Belajar di sekolah khusus dan perhatian keluarga sangat berperan penting bagi tumbuh kembang Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Mereka juga ingin memiliki kemampuan dan bergaul di lingkungan sosial.
AGUS JAKA P, Sampit
Cuaca cerah menyelimuti Kota Sampit saat bulan Ramadan nyaris sepekan berjalan. Tepatnya Selasa 13 Juni pagi, ketika sekolah umum sudah banyak yang libur, dan baru aktif setelah Lebaran. Satu sekolah yang didapati belum libur, yakni Melati Ceria. Satu-satunya sekolah khusus di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), bagi anak berkebutuhan khusus milik yayasan swasta.
Bangunan sekolah ini mirip rumah tinggal sekitar tipe 45, namun sudah ditambah beberapa ruangan untuk dijadikan kelas. Di sampingnya ada pekarangan kecil beserta papan luncur dan ayunan tempat para murid bermain. Pagar sekolah dicat warna-warni; merah, kuning, hijau. Bangunan utama dipoles warna merah. Posisinya menghadap utara, di Jalan Wengga Metropolitan Jalur 1 Nomor 33, Kelurahan Baamang Barat, Kecamatan Baamang.
Kegaduhan suara murid di sekolah ini sudah terdengar dari pintu pagar. Ada yang berteriak memanggil temannya, atau memanggil gurunya. Beberapa guru juga sesekali berteriak memanggil beberapa murid yang bebas keluar masuk ruangan.
Suasana lingkungannya sangat berbeda dengan sekolah-sekolah formal. Seperti di PAUD atau Taman Kanak-Kanak (TK), yang saat jam belajar banyak orangtua menunggui anaknya di sekitar sekolah.
Ketika jam belajar, tak ada orangtua murid yang menunggu di lingkungan sekolah. Kecuali saat jam mengantar dan menjemput. Di sekolah ini, para guru lah yang menggantikan peran orangtua, hingga para muridnya merasa seperti di rumah sendiri.
Selain mengajar di kelas, guru di sekolah ini juga mengurusi aktivitas anak berkebutuhan khusus, seperti ketika mereka di rumah. Misalnya menyuapi makan yang dibawa dari rumah, hingga mengurusi murid yang buang air.
”Dalam mendidik, mereka kita beri referensi khusus sesuai yang dibutuhkan, baik mental, intelektual, kondisi fisik, serta tingkat emosionalnya. Kalau ada yang mengamuk, ya kami santai saja menghadapi. Ketawa saja. Karena sudah ada ilmunya untuk menangani,” papar Rina Hadiastuti, kepala sekolah Melati Ceria. Sekolah khusus ini juga memiliki rujukan ke psikiater anak untuk mendukung penanganan murid-murid mereka.
Jumlah murid di sekolah yang berdiri sejak Oktober 2011 ini, ada 39 orang. Di kelas TK ada 6 orang, SD 23 orang, SMP 5 orang, dan SMA 5 orang. Usia murid tertua yakni 25 tahun.
Guru pengajar ada 8 orang ditambah kepala sekolah berstatus honorer swasta dengan latar pendidikan semuanya sarjana. Mereka juga mengantongi sertifikat terapis berakreditasi nasional. Porsi pengajaran, 1 guru menangani 3 murid. Jam pelajaran dibagi 2 sesi dalam sehari, 1 anak mendapat jatah belajar selama 3 jam untuk semua tingkatan.
Selain itu, lanjut Rina, salah satu aturan di sekolah ini yakni orangtua tidak diperbolehkan masuk mendampingi anaknya ketika belajar di kelas. Lulusan Universitas Mataram 2005 ini menjelaskan, keberadaan orangtua di lingkungan sekolah secara psikologis akan memengaruhi kemandirian anak. Larangan itu, juga untuk mengukur tingkat kepercayaan orangtua kepada guru anaknya.
Kemudian, khusus bagi guru yang hamil, diharuskan cuti sejak awal kehamilan diketahui. ”Karena kita tidak ingin nanti disalahkan dengan adanya anggapan janin di kandungan akan terpengaruh dengan lingkungan sang ibu,” ungkap ibu dua anak ini.
Sementara itu, komunikasi pihak sekolah ini dengan orangtua murid cukup terjaga. Perkembangan sang anak secara intens disampaikan kepada orangtua, baik melalui lisan, hingga lewat laporan harian dan per triwulan. Hal itu agar, orangtua mereka juga mengerti bagaimana menghadapi anaknya tersebut ketika di rumah.
Sekolah ini sudah memiliki alumni 10 orang. Lulusannya pun menerima ijazah formal, yang disahkan oleh Dinas Pendidikan setempat atau provinsi. Alumninya ada yang melanjutkan ke sekolah formal, ada juga yang tidak melanjutkan. Seperti di tahun ajaran baru ini, ada 3 anak lulusan Melati Ceria yang diterima di salah satu sekolah dasar negeri di Sampit.
