BUNTOK – Suap terhadap penyelenggara negara sulit dihentikan. Meski sudah banyak yang tertangkap, praktik itu justru kian subur. Buktinya, Kejari Barito Selatan, membongkar dugaan suap terhadap Wakil Ketua DPRD Kabupaten Barito Selatan, HA. HA diduga menerima suap dengan total sebesar Rp 2,250 miliar.
Suap itu dari tujuh paket proyek multiyears senilai Rp 300 miliar. Selain HA, Kejari juga menetapkan Su, Direktur PT Tirta Dhea Adonnic Pratama (TDAP) sebagai tersangka. Dia berperan sebagai pemberi uang fee proyek tersebut.
Kejari setempat terus bergerak mengusut praktik lancung itu. Sejumlah saksi diperiksa, termasuk Bupati Barsel Eddy Raya Samsuri. Dalam pemanggilan tersebut, Rabu (12/12) lalu, penyidik meminta klarifikasi, karena dalam MoU, pelaksanaan proyek multiyears harus diketahui kepala daerah dan DPRD.
”Kami memanggil Bupati menjadi saksi. Bukan hanya Bupati, masih banyak saksi-saksi yang kami panggil,” kata Kepala Kejari Barsel Oscar Berlin Riwoe Douglas, Kamis (13/12), seraya menambahkan, kemarin pihaknya meminta keterangan Kepala Bidang (Kabid) Cipta Karya sebagai saksi dari Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Barsel.
Menurut Oscar, penyidik mengajukan 42 pertanyaan pada Bupati Barsel yang saat diperiksa didampingi dua penasihat hukumnya.
Informasi yang diperoleh Radar Sampit, terkait kasus tersebut, asal-muasal permasalahan proyek multiyears itu berawal saat Su ingin mendapatkan paket proyek. Diaturlah tujuh paket proyek senilai Rp 300 miliar dengan kompensasi, HA menerima jatah fee dari proyek tersebut.
Pemberian suap dilakukan secara bertahap dengan nilai berbeda. Pertama, Su mentransfer uang sebesar Rp 500 juta, kedua Rp 600 juta, dan ketiga Rp 1,1 miliar. ”Tersangka (Su) melakukan tiga kali pembayaran kepada Wakil Ketua DPRD Barsel. Apabila ditotalkan senilai Rp 2.250 milliar," ungkap Oscar.
Menurut Oscar, HA yang telah jadi tersangka telah dipanggil untuk diperiksa kemarin, namun tak hadir. HA meminta waktu hingga Senin (17/12) nanti untuk membentuk tim kuasa hukum.
Lebih lanjut Oscar mengatakan, kasus tersebut merujuk pada UU Nomor 17 Tahun 2004 tentang keuangan negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara PP 58 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Proyek itu dinilai cacat hukum. Bahkan, dalam APBD tidak dianggarkan.
”MoU (proyek multiyears) ini bisa dikatakan cacat, karena salah satu pihak yang menandatangani MoU dalam status sebagai terdakwa kasus korupsi (HA) yang masih berproses di Mahkamah Agung. Seharusnya, dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 412 itu jelas, apabila status terdakwa harus diberhentikan sementara,” ujarnya. (rol/ign)