Lebih satu dekade sang ayah memendam derita batin melihat anaknya menderita poliomielitis alias polio. Penyakit itu melumpuhkan putrinya.
AMIRUDIN, Sampit
Waktu terasa berlalu begitu saja bagi Masriani. Dua belas tahun pria itu menahan sakit hati melihat nasib putrinya, Nurbaiti. Bocah itu lumpuh akibat dibekap penyakit yang diduganya polio. Berbagai tempat berobat telah dikunjungi. Namun nasib putrinya belum jua berubah.
Masriani kini sudah kian termakan usia. Umurnya memasuki 58 tahun. Kulitnya mulai keriput. Tak banyak tenaga yang tersisa untuk bekerja mengumpulkan rupiah. Untuk makan sehari-hari saja dia berharap bantuan warga sekitar. Kadang mereka harus mensyukuri nasi tanpa lauk yang diberikan untuk menyambung hidup.
”Beginilah keadaannya,” kata Masrani kepada Radar Sampit yang datang berkunjung ke kediamannya di Jalan Metro TV, Kelurahan Ketapang, Kecamatan MB Ketapang, Senin (9/5) kemarin.
Kisah pahit itu dimulai sejak 12 tahun silam. Kala itu, Masrani hidup bersama istri dan dua anaknya. Mereka baru pindah dari Desa Bapinang Hulu, Kecamatan Pulau Hanaut.
”Sejak umur empat bulan, dia (Nurbaiti) sudah seperti ini (sakit). Awalnya hanya muntaber, dari situ sudah terlihat ada kelainan,” tutur Masriani.
Mereka sudah mencoba berobat ke beberapa puskesmas. Namun dokter memvonis bocah itu menderita penyakit polio. ”Kami diberitahu tidak ada jalan untuk anak saya sembuh,” sambung dia.
Nurbaiti tak bisa berdiri. Hanya bisa tertawa. Bicaranya juga tidak jelas. Namun tak jarang dia terlihat senang dan bahagia. Keluarga itu tinggal di rumah berukuran 2x4 meter yang berbahan kayu.
Dengan gerakan khusus, sepertinya Nurbaiti juga ingin berbagi cerita saat Radar Sampit berkunjung. Dia bergerak dengan berguling ke sana kemari tak beraturan.
Dengan usia 12 tahun, Nurbaiti mestinya sudah duduk di bangku sekolah dasar. Namun itu tak terjadi lantaran tak ada yang bisa diperbuat keluarganya untuk menyembuhkannya. Mereka tak memiliki cukup dana.
Enam tahun lalu, istri Masriani, yang juga ibu Nurbaiti, memilih kabur dari rumah. Dia meninggalkan keluarga itu untuk menjalani hidup baru tanpa anak dan suaminya.
”Ibunya sudah tidak tahan dengan keadaan hidup dan kondisi anaknya, mungkin tidak mau lagi mengurus anak ini (Nurbaiti),” ucap Masriani yang tidak ingin lagi mengingat istri yang sudah diceraikannya itu.
Sejak 2001 Masrani bekerja serabutan. Apa saja yang bisa dilakukan akan dikerjakannya untuk mendapatkan uang demi menghidupi keluarga. Terkadang dirinya pergi mencari ikan di sungai dan sekitar parit. Tidak banyak yang bisa didapatkan.
”Terkadang mengambil upah menebas rumput, itu jika ada yang meminta, jika tidak maka diam saja. Kebun karet usianya masih muda dan belum bisa menghasilkan getah. Untuk saat ini saya juga sakit-sakitan dan tidak bisa bekerja. Terkadang tetangga sering datang dan mengantarkan beras dan gula untuk kami,” ungkap Masrani sambil tersenyum.
Sehari-hari Masrani dibantu anak keduanya, Siti Dewi (7), yang masih kelas dua sekolah dasar. Siti Dewi biasanya membantu memasak.
Siti tampak malu dengan kondisi mereka, namun dirinya berusaha untuk terlihat lebih baik. Setiap hari Siti berada di dapur di samping rumah mereka. Dapur itu beratap terpal dengan lantai tanah.
Tak sedikit warga yang turut membantu. Misalnya Mina (40), yang kerap membantu merawat Nurbaiti, seperti mencukurkan rambutnya.
Masriani berharap pemerintah memperhatikan mereka. Bukan makanan atau harta. Tetapi membantu pengobatan untuk lepas dari penyakit anaknya. (mir/dwi)