Di tahun 2016 lalu, sekolah ini juga mengikutsertakan murid pilihannya ke ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional-Luar Biasa (O2SN-LB) tingkat Kalteng di Palangka Raya. Ada 3 cabang lomba yang diikuti, menggambar untuk tingkat SD, menyanyi untuk tingkat SMP. Kemudian lomba lari yang hanya boleh diikuti murid perempuan, kategori Tuna Grahita, Tuna Rungu, berusia maksimal 15 tahun.
Wanita kelahiran Mataram, Nusa Tenggara Barat ini, memiliki cita-cita membuka balai latihan kerja bagi mereka yang berkebutuhan khusus, agar mereka ini memiliki keterampilan serta keahlian bersertifikat.
”Kami punya cita-cita ke depan agar mereka ini hidupnya tidak hanya mengandalkan belas kasihan orang saja. Misalnya mereka nanti punya keahlian spesialis cuci piring, dan bisa bekerja di restoran. Atau jadi spesialis loundry, office boy, dan lainnya,” papar Rina yang sudah 10 tahun terakhir mendalami terapi autis ini.
Rencana jangka pendek, pihaknya ingin menggelar workshop lokal seputar anak berkebutuhan khusus tahun depan. Selain mendatangkan praktisi, kegiatan itu juga sekaligus melibatkan para orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
”Saya sempat terlibat survei di 8 kecamatan se-Kotim beberapa waktu lalu, dan diperkirakan ada puluhan anak yang masuk kategori berkebutuhan khusus, namun belum sekolah,’ tambahnya.
Kepada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, Rina menyarankan agar tetap bisa bersikap menerima kondisi buah hati mereka tersebut. ”Memang kebanyakan orangtua trauma menyekolahkan anaknya di sekolah berkebutuhan khusus. Tetapi, open minded (berpikiran terbuka) saja lah. Sekarang sudah era digital, dan informasi mengenai penanganan anak berkebutuhan khusus bisa dicari dengan mudah,” imbuhnya.
Kemudian lanjutnya, apabila orangtua sudah terjun menangani anak berkebutuhan khusus, maka harus total dalam memberikan perhatian, serta jangan pernah menyerah. Orangtua juga harus meluangkan waktunya untuk saang anak, dan jauhi suasana stres karena bisa berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya.
Zainal Arifin (47), salah satu orang tua murid di sekolah tersebut mengungkapkan, pendidikan yang diperoleh anaknya dari sekolah anak berkebutuhan khusus sangat membantu mereka dalam membesarkan buah hatinya itu.
M Arya Rahmadani (7), anak kedua pria 47 tahun yang berwiraswasta ini mengalami kecacatan sejak usia 5 bulan. Cacatnya masuk kategori Tuna Rungu dan Tuna Wicara. ”Hingga sekarang dia tak bisa mendengar dan hanya bisa memanggil ”Abah”. Itu saja. Kalimat lainnya, hanya berteriak dengan isyarat tangan kalau mau apa-apa,” ungkapnya saat dibincangi.
Suami dari Desi Wati (40) ini mengisahkan, Arya lahir dalam keadaan normal. Namun, saat usia 4 bulan anak ini terkena demam tinggi, dan tak diketahui apa penyebabnya. Kemudian ketika dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Murdjani Sampit. Dokter setempat mendiagnosa kalau adik dari kembar perempuan ini mengalami peradangan di otak. Setelah beberapa hari, Arya kemudian dibawa ke Rumah Sakit Islam Sultan Agung di Semarang. Dan diagnosa di sana menyatakan, ia terkena radang tenggorokan.
Setelah beberapa kali upaya pengobatan sudah dirasa maksimal, suami istri yang tinggal di Komplek Betang Raya Jalan Sudirman kilometer 6,5 Sampit ini, akhirnya ikhlas menerima kondisi putra mereka tersebut. Pertumbuhannya pun mengalami keterlambatan. Usia 3 tahun Arya baru bisa berjalan. Dan kini menjalani usia 7 tahun, ia belajar di sekolah khusus itu sejak 4 bulan lalu.
Walhasil, ada kemajuan dicapai Arya sejak bersekolah. Sekarang, ia sudah bisa menggambar sambil meniru dan mewarnai. ”Anak ini suka bercanda dan mencolek orang. Di lingkungan rumah dia punya teman-teman bermain. Arya paling suka sama balon, dan hampir setiap hari dia minta dibelikan balon hanya untuk dia lepas ke udara. Hal itu membuatnya senang setiap hari,” pungkas Zainal. (*/dwi)