosistem dan lingkungan hidup setempat.
Kepala Desa Bukit Raya Seleksi mengatakan, tambang galian C di wilayah itu milik seseorang yang menyuplai ke sejumlah perusahaan perkebunan yang memerlukan timbunan tanah. ”Saya tidak tahu apakah itu ilegal atau legal, karena memang sebelum saya menjabat sudah ada. Sampai sekarang masih beroperasi,” ujar Seleksi. (ang/ign)