Dana sebesar Rp 65 miliar yang tertanam dalam Credit Union Eka Pambelum Itah (CU EPI) Sampit lenyap tak berbekas. Ribuan nasabahnya menjerit. Radar Sampit menelusuri jejak dana itu. Sejumlah fakta menarik terungkap.
LAPORAN TAMAMU RONY
Pagi itu, Senin (4/12), Wiro lebih sibuk dibanding biasanya. Dia menyiapkan sejumlah berkas sebelum berangkat ke kantor. Setelah berkas yang berkaitan dengan CU EPI dirasa lengkap, Wiro kemudian menghubungi sejumlah orang melalui seluler, rekannya sesama nasabah lembaga koperasi tersebut.
Rencananya, mereka akan bertemu di kantor CU EPI. Meminta kejelasan mengenai uang mereka yang sudah setahun belakangan tak ada kabarnya. Setelah janji temu mantap, Wiro bergegas menuju kantor.
Wiro merupakan nama samaran. Karena alasan khusus, dia meminta identitasnya tak disebutkan, terutama pekerjaannya.
Wiro menggeber sepeda motornya perlahan menyusuri jalanan Kota Sampit yang sudah cukup padat. Setibanya di kantor, dia beraktivitas seperti biasa. Ketika jarum jam menunjuk pukul 09.30, Wiro izin ke rekan-rekannya. Termasuk atasan. Niatnya keluar kantor selama sekitar satu jam. Alasannya, dia ada urusan.
Wiro mengarahkan kendaraannya ke kantor CU EPI Sampit di Jalan Ahmad Yani, depan rumah jabatan Bupati Kotim. Tak sampai lima menit, dia sudah tiba. Jarak antara tempatnya bekerja dengan kantor CU EPI tak sampai satu kilometer.
Bersamaan dengan Wiro, tujuh orang lainnya yang sebelumnya dihubungi melalui ponsel, juga baru tiba. Mereka adalah Yuli, Mila, Theresia, Silvana, Isnawati, dan Maryeni.
Bangunan kantor itu besar. Megah. Dari beton. Berlantai dua dengan kombinasi warna biru dan putih berornamen khas Dayak. Di sekitar gedung itu dikelilingi pagar kayu.
Sejak CU EPI dinyatakan merugi pada 2016 lalu, gedung itu dijadikan ajang silaturahmi sesama nasabah. Mereka kerap berkumpul untuk membahas segala sesuatu tentang upaya mengembalikan dana yang sudah terlanjur tersangkut arus polemik yang pelik.
Setelah memarkirkan kendaraan, lima orang lainnya berjalan beriringan menuju pintu masuk. Mereka menenteng buku tulis dan beberapa dokumen. Wiro sendiri terlihat masih bercakap-cakap dengan dua orang rekannya.
Sekitar semenit kemudian, mereka masuk ke gedung, menyusul lima rekannya yang lebih dulu masuk. Wartawan Radar Sampit mengikuti dari belakang. Rombongan nasabah itu langsung menuju sebuah ruangan berukuran kira-kira 6 x 7 meter.
Untuk ukuran tempat pertemuan, ruangan itu tergolong sempit. Saat CU EPI masih aktif, ruangan itu difungsikan sebagai ruang tunggu khusus tamu koperasi. Kursi ditata sedemikian rupa, melingkari meja di depannya. Ruangan itu berbatasan langsung dengan ruang administrasi dan arsip.
Delapan orang yang sejak tadi sudah berkumpul, duduk bersama. Wiro masih menenteng buku tabungan dan beberapa dokumen. Dokumen itu merupakan arsip berisi catatan penting sejarah menabungnya di CU EPI.
Dia kemudian membuka suara setelah koran ini menyinggung soal orang yang diduga menilap dana Rp 65 miliar di CU EPI. ”Jangankan uangnya. Hantunya (pelaku) sendiri pun kami tidak tahu siapa. Tapi, kalau dilihat dari gelagatnya, sudah pasti si Nono itu,” kata Wiro, dengan suara cukup keras.
Dia kemudian melempar tumpukan buku tabungan dan dokumen ke atas meja dan duduk di kursi paling pojok. Buku tabungan itu milik beberapa anggota keluarga Wiro yang ikut ketiban apes karena berinvestasi di CU EPI, setahun silam. Menurut Wiro, total kerugian yang ditanggungnya sekitar 1,8 miliar.
Angka segitu belum ditambah dengan dana keluarga besarnya. Mulai dari mertua sebesar Rp 700 juta, uang pamannya Rp 200 juta, dana anggota keluarga lainnya yang totalnya sekitar Rp 300 juta.
Semua uang tersebut dititipkan kepada Wiro yang kemudian dimasukkan ke CU EPI. Harapannya, mendapatkan keuntungan bunga sebesar 14 persen, seperti yang dijanjikan koperasi tersebut.
