SAMPIT – Penertiban minuman keras tradisional yang akan dituangkan dalam peraturan daerah, diharapkan tidak menghambat berbagai acara adat dan budaya lokal. Izin pemanfaatan miras tradisional diminta tak rumit dan panjang. Apabila perda disahkan, harus tegas kepada pengedar dan toko miras golongan A, B, dan C yang masih dijual bebas.
”Kami khawatir dengan adanya perda itu justru mempersulit masyarakat yang ingin mengadakan acara adat yang memerlukan instrumen seperti baram atau tuak,” kata Arsusanto, anggota Gerdayak Kotim.
Arsusanto menuturkan, bagi masyarakat awam, yang jadi persoalan, yakni ketika mereka akan menggelar acara adat dan harus mengurus izin untuk menggunakan miras tradisoional. Masyarakat akan kesulitan, terutama yang jauh di pedalaman. Dia berharap ada solusi dari pemerintah daerah.
”Misalnya warga yang di pedalaman mau buat acara, tentunya setelah ada perda itu wajib ada izin menggunakan baram. Di sini saya khawatir karena minim akses ke pemerintah dan tidak diurus, ujung-ujungnya mereka bisa kena sanksi karena tidak berizin. Ini jadi persoalan,” katanya.
Arsusanto menambahkan, semestinya dalam penyusunan rancangan perda, melihat dan menjangkau aspirasi semua elemen masyarakat. Penjaringan aspirasi harus dilaksanakan agar perda bisa mengakomodir kepentingan warga biasa.
Menurutnya, selama ini tidak pernah terjadi masyarakat meninggal karena menenggak minuman tradisional. ”Kalau arak dan lain sebagainya, memang jarang digunakan untuk acara budaya. Tapi, kalau baram wajib. Jadi, kami berharap baram jangan disamaratakan penggolongannya,” katanya.
Sementara itu, raperda pengendalian miras di Kotim kini sudah selesai dibahas. Raperda itu tengah disampaikan ke pemerintah provinsi untuk dievaluasi Biro Hukum. ”Akan dikonsultasikan dan dievaluasi, setelah itu disahkan nantinya,” kata Dadang Syamsu, Ketua Baleg DPRD Kotim.
Dadang menuturkan, raperda itu mereka bahas setelah melewati mekanisme penyusunan. Raperda merupakan usulan eksekutif, sehingga terkait penjaringan aspirasi jadi tugas eksekutif.
”Ini bukan raperda inisiatif. Di DPRD hanya dibahas seperti apa tahapan penyusunan. Mulai dari penjaringan aspirasi itu ranah esekutif,” tandasnya. (ang/ign)