PERAIRAN di sekitar Tanjung Keluang, yang masuk wilayah Kotawaringin Barat, jadi salah satu jalur migrasi dan tempat persinggahan penyu langka dilindungi, yakni Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).
Slamet Harmoko, Pangkalan Bun
Sebelum berpetualang ke berbagai penjuru dunia, penyu Sisik betina di perairan pulau ini bisa lebih dahulu merasakan hangatnya pasir pantai, dengan menyimpan telurnya, agar bisa menetas dengan aman.
Namun, keberadaan hewan langka ini juga terancam oleh pemangsa atau predator, serta adanya aksi perburuan liar oleh manusia. Hal ini membuat pemerintah terus melakukan pengawasan dan membantu penetasan telur penyu secara semi alami. Telur-telur penyu diangkat dan dipindahkan di bak-bak penetasan.
Kepala Resort TWA Tanjung Keluang, Sunaryo mengatakan penyu-penyu yang datang ke pantai tersebut merupakan penyu yang dulu juga lahir di lokasi tersebut. ”Kita tetaskan dan kita rawat dulu baru dilepaskan,”ujarnya usai pelepasan Tukik (bayi penyu) di pesisir Tanjung Keluang, Minggu (11/3) kemarin.
Dijelaskannya, peluang hidup anak penyu sangat kecil. Dari setiap pelepasliaran, hanya sekitar satu persen yang bisa bertahan hidup serta berkembang biak, dan kembali bertelur di pantai Tanjung Keluang.
”Dari sekitar 100 ekor yang dilepas, sekitar satu persennya saja yang bisa bertahan. Maka dari itu penangkaran penyu menjadi perhatian serius oleh pemerintah,”terang Sunaryo.
Menurutnya, cara penangkaran penyu di Tanjung Keluang dilakukan sedikit berbeda dibanding dengan penangkaran di tempat lain. Tukik yang baru menetas, tidak langsung dilepas sebagaimana kebiasaan yang dilakukan. ”Tukik kita rawat dulu selama dua bulan, kemudian baru dilepas ke lautan,”tambah Sunaryo.
Metode tersebut dianggap cukup baik karena membuat anak penyu menjadi lebih kuat dan memiliki insting bertahan hidup, dengan mencari mangsa alaminya tetap akan terjaga. Selain itu bobot anakan penyu juga akan lebih berat dibandingkan dengan anakan penyu yang baru menetas.
”Anakan penyu yang baru menetas itu sangat ringan, dan ketika dilepaskan di laut maka akan mengambang. Dengan posisi itu maka akan sangat mudah dimangsa oleh ikan predator, mau pun oleh burung, seperti elang misalnya,”papar Sunaryo.
Dilanjutkannya, bobot penyu dianggap menjadi suatu yang penting. Dengan bobot yang cukup maka kemampuan menyelam penyu menjadi lebih baik. Dan efeknya, ancaman predator akan lebih berkurang.
Sunaryo mengungkapkan, sempat ada yang bertanya kenapa penyu tidak dipelihara dulu sampai usia misalnya lima tahun, baru dilepaskan agar predator tidak bisa memakannya.
”Ya, itu bisa saja dilakukan, namun efeknya justru tidak baik. Insting berburunya akan berkurang karena sudah terbiasa diberi makan. Akibatnya peluang hidup juga kecil,”terangnya.
Sampai saat ini lanjutnya, hambatan dalam pelestarian penyu selain pada predator alami, juga masih adanya masyarakat yang belum mengerti bahwa penyu merupakan hewan dilindungi. Masih terjadi adanya nelayan yang menemukan telur penyu dan memperjualbelikannya.
Sunaryo menegaskan, perburuan telur penyu pun masih terjadi. Dan pihaknya berharap, dengan rencana pengembangan dan makin seringnya berbagai kegiatan yang dilakukan di Tanjung Keluang, hal itu bisa menjadi salah satu promosi dan membantu menyadarkan semua pihak, bahwa penyu dilindungi oleh negara dan harus dilestarikan.
Sementara itu dari data yang diperoleh Radar Pangkalan Bun, diawal tahun 2018, tepatnya tanggal 15 Januari 2018, telah menetas 127 butir telur dari 136 telur penyu sisik di tempat Penetasan Semi Alami di Taman Wisata Alam (TWA) Tanjung keluang. Telur-telur tersebut ditemukan pada tanggal 14 November 2017. Penetasan telur penyu ini merupakan penetasan perdana di tahun 2018. (*/gus)