Apabila ditotal, kerugian Wiro bersama keluarganya menembus angka Rp 2,5 miliar. Hal itulah yang kemudian membuatnya stres. Keperluan rumah tangga ayah dua anak itu kian naik, ditambah beberapa keperluan pribadi lainnya yang semakin bertambah. Hal itu memaksanya berpikir keras menyelamatkan keluarga kecilnya dari lubang keterpurukan ekonomi.
Hal itu juga yang jadi alasan, dalam pertemuan yang digelar setiap Senin itu, Wiro selalu nampak emosional. Dia tak mampu lagi membendung rasa bencinya pada siapa pun yang tega menghancurkan koperasi kepercayaannya itu dan membuatnya terpuruk.
Sudah berkali-kali Wiro mengupayakan dan mendesak banyak pihak, mulai dari mantan pengurus lama CU EPI hingga aparat penegak hukum untuk menguak misteri lenyapnya dana nasabah koperasi itu, agar semua uangnya bisa kembali. Namun, proses yang panjang dan tidak adanya kejelasan proses penyelidikan, membuat Wiro mulai pasrah.
Yang dia bisa lakukan hanyalah tak pernah absen menghadiri pertemuan yang dilakukan seperti saat ini. Meski solusi untuk mengembalikan dana tersebut hampir mustahil. Namun, dengan cara berkumpul bersama, mampu menyenangkan hatinya. Membuat pikiran stresnya mengendur.
Wiro membuka pertemuan itu dengan doa. Sebelum akhirnya mempersilakan beberapa orang yang hadir menceritakan kondisi keuangan masing-masing.
Sejak CU EPI bermasalah di penghujung 2016 itu, para anggota/nasabah yang tidak dapat mengambil dana mereka di koperasi, sering berkumpul membahas kondisi keuangan masing-masing.
”Untuk melepas penat, stres, dan kegundahan karena dana yang macet. Caranya dengan berkumpul dan bertemu. Dengan melakukan pertemuan seperti ini, hubungan antarnasabah bisa terjalin. Kami bisa saling menguatkan satu sama lain, karena setiap bertemu, kami selalu sharing,” ujar Mila, nasabah yang duduk di antara tujuh orang lainnya dalam ruangan itu.
Tujuh orang selain Wiro yang berkumpul semuanya ibu-ibu. Wiro merupakan satu-satunya pria. Tujuh wanita yang sudah bersuami itu kemudian mulai membicarakan Nono, Ketua CU EPI yang sebelumnya menjabat sebagai manajer. Suasana menjadi riuh. Beragam kecaman terlontar dari mulut mereka.
Pertemuan itu mulai dijadikan ajang bergosip. Hingga salah satu dari mereka menenangkan yang lainnya dan melunakkan suasana. ”Sebaiknya, rapat ini kita tunda dulu. Suasananya terlalu emosional. Rasanya tidak akan ada yang bisa kita dapatkan dengan situasi seperti ini,” kata Mila.
Mereka sepakat menunda rapat sampai pekan depan. Delapan orang itu hanya berbincang biasa. Suasananya berubah kembali. Lebih mirip arisan ketimbang rapat.
Investasi
Wiro bergabung dengan CU EPI Sampit sejak koperasi itu berdiri pada 2007 lalu. Dia tergiur ajakan Nono yang menawarkan bunga setoran sebesar 14 persen. Hampir dua kali lipat lebih besar dari suku bunga bank yang ditetapkan 6,5 persen saat itu. Nono juga memintanya mengajak orang lain.
Karena tergiur dengan profit yang tinggi, Wiro mencoba menyetor dana pertamanya kepada CU EPI sebesar Rp 1,5 juta. Saat itu, Wiro masih coba-coba. Tidak ada maksud untuk menambah simpanannya.
Setelah membuktikan sendiri bunga yang dijanjikan menguntungkan, dia menambah uangnya dengan ritme setoran kepada CU EPI sebesar Rp 20 juta setiap bulan selama setahun.
Dana yang disetorkan Wiro merupakan hasil keuntungannya berbisnis travel dengan lima mobil. Ditambah usaha warung makan dan kebun sawit. Pada 2007, karena dirasa lebih menjanjikan menabung di CU EPI ketimbang ketiga bisnisnya, Wiro menjual seluruh aset yang dimiliki. Hasilnya disetor ke CU EPI.
”Awalnya untuk investasi masa depan keluarga besar saya. Terutama untuk anak-anak dan istri saya,” ujarnya.
Awalnya tidak ada masalah dengan keuangannya. Wiro rutin mengambil profit yang dimilikinya setiap bulan untuk keperluan yang penting saja. Dia tidak menghitung total keuntungan yang menjadi haknya. Hanya mengambil uang tersebut seperlunya. Rata-rata Wiro mengambil Rp 3 – 5 juta setiap bulan.
Keuntungan menabung di CU EPI ia rasakan selama hampir sepuluh tahun. Hingga pada November 2015, muncul masalah tak terduga. Dia tidak bisa lagi menarik dana dari CU EPI. Alasan yang diberikan bagian keuangan saat itu, karena kas koperasi menipis.
Wiro lantas menghubungi kantor Badan Koordinasi Credit Union (BKCU) Kalimantan di Pontianak, induk CU EPI Sampit. Dia ingin meminta pertanggungjawaban, setelah sebelumnya tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari manajemen CU EPI. Upayanya nihil. BKCU Kalimantan enggan memberikan bantuan. Alasannya, tidak tahu masalah yang sedang terjadi di Sampit.
Wiro tidak sendiri. Ribuan nasabah cabang CU EPI yang tersebar di Kotim juga mengalami nasib sama. Pada 8 Maret 2016, mereka kemudian berkoordinasi dengan manajemen CU EPI saat itu untuk meminta pertanggungjawaban.
Setelah mengalami masa-masa awal kebangkrutan, pihak manajemen melalui Nono yang baru saja diangkat sebagai Ketua CU EPI TP Parenggean pada 20 Februari, menyurati BKCU Kalimantan untuk meminta bantuan mengatasi polemik.
Tim audit didatangkan oleh pengurus pada pertengahan Juni 2016. Anggotanya dua orang. Tidak banyak informasi mengenai dua orang ini. Radar Sampit hanya mendapatkan nama, yakni Ferdian dan Richard. Setelah melakukan pengecekan data selama dua hari, tim audit menemukan kerugian koperasi sebesar Rp 65 miliar.
Nasabah yang mengetahui hal itu dibuat marah dan meminta diadakan pertemuan akbar. Setelah didesak nasabah, manajemen bersama pengurus CU EPI dan BKCU Kalimantan mengadakan rapat anggota luar biasa di Gedung Serbaguna Sampit pada 24 Oktober 2016.
Rapat yang digelar sejak pukul 08.30 itu berujung ricuh. Tim audit yang membacakan kerugian tidak mampu memberikan rincian kerugian RP 65 miliar itu. Beberapa anggota/nasabah mulai panas. Mereka bahkan melempar kursi dan meneriaki para pengurus yang hadir.
Kemarahan para nasabah saat itu mulai bertambah ketika sang ketua, Nono, tidak mampu menjelaskan secara rinci bagaimana CU EPI di bawah kepemimpinannya bisa merugi sebesar itu.
Rapat yang digelar selama enam jam tersebut tidak menghasilkan keputusan pasti soal dana nasabah. BKCU Kalimantan kemudian membentuk Tim Penyehatan Jilid I saat itu juga untuk membantu memulihkan keadaan dengan melakukan pendampingan kepada seluruh lapisan CU EPI, mulai dari manajemen hingga nasabah.
Tim penyehatan itu beranggotakan tujuh orang, yakni Martha Ujai, Maryeni, Sempung, Sawuh, (almarhum) Palmer Manurung, Sibarani, dan Dermawan. Dalam laporan kerja tim penyehatan, tugas mereka bertujuh melakukan pendampingan atau memberikan kuasa hukum kepada orang yang ditunjuk untuk kepentingan CU EPI, misalnya menyewa advokat.
Tim yang diketuai Martha itu juga dapat menonaktifkan anggota pengurus, pengawas, dan pengelola sementara, serta dapat mengambil alih tugas mereka. Selain itu, bertanggung jawab mengumpulkan data/informasi yang diperlukan untuk keperluan pemulihan CU EPI.
Mereka juga diberikan keleluasaan memeriksa dan menggunakan segala catatan/arsip koperasi demi kepentingan tugas dan tanggung jawab yang mereka emban. Namun, meski sudah bekerja secara sistematis, tim penyehatan tidak mampu mengembalikan kerugian.
Kinerja mereka bahkan mulai diragukan para nasabah. Padahal, waktu itu, menurut Martha, manajemenlah yang tidak mau kooperatif dengan timnya dan terkesan menutup akses informasi soal dana Rp 65 miliar tersebut.
”Tidak ada yang mampu menyelesaikannya (polemik kerugian CU EPI). Soalnya, semua manajemen CU EPI itu menutupi semua kelakuan mereka. Padahal, kalau saja mereka terbuka dengan kami, tim penyehatan jilid satu ini, problem dapat teratasi,” ujar Martha kepada Radar Sampit.
Martha menuturkan, sebelum Nono diangkat menjadi ketua, koperasi tersebut dilaporkan tidak bermasalah. Padahal, disinyalir sudah merugi sejak 2007. Artinya, sejak Nono menjabat sebagai manajer, CU EPI sudah bangkrut. (***/ign)
Baca Lanjutannya
Sengkarut Polemik Uang Rp 65 Miliar CU EPI, Jejak Hitam Dana Simpanan (2)